Selasa, 24 Juni 2014

GURU DAN KURIKULUM

GURU DAN KURIKULUM: Mana yang Lebih Penting?

Oleh: Muthoifin Walidem, Publish on: 1 April 2014 00:00 wib
 
Harus diakui, guru merupakan komponen penting dalam pembentukan akal dan karakter bangsa. Karena kemajuan suatu bangsa hampir bisa dipastikan ditentukan oleh kemampuan para pendidiknya. Yaitu kemampuan untuk mengubah karakter generasi muda ke arah yang lebih mapan. Selain itu, guru adalah seorang pengajar suatu ilmu. Pentahbisan sebagai pahlawan tanpa tanda jasa dan pahlawan pemberantas kebodohan sempat melekatnya. Tanpa adanya figur guru, mungkin bangsa besar seperti Indonesia tidak akan dapat menikmati hasil jerih payah putra-putri nusantara yang sudah mendorong perkembangan tersebut.

Peranannya dalam mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik kini terbayar mahal dengan digulirkannya sertifikasi pendidik oleh pemerintah. Ternyata perannya itu tidak bisa lepas dari yang namanya kurikulum. Lantaran kurikulum merupakan bagian penting dari dirinya. Kurikulum merupakan seperangkat “alat” mata pelajaran yang dipakainya (guru) dalam proses pembelajaran. Ia juga menjadi elemen penting untuk mencapai tujuan pendidikan itu sendiri. Jadi tanpa adanya kurikulum, mustahil suatu pendidikan akan berjalan dengan sempurna.

Nah, berdasarkan hal tersebut. Mana yang lebih penting dari keduanya? Apakah peranan guru atau justru peran kurikulum?. Hal ini menjadi PR kita semua untuk mencari jawaban yang lebih rasional dan ilmiah. Meskipun ada spekulasi jawaban dari seorang profesor di salah satu perguruan tinggi Jawa Tengah yang berani menyimpulkan, bahwa yang paling penting dari sebuah pendidikan adalah peranan seorang guru. Menurutnya “guru adalah inti sekaligus pilar pendidikan. Apapun bentuknya kurikulum, baik kurikulum itu bagus atau kurang bagus. Kurikulum itu beberapa kali mengalami perubahan dan perbaikan. Ternyata itu semua tergantung gurunya”.

Memang, Indonesia sudah beberapakali mengalami perubahan kurikulum. Dulu, ada yang namanya Kurikulum Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (KPPSP) pada tahun 1973. Ada Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004, ada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006, dan yang paling terbaru ada Kurikulum 2013, ternyata hasil dari berbagai amandemen itu, belum ada perubahan yang signifikan ke arah yang lebih baik.

Hipotesa saya seakan-akan menerima apa yang sudah disimpulkan sang profesor di atas. yakni sehebat apapun kurikulum kalau gurunya tidak hebat pasti hasilnya tidak akan bisa memaksimalkan peserta didik. Sebaliknya, meskipun kurikulumnya biasa akan tetapi guru dalam menyampaikannya hebat, maka hampir bisa dipastikan hasil dari sebuah pembelajaran itu akan terasa nilainya dan menyentuh bagi anak didik.

Jadi, kalau kurikulum yang sederhana saja bisa menjadikan suasana pembelajaran menjadi hidup. Apalagi jika kurikulum yang pakainya bagus dan gurunya juga bagus. Atau adanya sinergisasi positif antara keduanya. Saya yakin, akan terbentuk suatu pola pembelajaran yang super hebat. Pembelajaran yang sesuai dengan apa yang sudah dicita-citakan bangsa selama ini. Sebagaimana hukum yang berlaku dalam ilmu matematika, plus tambah plus sama dengan plus.

Sinergitas
Memang sinergitas antara kurikulum yang bagus dan guru yang ideal adalah sebuah keniscayaan dalam pembelajaran. Keduanya ibarat dua sisi mata uang tidak bisa dipisahkan. Guru ya kurikulum, kurikulum ya guru. Artinya seorang guru dalam proses pembelajarannya tetap membutuhkan acuan yang ada dalam kurikulum. Begitu juga kurikulum, ia tidak akan bisa jalan tanpa adanya seorang guru. Teori ini merupakan sinergisitas antara dua unsur positif yang terintegrasi menjadi sebuah konsep yang utuh demi sebuah tujuan pembelajaran.

Keduanya merupakan sistem pendidikan yang tidak bisa dipisahkan. Kaidah menyatakan, bahwa kurikulum, guru, murid, tujuan, metode, dan evaluasi adalah suatu rangkain sistem pendidikan yang saling berkaitan dan tidak bisa dipisahkan. Ibarat anggota tubuh, ia saling melengkapi dan saling mengisi. Ada yang jadi kaki, tangan, mata dan lainnya. Mereka mempunyai peran masing-masing. Punya kelebihan dan juga punya kekurangan. Akan tetapi jika semua itu mau bersinergi, maka hal yang berat menjadi ringan, hal yang sulit menjadi mudah. Begitu juga halnya dengan guru dan kurikulum, idealnya harus berjalan seiring dan seimbang. Apabila satu dari dua rangkaian itu keluar dari rel yang ada, maka bisa dipastikan terjadilah dis-optimalisasi dan fungsinalisasi pembelajaran. Maka sinergisitas antar keduanya mutlak diperlukan agar menghasilkan sistem pendidikan yang berkualiatas.

Sementara dalam pandangan tokoh pendidikan nasional Ki Hadjar Dewantara, bahwa yang terpenting dari semua sistem pendidikan adalah kembali ke jiwa sang guru, jika guru itu bagus maka akan menghasilkan generasi yang bagus, sebaliknya jika guru itu tidak bagus maka akan menghasilkan generasi yang kurang bagus, karena roh pendidikan terletak pada kesucian dan kesungguhan guru. Guru menjadi sentral baik dan buruknya generasi yang dihasilkan. Guru merupakan poros utama dalam aktifitas pembelajaran. Guru adalah seorang yang harus bisa ”digugu dan ditiru”. Ia seorang panutan dan referensi utama bagi anak didik. Di depan memberi teladan, di tengah ikut membangun, dan di belakang ikut mendorong dan mendukung kemajuan anak didik (Ing ngarso sung thulodo, Ing madya mangun karso, Tut wuri handayani).

Sejalan dengan Ki Hadjar, seorang ilmuwan terkenal Muhammad Rasyid Ridha juga mewariskan konsepsinya tentang peranan penting dari seorang guru. Ia menyatakan ”al-thariqah ahammul maaddah, wal mu’allim ahammut thariqah, wa ruhul mu’allim huwal aham,” Metode lebih penting dari pada materi; Guru lebih penting dari pada metode; dan jiwa seorang guru itu sendiri lebih penting dari segalanya. Jadi, melihat uraian di atas, jelaslah bahwa esensi dari keberhasilan suatu pendidikan dan pengajaran terletak pada kesucian dan kesungguhan seorang guru itu sendiri. Meskipun kurikulum juga mempunyai peranan penting dalam sistem pendidikan dan pembelajaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar