“PADUSAN” PERSPEKTIF ISLAM
Dr. Muthoifin Walidem
Salah
satu tradisi
yang digandrungi dan selalu dapat ditebak keramaiannya menjelang puasa di bulan
Ramadhan adalah tradisi Padusan.
Ya, Padusan
bagi sebagian masyarakat Jawa merupakan
tradisi rutin yang dilakukan untuk menyambut
datangnya bulan Ramadhan, dan dilaksanakan sehari
menjelang tanggal 1 bulan Ramadan.
Di
wilayah Solo Raya ini, terdapat beberapa lokasi favorit bagi warga
untuk menjalankan tradisi ini. Salah satu yang paling ramai adalah ritual Padusan
di Umbul Ingas atau Umbul Cokro. Selain itu, tradisi padusan ini juga akrab dilakukan di
beberapa daerah di Boyolali. Seperti di Umbul Pengging,
Umbul Tlatar, Umbul Pantaran dan sejumlah lainnya di sekitar lereng Merbabu.
Tradisi padusan
sendiri, konon dimulai sejak zaman Raden Ngabehi Yosodipuro I yang wafat tahun
1802. Kebiasaan itu kemudian diteruskan secara turun-temurun hingga sekarang.
Karena menurut sebagian legenda, bahwa pemandian di Pengging itu sendiri
merupakan pemandian para raja-raja dulu.
Sedangkan makna
padusan. Sebagaimana yang pernah disampaikan Sesepuh abdi dalem Karaton
Surakarta di Pengging: “ Bahwa makna padusan itu sendiri melambangkan tiga
tahapan hidup manusia yang dipercayai oleh orang jawa. Dalam tahapannya itu
diperlukan untuk bersuci diri, salah satunya yakni dengan padusan” (Anwar
Hartanto, 76).
Ritual ini dilakukan
dengan cara berendam di sejumlah umbul, sebagai tanda upaya menyucikan diri
sehingga pantas menjalani puasa Ramadhan. Dan sudah menjadi tradisi, sejak
zaman raja-raja dahulu, sampai sekarang dilestarikan oleh masyarakat.
Bahkan ritual ini
sudah dikemas begitu apiknya, untuk dijadikan sarana obyek wisata yang bisa
meraup keuntungan besar. Karena masyarakat sekitar dan beberapa wilayah di Solo
Raya setiap menjelang Ramadhan berbondong-bondang melakukan ritual tersebut.
Adapun teknikal
sebelum acara ritual dimulai, dilakukan dulu kirab dari Sasana Kapujanggan
Pengging menuju Umbul Ngabeyan yang ada di lokasi wisata Pengging.
Selanjutnya prosesi
kirab Mas dan Mbak. Keduanya duduk
berdampingan, lalu dilakukan siraman dengan air kembang setaman yang sebelumnya
dibacakan doa oleh pemimpin upacara adat.
Usai siraman menggunakan
kembang setaman itu, Mas dan Mbak itu melakukan ritual “kungkum” di
umbul, yang konon merupakan peninggalan PB X Keraton Surakarta.
Siraman atau padusan
ini diartikan sebagai pembersihan diri dari segala kotoran sebelum menjalan
ibadah puasa di bulan Ramadhan.
Padusan
sendiri selain ritual bersih-bersih. Ia juga merupakan gelaran “wisata” tahunan
yang bisa dimanfaatkan untuk menjual sektor pariwisata. Dengan acara ini, bisa
mendongkrak jumlah pengunjung, yang akhirnya bisa menambah pendapatan daerah.
Perspektif
Islam
“Padusan” dalam terminologi
Islam hampir mirip dengan mandi (الغسل). Mirip di sini bukan berarti
sama, karena dua hal yang mirip itu belum tentu sama.
Mandi dalam Islam adalah sebuah
amalan yang sudah disyariatkan. Ia bisa berhukum wajib, sunnah, mubah, makruh,
bahkan bisa berhukum haram.
Mandi janabat adalah wajib bagi
orang yang telah melakukan hadats besar. Berhukum sunnah apabila
dilakukan untuk menunaikan shalat jum'at, shalat Idul Fitri, serta Idul Adha.
Mandi berhukum haram, apabila mandi yang tidak untuk keduanya (wajib-sunnah),
akan tetapi mandi dengan niatan yang menyimpang dari syariatullah.
Seperti mandi “kembang” biar ampuh, mandi “kungkum” biar terhindar dari
malapetaka, serta mandi-mandi lain
dengan niatan agar bisa mendatangkan barokah yang tidak sesuai syariat.
Mengapa mandi ini begitu ragam
hukumnya?. Bukankah dalam Islam, nabi sudah bersabda (انَّمَا الاَعْمَالُ بِالِنّيِّاَت) sesungguhnya suatu perbuatan itu tergantung niatnya.
Memang, kalau “padusan” itu
dijalankan dengan niatan seperti mandi biasa dan sesuai tuntunan syariat mandi,
maka hal itu diperbolehkan (mubah). Akan tetapi jika “padusan” itu
dengan niatan yang keliru, bahkan dengan berbagai ritual yang menyimpang
syariat. Maka hal itu, tentunya menjadi mandi yang haram, dan hal ini wajib
kita dakwahi.
Ritual Padusan
yang dimaksud di sini. Yaitu, dijalankan dengan mandi
bersama di pemandian umum dengan tujuan untuk
mensucikan diri sebelum puasa serta dengan niat mandi
besar/janabat. Bahkan dengan sengaja berniat untuk menyambut bulan
Ramadhan. Tentunya hal ini tidak ada syariatnya.
Diberbagai kitab maupun
buku apapun, tidak ada dalil yang membicarakan dan membenarkan ritual mandi
dalam rangka menyambut bulan Ramadhan. Ini adalah sesuatu yang tidak syar'i.
Apalagi dilakukan dengan prosesi Mas dan Mbak, dimana si Mbak ini mandi tanpa
menutupi aurat sebagaimana aurat yang diwajibkan pada perempuan (terbuka
sebagian pundak dan dadanya).
Memang, Padusan merupakan adat baru yang
dilestarikan oleh sebagian masyarakat Jawa. Hal ini
sama sekali tidak ada dan tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah dan sahabat-sahabatnya.
Mungkin ada yang
berkilah bahwa padusan ini hanyalah tradisi, sehingga tidak perlu dicarikan
dalilnya dalam al-Qur'an maupun al-Sunnah. Apalagi yang
dilakukan itu merupakan sesuatu yang “baik”, yaitu mandi
besar yang notabene disuruhkan oleh syariat, di tambah
lagi tradisi ini dilakukan dalam rangka menghormati dan menyambut datangnya
bulan puasa.
Orang boleh saja
mengatakan demikian. Namun, perlu diperhatikan bahwa sebuah tradisi
tetaplah harus ditinjau kebenarannya dengan timbangan syar’i,
hanya tradisi-tradisi baik dan yang tidak menyalahi nash
sajalah yang boleh diikuti.
Sedang tradisi-tradisi yang menyalahi syariat
atau tidak sesuai dengan akhlaqul karimah, tanpa diragukan lagi harus di dakwahi
(nahi munkar).
Lantas di manakah letak
ketidaksesuaian tradisi padusan ini dengan Islam?.
Pertama, padusan selalu dikaitkan dengan
persiapan menghadapi ibadah puasa. Berarti, ini bukan murni sebuah tradisi
duniawi, akan tetapi sudah menyangkut ranah syariat dan agama. Sedangkan
dalam syariat Islam tidak ditemukan kamus, kewajiban atau sunnah mandi
menjelang Ramadhan.
Kedua, acara
padusan, orang-orang pada mandi bersama di pemandian umum, tidak
dipungkiri hal itu merupakan ajang “kemaksiatan” yang
nyata. Bayangkan saja, laki-laki dan perempuan berbaur di satu kolam. (bahkan
perempuanya tidak lengkap menutupi aurat) Ini jelas kemungkaran
yang semestinya tidak dilakukan. Alih-alih membersihkan
diri, menjadi suci. Justru! jiwa malah semakin
terkotori dengan dosa-dosa kemaksiatan.
Tradisi padusan ini juga
menguandang reaksi keras dari ketua Majelis Ulama
Indonesia (MUI) Solo Prof Zainal Arifin Adnan. Ia menegaskan
bahwa tradisi padusan yang sering dilakukan masyarakat menjelang
Ramadhan adalah haram.
Menurutnya, “Padusan
adalah tradisi yang menyalahi pakem (budaya yang mengikuti ibadah
Ramadhan) dan tanpa tuntunan ibadah yang syar'i,”.
MUI Solo tidak setuju
dengan tradisi yang sudah ada sejak puluhan tahun itu karena tidak sesuai
tuntunan ajaran Islam. Padusan tidak pernah ada dalam Islam dan tidak
termasuk ibadah. Padusan adalah adat orang Jawa yang sudah berlangsung sejak
lama.
Lebih lanjut ketua MUI
mengatakan: “Jika dianggap ibadah, jelas MUI memfatwakan
haram untuk tradisi tersebut”.
Selain itu, ia juga
mengimbau, agar umat Islam tidak semakin terjerumus dalam tradisi yang tidak
sesuai dengan Islam dengan tidak ikut-ikutan melakukan padusan.
Islam dan Budaya
Islam tidak
fobia-alergi dengan tradisi-budaya. Islam sangat menghargai seni,
menempatkannya pada posisi yang imbang dan selayaknya. Seni budaya dalam Islam
beriring muncul dengan diutusnya Rasulullah Saw.
Hal ini
bisa dijumpai diantaranya dalam Shahih-Bukhori: Bahwa Abu Bakar pernah masuk ke
rumah Aisyah untuk menemui Nabi ketika itu ada dua gadis di sisi Aisyah yang
sedang bernyanyi, lalu Abu Bakar menghardiknya seraya berkata: ”apakah pantas
ada seruling syetan di rumah Rasululallah”. Kemudian Nabi menimpali ”دع هما يا ابا بكر فاءنها
ايام عيد”. Dalam hadits tersebut, memberikan gambaran bahwa Islam sangat respon
terhadap budaya.
Bahkan dalam hukum Islam (fiqih), budaya
”adat-istiadat” merupakan kaidah dalam pengambilan hukum. Seperti dalam kaidah
ushul fiqih العادة
محكمة . Akan tetapi, Islam sangat
selektif terhadap bentuk budaya, jika budaya itu seseuai dengan syariatullah,
maka hal itu bisa dijadikan hukum. Namun apabila adat-istiadat itu menyimpang
dari syariat maka adat itu merupakan adat jahiliyyah.
Komersialisasi Budaya Padusan.
Memang “budaya
dan penyimpangan”
dengan segala corak dan macamnya serta strategi merubah
agar
menjadi produk budaya yang laik diamini sesuai norma luhur Bangsa dan wahyu Ilahi,
tak seperti iklan pegadaian “menyelesaikan masalah tanpa masalah”.
Justru
sering membuat masalah baru jika tidak tepat dalam penanganannya dan tanpa
perencanaan yang matang dalam aksinya.
Problem
budaya yang terjadi di tengah masyarakat kita sekarang ini sebenarnya adalah
sebuah pengulangan
dari sikap manusian terdahulu, hanya saja kuantitas dan kualitasnya semakin
banyak dan variatif.
(Didin Hafidhuddin, 2006: 73).
Jargon
”urip-urip budaya leluhur” selalu ditabuh oleh pemerintah kita mulai pusat
sampai daerah, baik budaya itu bersifat lokal normatif, kejawen, abangan,
klenik sampai budaya yang mengandung ”formalin” kesyirikan.
Dari segi
finansial budaya-budaya yang dilanggengkan oleh dinas pariwisata tersebut
tentunya budaya yang dinilainya bisa meraup keuntungan besar dan ekonomis
prospektif, tidak melihat esensi budaya jika dilihat dari perspektif aqidah dan
agama Islam.
Industri pariwisata kita telah jamak
membajak aqidah umat Islam. Kita tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa kultur
Indonesia lebih “mendewakan” hal-hal yang bersifat ritual.
Sebagaimana analisis Mulder
(pengamat budaya). Ia menyebutkan: “Bahwa perubahan dan kejadian-kejadian baru
harus dimasukkan secar formal ke dalam struktur keadaan yang sudah ada atau
mereka harus diakui secara ritual dahulu baru kemudian dapat diterima.” (Neil
Mulder, 1984: 53).
Analisis mulder ini menguatkan fakta
bahwa ritual-ritual yang ada selama ini sebagian sudah diformalkan oleh instansi pemerintahan
kita. Seperti ritual “padusan” (kungkum) ini. Dan hebatnya, tradisi ini memang sengaja
dilanggengkan sebagai event Pariwisata.
Masih banyak lagi contoh budaya
“aneh” yang perlu kita garap untuk diluruskan, dimana proses kebudayaan yang “tersandera” kepentingan
uang ini, selain akan berimbas pada aqidah umat Islam, tentunya juga semakin
memberikan beban berat dan tantangan bagi dakwah Islam.
Islam
Memberi Solusi?
Solusi
paling tepat dalam mendakwahinya, sekaligus sebagai wahana jihad amar ma'ruf
nahi munkar dalam Islam adalah melakukan berbagai pendekatan secara
persuasif dan memberi contoh produk khasanah Islam yang sudah ditawarkan
Muhammad.
Diantaranya adalah:
Pertama, Pendekatan adat-istiadat.
Pendekatan ini dilakukan dengan memilih dan memilah mana adat-Istiadat yang
sesuai Islam dan mana yang menyimpang,
Kedua, Berintegrasi.
Bergabung dan menyatu dengan sekelompok masyarakat yang mempunyai ritual ”aneh”.
Metode ini sangat praktis, asalkan
kita tidak ikut tenggelam
dalam kebiasaan dan keyakinan budaya aneh itu,
Ketiga, Pendekatan
formal.
Pendekatan yang di dukung oleh instansi-instansi resmi seperti pejabat
pemkab, aparatur desa, ormas
keagamaan legal, dan instansi lainnya agar jangan memberi ruang gerak terhadap
industri pariwisata yang bersifat materialis dan mengandung keharaman.
Keempat, Meniru budaya Islam. Muhammad
adalah teladan yang sangat tepat, sehingga para ahli mencatat bahwa Muhammad
adalah orang tersukses dan tercepat dalam melakukan suatu perubahan besar dan
mendasar pada kehidupan masyarakat. (wa
Allahu a'lam bi al-Shawab).
syukron atas ilmunya,
BalasHapusizin share ustadz