GURU DAN KURIKULUM: Mana yang Lebih Penting?
Oleh: Muthoifin Walidem, Publish on: 1 April 2014 00:00 wib
Harus diakui, guru merupakan komponen
penting dalam pembentukan akal dan karakter bangsa. Karena kemajuan
suatu bangsa hampir bisa dipastikan ditentukan oleh kemampuan para
pendidiknya. Yaitu kemampuan untuk mengubah karakter generasi muda ke
arah yang lebih mapan. Selain itu, guru adalah seorang pengajar suatu ilmu.
Pentahbisan sebagai pahlawan tanpa tanda jasa dan pahlawan pemberantas
kebodohan sempat melekatnya. Tanpa adanya figur guru, mungkin bangsa
besar seperti Indonesia tidak akan dapat menikmati hasil jerih payah
putra-putri nusantara yang sudah mendorong perkembangan tersebut.
Peranannya dalam mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik kini terbayar mahal dengan digulirkannya sertifikasi pendidik oleh
pemerintah. Ternyata perannya itu tidak bisa lepas dari yang namanya
kurikulum. Lantaran kurikulum merupakan bagian penting dari dirinya.
Kurikulum merupakan seperangkat “alat” mata pelajaran yang dipakainya
(guru) dalam proses pembelajaran. Ia juga menjadi elemen penting untuk
mencapai tujuan pendidikan itu sendiri. Jadi tanpa adanya kurikulum,
mustahil suatu pendidikan akan berjalan dengan sempurna.
Nah,
berdasarkan hal tersebut. Mana yang lebih penting dari keduanya? Apakah
peranan guru atau justru peran kurikulum?. Hal ini menjadi PR kita semua
untuk mencari jawaban yang lebih rasional dan ilmiah. Meskipun ada
spekulasi jawaban dari seorang profesor di salah satu perguruan tinggi
Jawa Tengah yang berani menyimpulkan, bahwa yang paling penting dari
sebuah pendidikan adalah peranan seorang guru. Menurutnya “guru adalah
inti sekaligus pilar pendidikan. Apapun bentuknya kurikulum, baik
kurikulum itu bagus atau kurang bagus. Kurikulum itu beberapa kali
mengalami perubahan dan perbaikan. Ternyata itu semua tergantung
gurunya”.
Memang, Indonesia sudah beberapakali mengalami perubahan
kurikulum. Dulu, ada yang namanya Kurikulum Proyek Perintis Sekolah
Pembangunan (KPPSP) pada tahun 1973. Ada Kurikulum Berbasis Kompetensi
(KBK) 2004, ada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006, dan
yang paling terbaru ada Kurikulum 2013, ternyata hasil dari berbagai
amandemen itu, belum ada perubahan yang signifikan ke arah yang lebih
baik.
Hipotesa saya seakan-akan menerima apa yang sudah
disimpulkan sang profesor di atas. yakni sehebat apapun kurikulum kalau
gurunya tidak hebat pasti hasilnya tidak akan bisa memaksimalkan peserta
didik. Sebaliknya, meskipun kurikulumnya biasa akan tetapi guru dalam
menyampaikannya hebat, maka hampir bisa dipastikan hasil dari sebuah
pembelajaran itu akan terasa nilainya dan menyentuh bagi anak didik.
Jadi,
kalau kurikulum yang sederhana saja bisa menjadikan suasana
pembelajaran menjadi hidup. Apalagi jika kurikulum yang pakainya bagus
dan gurunya juga bagus. Atau adanya sinergisasi positif antara keduanya.
Saya yakin, akan terbentuk suatu pola pembelajaran yang super hebat.
Pembelajaran yang sesuai dengan apa yang sudah dicita-citakan bangsa
selama ini. Sebagaimana hukum yang berlaku dalam ilmu matematika, plus
tambah plus sama dengan plus.
Sinergitas
Memang
sinergitas antara kurikulum yang bagus dan guru yang ideal adalah
sebuah keniscayaan dalam pembelajaran. Keduanya ibarat dua sisi mata
uang tidak bisa dipisahkan. Guru ya kurikulum, kurikulum ya guru.
Artinya seorang guru dalam proses pembelajarannya tetap membutuhkan
acuan yang ada dalam kurikulum. Begitu juga kurikulum, ia tidak akan
bisa jalan tanpa adanya seorang guru. Teori ini merupakan sinergisitas
antara dua unsur positif yang terintegrasi menjadi sebuah konsep yang
utuh demi sebuah tujuan pembelajaran.
Keduanya merupakan sistem
pendidikan yang tidak bisa dipisahkan. Kaidah menyatakan, bahwa
kurikulum, guru, murid, tujuan, metode, dan evaluasi adalah suatu
rangkain sistem pendidikan yang saling berkaitan dan tidak bisa
dipisahkan. Ibarat anggota tubuh, ia saling melengkapi dan saling
mengisi. Ada yang jadi kaki, tangan, mata dan lainnya. Mereka mempunyai
peran masing-masing. Punya kelebihan dan juga punya kekurangan. Akan
tetapi jika semua itu mau bersinergi, maka hal yang berat menjadi
ringan, hal yang sulit menjadi mudah. Begitu juga halnya dengan guru dan
kurikulum, idealnya harus berjalan seiring dan seimbang. Apabila satu
dari dua rangkaian itu keluar dari rel yang ada, maka bisa dipastikan
terjadilah dis-optimalisasi dan fungsinalisasi pembelajaran. Maka
sinergisitas antar keduanya mutlak diperlukan agar menghasilkan sistem
pendidikan yang berkualiatas.
Sementara dalam pandangan tokoh
pendidikan nasional Ki Hadjar Dewantara, bahwa yang terpenting dari
semua sistem pendidikan adalah kembali ke jiwa sang guru, jika guru itu
bagus maka akan menghasilkan generasi yang bagus, sebaliknya jika guru
itu tidak bagus maka akan menghasilkan generasi yang kurang bagus,
karena roh pendidikan terletak pada kesucian dan kesungguhan guru. Guru
menjadi sentral baik dan buruknya generasi yang dihasilkan. Guru
merupakan poros utama dalam aktifitas pembelajaran. Guru adalah seorang
yang harus bisa ”digugu dan ditiru”. Ia seorang panutan dan referensi
utama bagi anak didik. Di depan memberi teladan, di tengah ikut
membangun, dan di belakang ikut mendorong dan mendukung kemajuan anak
didik (Ing ngarso sung thulodo, Ing madya mangun karso, Tut wuri handayani).
Sejalan
dengan Ki Hadjar, seorang ilmuwan terkenal Muhammad Rasyid Ridha juga
mewariskan konsepsinya tentang peranan penting dari seorang guru. Ia
menyatakan ”al-thariqah ahammul maaddah, wal mu’allim ahammut thariqah, wa ruhul mu’allim huwal aham,”
Metode lebih penting dari pada materi; Guru lebih penting dari pada
metode; dan jiwa seorang guru itu sendiri lebih penting dari segalanya.
Jadi, melihat uraian di atas, jelaslah bahwa esensi dari keberhasilan
suatu pendidikan dan pengajaran terletak pada kesucian dan kesungguhan
seorang guru itu sendiri. Meskipun kurikulum juga mempunyai peranan
penting dalam sistem pendidikan dan pembelajaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar