Reformasi Karakter Bangsa - Khittah Terhadap Ajaran Ki Hadjar Dewantara
Oleh: Muthoifin Walidem, Publish on: 1 April 2014 00:00 wib
Diakui atau tidak, bahwa karakter
anak bangsa akhir-akhir ini mengalami kelunturan yang sangat dahsyat.
Generasi muda sekarang baik di desa maupun di kota banyak menghabiskan
waktunya hanya untuk bermain playstation, gadget, game online, dan
sejenisnya.
Mereka hampa akan nilai-nilai budaya lokal, asing terhadap istilah budi pekerti, gotong royong, dan nilai-nilai luhur lain yang ada di bumi nusantara ini. Aktifitasnya itu, seakan-akan membuatnya sibuk, bahkan sudah tidak mengenal lagi arti pentingnya interaksi sosial dan kerjasama. Ditambah lagi dengan kondisi sekolah akhir-akhir ini yang banyak menyita waktu, sehingga semakin membatasi anak-anak untuk mempelajari berbagai kearifan lokal.
Tentunya hal ini merupakan kegagalan pendidikan, dalam menyikapi perubahan zaman,, yang tidak berpihak pada pembentukan karakternak anak bangsa ini. Anak-anak merupakan masa penting bagi pertumbuhan dan penanaman nilai-nilai moral bangsa.
Karena masa itu merupakan masa emas untuk melukiskan nilai-nilai karakter bijak dalam benak sanubarinya. Anak yang dibekali dengan akhlak dan pengalaman hidup dengan baik, ia akan tumbuh menjadi anak yang berbudi, bernilai, kreatif, dan mandiri.
Sebaliknya jika anak itu selalu disuguhi dengan kesibukan yang tidak jelas, permainan yang melalaikan, serta berbagai tontonan yang tidak bermutu, maka bisa dipastikan ia akan cenderung berperilaku tidak sesuai dengan karakter bangsa. Hal ini akan merugikan terhadap dirinya sendiri bahkan lingkungan sekitar.
Maka diperlukan sebuah solusi untuk menjadikan anak-anak muda ini, menjadi generasi yang berkarakter kuat, unggul, dan beradab. Nah, sebagai pertimbahan awal, perlu dilakukan reformasi total terhadap peran pendidikan dalam membentuk karakter bangsa.
Begitu juga perlu adanya khittah atau kembali ke agaris awal tentang inti dari tujuan pendidikan itu sendiri. Sebagai telah kita ketahui, bapak pendidikan nasional kita (Ki Hadjar Dewantara) telah mengkonsepkan, bahwa inti dari pendidikan adalah penanaman budi pekerti ke dalam batin dan perilaku anak didik.
Memang dalam beberapa buku tulisan Ki Hadjar, tidak ditemukan istilah karakter, jika karakter yang dimaksud itu adalah akhlak dalam wacana Islam. Akan tetapi secara inplisit istilah itu muncul dalam berbagai buku karangannya dengan sebutan budi pekerti.
Budi pekerti dalam pandangan Ki Hadjar (1976) merupakan jiwa atau ruh dari pengajarananya. Karena pengajaran dan budi pekerti ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan.
Hal yang demikian menurutnya, pengajaran atau pendidikan berarti menuntun tumbuhnya budi pekerti dalam hidup anak didik, supaya mereka kelak menjadi manusia berpribadi yang beradab dan susila.
Budi pekerti menurutnya bukan sekedar konsep yang bersifat teoritis sebagaimana yang dipahami oleh masyarakat pada umumnya. Juga bukan berarti mengajar teori tentang baik-buruk, benar-salah, dan seterusnya.
Namun perlu diinsyafi, bahwa budi pekerti yang dimaksud adalah untuk menyokong perkembangan hidup anak-anak lahir dan batin menuju ke arah keadaban. Seperti memerintahkan anak untuk duduk yang baik, tidak berteriak-teriak agar tidak mengganggu orang lain, tersih badan dan pakaian, hormat terhadap ibu bapak dan orang lain, menolong, dan lain sebagainya.
Ki Hadjar juga menghendaki budi pekerti yang bersifat integrated. Dengan kata lain, ia menginginkan bahwa pada setiap pengajaran bidang studi apapun harus mengintegrasikannya dengan pendidikan budi pekerti. Dan hal ini tidak berhenti pada pengajaran mata pelajaran tersebut semata-mata.
Pelajaran matematika misalnya, selain sebagai alat untuk menghasilkan anak yang memiliki keterampilan dalam memahami dan mempraktikkan rumusan hitungan secara tepat dan akurat. Namun bersamaan itu, pelajaran juga ini harus diarahkan pada menghasilkan manusia yang dapat bersikap teliti, cermat, kerja teratur dan jujur.
Jadi melihat uraian di atas, jelaslah bahwa Ki Hadjar sangat perhatian terhadap pentingnya pendidikan budi pekerti. Budi pekerti yang mampu membentuk sebuah karakter melalui upaya pembiasaan, melakukan perbuatan terpuji yang dilakukan mulai dari sejak kecil hingga dewasa.
Budi pekerti yang dimaksudkan olehnya, bukanlah mengajarkan teori-teori tentang baik buruk dengan dalil-dalinya yang serba jelimet. Yang ia kehendaki adalah pembiasaan berbuat baik pada diri anak dalam kehidupan sehari-hari, hingga mendarah daging. Kalaupun ada penjelasan dan keterangan hal yang demikian, dilakukan hanya sebagi penguat dan alat, bukan tujuan.
Sementara dalam pandangan Islam, karakter yang baik itu, seperti: jujur, sopan, toleransi, dan lainya sebagainya itu, harus dalam bingkai nilai-nilai keimanan. Sifat bagus itu bukan sekedar “rasa kemanusiaan” semata yang lepas dari nilai-nilai iman.
Seorang muslim diajarkan untuk jujur, bukan karena kemanfaatan sifat jujur semata, tetapi karena jujur itu perintah Tuhan. Sebagaimana diungkapkan Adian Husaini (2011), bahwa semua aktifitas kemanusiaan, baik berupa amal shaleh, akhlak, maupun nilai-nilai kebajikan lainnya seperti jujur, kebersihan, dan kerja keras, harus dilandasi dan dalam bingkai keimanan.
Jika amal shaleh atau sifat kemanusiaan yang tidak dilandasi dengan keimanan, maka perbuatan itu akan menjadi berbahaya, bahkan melanggar batas-batas ketentuan Tuhan.
Dengan demikian, dalam pandangan kami perlu adanya reformasi dan sinergisasi antara budi pekerti yang sudah dikonsepkan Ki Hadjar, dengan akhlak yang sudah dikonsepkan dalam Islam. Karena semua aktifitas kehidupan harus berlandaskan pada nilai-nilai keimanan.
Aktifitas yang berpijak pada dasar keimanan akan mendatangkan hasil yang lebih berkualitas lahir maupun bathin. Semoga artikel “reformasi karakter bangsa” ini, membawa misi kabaikan.
Sehingga tujuan mulia dari pendidikan yang sudah di wariskan oleh bapak pendidikan nasional, bisa berjalan dengan bijaksana sesuai dengan Undang-undang Sisdiknas No 20 Pasal 3 tahun 2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar