Selasa, 24 Juni 2014

“PADUSAN” PERSPEKTIF ISLAM



“PADUSAN” PERSPEKTIF ISLAM
Dr. Muthoifin Walidem 

            Salah satu tradisi yang digandrungi dan selalu dapat ditebak keramaiannya menjelang puasa di bulan Ramadhan adalah tradisi Padusan.
            Ya, Padusan bagi sebagian masyarakat Jawa merupakan tradisi rutin yang dilakukan untuk menyambut datangnya bulan Ramadhan, dan dilaksanakan sehari menjelang tanggal 1 bulan Ramadan.
            Di wilayah Solo Raya ini, terdapat beberapa lokasi favorit bagi warga untuk menjalankan tradisi ini. Salah satu yang paling ramai adalah ritual Padusan di Umbul Ingas atau Umbul Cokro. Selain itu, tradisi padusan ini juga akrab dilakukan di beberapa daerah di Boyolali. Seperti di Umbul Pengging, Umbul Tlatar, Umbul Pantaran dan sejumlah lainnya di sekitar lereng Merbabu.
Tradisi padusan sendiri, konon dimulai sejak zaman Raden Ngabehi Yosodipuro I yang wafat tahun 1802. Kebiasaan itu kemudian diteruskan secara turun-temurun hingga sekarang. Karena menurut sebagian legenda, bahwa pemandian di Pengging itu sendiri merupakan pemandian para raja-raja dulu.
Sedangkan makna padusan. Sebagaimana yang pernah disampaikan Sesepuh abdi dalem Karaton Surakarta di Pengging: “ Bahwa makna padusan itu sendiri melambangkan tiga tahapan hidup manusia yang dipercayai oleh orang jawa. Dalam tahapannya itu diperlukan untuk bersuci diri, salah satunya yakni dengan padusan” (Anwar Hartanto, 76).
Ritual ini dilakukan dengan cara berendam di sejumlah umbul, sebagai tanda upaya menyucikan diri sehingga pantas menjalani puasa Ramadhan. Dan sudah menjadi tradisi, sejak zaman raja-raja dahulu, sampai sekarang dilestarikan oleh masyarakat.
Bahkan ritual ini sudah dikemas begitu apiknya, untuk dijadikan sarana obyek wisata yang bisa meraup keuntungan besar. Karena masyarakat sekitar dan beberapa wilayah di Solo Raya setiap menjelang Ramadhan berbondong-bondang melakukan ritual tersebut.
Adapun teknikal sebelum acara ritual dimulai, dilakukan dulu kirab dari Sasana Kapujanggan Pengging menuju Umbul Ngabeyan yang ada di lokasi wisata Pengging.
Selanjutnya prosesi kirab Mas dan Mbak.  Keduanya duduk berdampingan, lalu dilakukan siraman dengan air kembang setaman yang sebelumnya dibacakan doa oleh pemimpin upacara adat.
Usai siraman menggunakan kembang setaman itu, Mas dan Mbak itu melakukan ritual “kungkum” di umbul, yang konon merupakan peninggalan PB X Keraton Surakarta.
Siraman atau padusan ini diartikan sebagai pembersihan diri dari segala kotoran sebelum menjalan ibadah puasa di bulan Ramadhan.
            Padusan sendiri selain ritual bersih-bersih. Ia juga merupakan gelaran “wisata” tahunan yang bisa dimanfaatkan untuk menjual sektor pariwisata. Dengan acara ini, bisa mendongkrak jumlah pengunjung, yang akhirnya bisa menambah pendapatan daerah.
Perspektif Islam
“Padusan” dalam terminologi Islam hampir mirip dengan mandi (الغسل). Mirip di sini bukan berarti sama, karena dua hal yang mirip itu belum tentu sama.
Mandi dalam Islam adalah sebuah amalan yang sudah disyariatkan. Ia bisa berhukum wajib, sunnah, mubah, makruh, bahkan bisa berhukum haram.
Mandi janabat adalah wajib bagi orang yang telah melakukan hadats besar. Berhukum sunnah apabila dilakukan untuk menunaikan shalat jum'at, shalat Idul Fitri, serta Idul Adha. Mandi berhukum haram, apabila mandi yang tidak untuk keduanya (wajib-sunnah), akan tetapi mandi dengan niatan yang menyimpang dari syariatullah. Seperti mandi “kembang” biar ampuh, mandi “kungkum” biar terhindar dari malapetaka,  serta mandi-mandi lain dengan niatan agar bisa mendatangkan barokah yang tidak sesuai syariat.
Mengapa mandi ini begitu ragam hukumnya?. Bukankah dalam Islam, nabi sudah bersabda (انَّمَا الاَعْمَالُ بِالِنّيِّاَت) sesungguhnya suatu perbuatan itu tergantung niatnya.
Memang, kalau “padusan” itu dijalankan dengan niatan seperti mandi biasa dan sesuai tuntunan syariat mandi, maka hal itu diperbolehkan (mubah). Akan tetapi jika “padusan” itu dengan niatan yang keliru, bahkan dengan berbagai ritual yang menyimpang syariat. Maka hal itu, tentunya menjadi mandi yang haram, dan hal ini wajib kita dakwahi. 
Ritual Padusan yang dimaksud di sini. Yaitu, dijalankan dengan mandi bersama di pemandian umum dengan tujuan untuk mensucikan diri sebelum puasa serta dengan niat mandi besar/janabat. Bahkan dengan sengaja berniat untuk menyambut bulan Ramadhan. Tentunya hal ini tidak ada syariatnya.
Diberbagai kitab maupun buku apapun, tidak ada dalil yang membicarakan dan membenarkan ritual mandi dalam rangka menyambut bulan Ramadhan. Ini adalah sesuatu yang tidak syar'i. Apalagi dilakukan dengan prosesi Mas dan Mbak, dimana si Mbak ini mandi tanpa menutupi aurat sebagaimana aurat yang diwajibkan pada perempuan (terbuka sebagian pundak dan dadanya).
Memang, Padusan merupakan adat baru yang dilestarikan oleh sebagian masyarakat Jawa. Hal ini sama sekali tidak ada dan tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah dan sahabat-sahabatnya.
            Mungkin ada yang berkilah bahwa padusan ini hanyalah tradisi, sehingga tidak perlu dicarikan dalilnya dalam al-Qur'an maupun al-Sunnah. Apalagi yang dilakukan itu merupakan sesuatu yang “baik”, yaitu mandi besar yang notabene disuruhkan oleh syariat, di tambah lagi tradisi ini dilakukan dalam rangka menghormati dan menyambut datangnya bulan puasa.
Orang boleh saja mengatakan demikian. Namun, perlu diperhatikan bahwa sebuah tradisi tetaplah harus ditinjau kebenarannya dengan timbangan syar’i, hanya tradisi-tradisi baik dan yang tidak menyalahi nash sajalah yang boleh diikuti. Sedang tradisi-tradisi  yang menyalahi syariat atau tidak sesuai dengan akhlaqul karimah, tanpa diragukan lagi harus di dakwahi (nahi munkar).
Lantas di manakah letak ketidaksesuaian tradisi padusan ini dengan Islam?.
Pertama,  padusan selalu dikaitkan dengan persiapan menghadapi ibadah puasa. Berarti, ini bukan murni sebuah tradisi duniawi, akan tetapi sudah menyangkut ranah syariat dan agama. Sedangkan dalam syariat Islam tidak ditemukan kamus, kewajiban atau sunnah mandi menjelang Ramadhan.
Kedua, acara padusan, orang-orang pada mandi bersama di pemandian umum, tidak dipungkiri hal itu merupakan ajang “kemaksiatan” yang nyata. Bayangkan saja, laki-laki dan perempuan berbaur di satu kolam. (bahkan perempuanya tidak lengkap menutupi aurat) Ini jelas kemungkaran yang semestinya tidak dilakukan. Alih-alih membersihkan diri, menjadi suci. Justru! jiwa malah semakin terkotori dengan dosa-dosa kemaksiatan.
Tradisi padusan ini juga menguandang reaksi keras dari ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Solo Prof Zainal Arifin Adnan. Ia menegaskan bahwa tradisi padusan yang sering dilakukan masyarakat menjelang Ramadhan adalah haram.
Menurutnya, Padusan adalah tradisi yang menyalahi pakem (budaya yang mengikuti ibadah Ramadhan) dan tanpa tuntunan ibadah yang syar'i,”.
MUI Solo tidak setuju dengan tradisi yang sudah ada sejak puluhan tahun itu karena tidak sesuai tuntunan ajaran Islam. Padusan tidak pernah ada dalam Islam dan tidak termasuk ibadah. Padusan adalah adat orang Jawa yang sudah berlangsung sejak lama.
Lebih lanjut ketua MUI mengatakan: “Jika dianggap ibadah, jelas MUI memfatwakan haram untuk tradisi tersebut”.
Selain itu, ia juga mengimbau, agar umat Islam tidak semakin terjerumus dalam tradisi yang tidak sesuai dengan Islam dengan tidak ikut-ikutan melakukan padusan.
Islam dan Budaya
Islam tidak fobia-alergi dengan tradisi-budaya. Islam sangat menghargai seni, menempatkannya pada posisi yang imbang dan selayaknya. Seni budaya dalam Islam beriring muncul dengan diutusnya Rasulullah Saw.
Hal ini bisa dijumpai diantaranya dalam Shahih-Bukhori: Bahwa Abu Bakar pernah masuk ke rumah Aisyah untuk menemui Nabi ketika itu ada dua gadis di sisi Aisyah yang sedang bernyanyi, lalu Abu Bakar menghardiknya seraya berkata: ”apakah pantas ada seruling syetan di rumah Rasululallah”. Kemudian Nabi menimpali ”دع هما يا ابا بكر فاءنها ايام عيد. Dalam hadits tersebut, memberikan gambaran bahwa Islam sangat respon terhadap budaya.
Bahkan dalam hukum Islam (fiqih), budaya ”adat-istiadat” merupakan kaidah dalam pengambilan hukum. Seperti dalam kaidah ushul fiqih العادة محكمة . Akan tetapi, Islam sangat selektif terhadap bentuk budaya, jika budaya itu seseuai dengan syariatullah, maka hal itu bisa dijadikan hukum. Namun apabila adat-istiadat itu menyimpang dari syariat maka adat itu merupakan adat jahiliyyah.
Komersialisasi Budaya Padusan.
Memangbudaya dan penyimpangan” dengan segala corak dan macamnya serta  strategi merubah agar menjadi produk budaya yang laik diamini sesuai norma luhur Bangsa dan wahyu Ilahi, tak seperti iklan pegadaian “menyelesaikan masalah tanpa masalah”.
Justru sering membuat masalah baru jika tidak tepat dalam penanganannya dan tanpa perencanaan yang matang dalam aksinya.
Problem budaya yang terjadi di tengah masyarakat kita sekarang ini sebenarnya adalah sebuah pengulangan dari sikap manusian terdahulu, hanya saja kuantitas dan kualitasnya semakin banyak dan variatif. (Didin Hafidhuddin, 2006: 73).
Jargon ”urip-urip budaya leluhur” selalu ditabuh oleh pemerintah kita mulai pusat sampai daerah, baik budaya itu bersifat lokal normatif, kejawen, abangan, klenik sampai budaya yang mengandung ”formalin” kesyirikan.
Dari segi finansial budaya-budaya yang dilanggengkan oleh dinas pariwisata tersebut tentunya budaya yang dinilainya bisa meraup keuntungan besar dan ekonomis prospektif, tidak melihat esensi budaya jika dilihat dari perspektif aqidah dan agama Islam.
Industri pariwisata kita telah jamak membajak aqidah umat Islam. Kita tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa kultur Indonesia lebih “mendewakan” hal-hal yang bersifat ritual.
Sebagaimana analisis Mulder (pengamat budaya). Ia menyebutkan: “Bahwa perubahan dan kejadian-kejadian baru harus dimasukkan secar formal ke dalam struktur keadaan yang sudah ada atau mereka harus diakui secara ritual dahulu baru kemudian dapat diterima.” (Neil Mulder, 1984: 53).
Analisis mulder ini menguatkan fakta bahwa ritual-ritual yang ada selama ini sebagian sudah diformalkan oleh instansi pemerintahan kita. Seperti ritual “padusan” (kungkum) ini. Dan hebatnya, tradisi ini memang sengaja dilanggengkan sebagai event Pariwisata.
Masih banyak lagi contoh budaya “aneh” yang perlu kita garap untuk diluruskan, dimana proses kebudayaan yang “tersandera” kepentingan uang ini, selain akan berimbas pada aqidah umat Islam, tentunya juga semakin memberikan beban berat dan tantangan bagi dakwah Islam.
            Islam Memberi Solusi?
            Solusi paling tepat dalam mendakwahinya, sekaligus sebagai wahana jihad amar ma'ruf nahi munkar dalam Islam adalah melakukan berbagai pendekatan secara persuasif dan memberi contoh produk khasanah Islam yang sudah ditawarkan Muhammad.
Diantaranya adalah:
Pertama, Pendekatan adat-istiadat. Pendekatan ini dilakukan dengan memilih dan memilah mana adat-Istiadat yang sesuai Islam dan mana yang menyimpang,
Kedua, Berintegrasi. Bergabung dan menyatu dengan sekelompok masyarakat yang mempunyai ritualaneh”. Metode ini  sangat praktis, asalkan kita tidak ikut tenggelam dalam kebiasaan dan keyakinan budaya aneh itu,
Ketiga, Pendekatan formal. Pendekatan yang di dukung oleh instansi-instansi resmi seperti pejabat pemkab, aparatur desa, ormas keagamaan legal, dan instansi lainnya agar jangan memberi ruang gerak terhadap industri pariwisata yang bersifat materialis dan mengandung keharaman.
Keempat, Meniru budaya Islam. Muhammad adalah teladan yang sangat tepat, sehingga para ahli mencatat bahwa Muhammad adalah orang tersukses dan tercepat dalam melakukan suatu perubahan besar dan mendasar pada kehidupan masyarakat. (wa Allahu a'lam bi al-Shawab).


1 komentar: