Karena Aku Ingin Berubah
Dr. Muthoifin Walidem.
Anak
mentari pagi itu mempunyai sejuta opsesi,
Cita-citanya
sangat membumbung tinggi,
Setinggi
angkasa raya yang sedang menggelora,
Tak mengenal lelah, pasrah, bahkan putus asa.
Meskipun
jalan ditempuh tidaklah mudah,
Penuh dengan perjuangan dan pelayaran,
Mengarungi samudera sejauh mata memandang,
Menembus alam yang penuh rintangan.
Sementara
ia hanya seorang anak nelayan,
Tiap
harinya bergulat dengan ombak di lautan.
Ia jalani dengan mencari ikan,
Disamudera luas, sudah menjadi ikatan.
Berangkat
senja hari,
Pulang mentari pagi,
Meringankan pujaan hati,
Orang tua si nelayan, buruh tani.
Dibesarkan di tepi hamparan luas,
Alam pesisir yang amat panas.
Sampai menginjak usia lima belas,
Si “Bolang” kian selaras.
Thoifin Towaf namanya,
Orang yang suka berkelana artinya,
“Ipin” orang biasa menyapanya,
Sampai sekarang usianya.
Upin
Ipin dari negeri seberang,
Terkenal di negeri orang,
Ipin yang ini asli anak
negeri,
Yang selalu cinta bumi pertiwi.
Nama lengkapnya ia rahasiakan,
Sampai gelar Profesor ia harapkan,
Karena
perjuangan masih panjang,
Butuh
ketulusan dan sikap tenang.
Aktifitas melaut, tiap menjelang petang,
Kegelapan malam yang bertabur bintang,
Diiringi
angin malam berhembus kencang,
Membuatnya merenung dan bimbang.
Tentang nasib dan masanya kelak,
Apakah masih layak?,
Menjadi pencari “iwak”,
Ataukah harus bergejolak?.
Perasan
gundah…!?,
Gelisah…!?,
Sedih…!?,
Selalu berganti silih…!?.
Ia seakan-akan
pasrah!!!!,
Dengan suratan takdir sudah,
Jadi kaum lemah,
Yang tak punya daya dan petuah.
Bertahun-tahun
merenung,
Merenung dan merenung,
Mencari tempat bernaung,
Selagi belum hujan, sedia payung.
Suatu
hari…,
Ia memberanikan diri,,
Cuti melaut, agar beri,
Beralih masa depan yang sedang dicari.
Tapi kata orang tua:
Nak, kalau kamu tidak melaut, mau kerja apa?,
Makan apa?,
Mau kemana?.
Ipin terdiam dan membisu,
Membisu seribu kutu,
Merasa salah dan malu,
Karena memang belum tahu.
Berat terasa ia tuangkan:
“Ipin pingen sekolah…”
“Ipin pingen kuliah…..”
“Ipin pingen
menyenagkan ayah….”
Biar ayah bisa bahagia,
Aku jadi anak yang setia,
Begitu juga keluarga,
Dan semua saudara.
“Uang dari mana kamu kuliah Ipin?” jawab
ayah,
“InsyaAllah Ipin bisa
cari uang sendiri ayah”,
Jawab Ipin dengan meyakinkan ayah,
Ayah tercerengah….???!!!.
Tekat Ipin yang
begitu menggelora,
Untuk bisa kuliah,
Menjadi mahasiswa,
Jadi anak harapan ayah.
Suatu
hari yang cerah,
Ia diterima,
Di Perguruan Tinggi swasta,
Di pesisir “Pantura”.
Eh, apa mau
dikata…?,
Perkuliahan baru saja,
Berjalan tiga bulan,
Ia harus merelakan.
Keluar dari perkuliahan,
Yang lama ia idam-idamkan,
Karena tidak biaya anggaran,
Yang sudah menjadi kebutuhan.
Namun, semangat Ipin tetap seperti semula,
Tak pernah putus asa,
Meskipun banyak kendala,
Demi sebuah mimpi dan asa.
Suatu
hari, disinari fatamorgana,
Ipin mulai melangkah,
Mencari informasi tentang beasiswa,
Agar bisa melanjutkan kuliah.
Melangkah dan melangkah,
Menyusuri berbagai wilayah dan daerah,
Singgah di kecamatan sebelah,
Ada lembaga yang sedang tergugah.
Tanpa
berfikir panjang,
Ipin langsung datang,
Memberanikan diri,
Dan mendaftarkan diri.
Setelah
ditraining beberapa bulan,
Ia pemuda yang punya kemauan,
Dengan kecerdasan lumayan,
Ia mendapatkan tawaraan.
Kuliah di Kota Bengawan,
Meskipun hanya bermodalkan pas-pasan,
Ditemani seorang kawan.
Yang senasib dan seperjuangan.
Tahun 2001 (dua ribu satu),
Bermodalkan lima puluh ribu,
Mendaftarkan diri di
kampus yang di tuju,
Diterima dengan rasa haru.
Karena mendapatkan beasiswa penuh,
Yang sebelumnya ia tidak pernah tahu,
Karena Allah-lah yang Maha Tahu,
Ipin terus belajar tanpa lelah, dan tanpa jenuh.
Meskipun hidup dalam keperihatinan,
Kesederhanaan dan ketidakjelasan,
Dengan uang yang sangat pas-pasan,
Lantaran hanya seorang anak nelayan.
Berpenghasilan tidak aturan,
Apalagi
pas musim hujan,
Aktifitas melaut terhenti,
Karena ombak yang tidak mengerti.
Suatu hari berkabung,
Ipin ingin pulang kampung,
Kala waktu liburan berkunjung,
Naik truk, karena tiada biaya
langsung.
Setelah
dua tahun berjalan (2003),
Ipin lulus D2.
Melanjutkan jenjang D3
Dengan program yang sama.
Ia diterima,
Dengan perjalan hidup yang hampir sama,
Penuh keperihatinan,
Dan perjuangan.
Ia jalani,
Dengan semangat tinggi,
Jadi mahasiswa sejati,
Pantang mundur sampai mati.
Yakin seyakin-yakinnya:
Siapa yang berjalan di atas jalannya,
Maka ia akan sampai.
Siapa yang
sungguh-sungguh,
Maka ia akan menggapai.
Dan siapa yang menanam,
Maka ia akan menuai.
Sepenggal
kalimat sakti,
Memberi inspirasi sejati,
Bagi orang yang mau menapaki,
Ke jalan yang lulus nan hakiki.
Ipin mendapatkan pencerahan nurani,
Demi sebuah pencapaian mimpi,
Mendapatkan ridha Ilahi,
Memberi kemaslahatan di langit
dan di bumi.
Setelah
tiga tahun pengembaraan,
2004 Ipin lulus dari perkuliahan,
Pulang dengan kabar gembira,
Kepada orang tua dan sanak
saudara.
Semuanya gembira tiada tara,
Ipin memberanikan diri bersuara:
“Perjalan suci masih dan belum terlaksana,
Karena aku ingin
menjadi sarjana.”
Ayah gelisah,
Dan cuma bertuah:
“Semoga engkau dimudahkan Allah nak......?,
Semoga apa yang engkau
cita-citakan kesampaian nak…?.”
Tidak lama rumah, Ipin langsung
berkelana,
Mendaftar S1, langsung diterima.
Kali ini tanpa beasiswa,
Menjadi mahasiswa biasa.
Yang harus membayar full 100%, alias semuanya,
Ia
bingung harus bagaimana?
Bayar pakai apa…?,
Selama ini ia biasa dengan beasiswa.
“Ah, masak menyerah,
Hanya gara-gara biaya,
Semua pasti ada cara,
Asal kita mau berusaha.”
Piker Ipin.
Sungguh, niat kuat tidak bisa terbendung,
Meskipun langit meruntuhkan mendung,
Ataupun harus berjalan kaki Surabaya-Bandung,
Ipin tetap berjalan dan
mencari pendukung.
Hari demi hari ia lalui,
Suka-duka ia
jalani,
Demi sebuah mimpi,
Yang sudah menghujam terpatri di hati.
Eh, di pertengan sua,
Ipin ternyata terkendala biaya,
Sementara pekerjaan hampa,
Kiriman uangpun tiada.
Menunggak SPP jadi kenangan,
Karena harus rela melapor ke bagian
keuangan,
Mintak “dispensasi” penguluran pembayaran,
Karena tiada uang yang harus dicairkan.
Ipin berjanji akan masanya melunasi,
Kalau memang sudah ada rezeki,
Dari Yang Maha mencukupi.
Alhamdulillah, muncullah Malaikat pembawa informasi,
PT. Djarum akan memberikan beasiswa,
Darma Puruhita bagi mahasiswa,
Peraih berprestasti yang terkendala biaya,
Agar mau mencoba dan mencoba.
Proses seleksi dimulai,
Yang minat 300
peserta lebih,
Yang diambil sekitar 20 kurang lebih,
Hati Ipin berdebar kencang tiada henti.
Banyaknya saingan memperebutkan beasiswa
bergengsi,
Favorit di mata mahasiswa-mahasiswi,
Ipin pasrahkan masalah ini pada Ilahi,
Agar diberi yang terbaik dan yang pasti.
Ipin yakin, “setiap kesulitan pasti ada kemudahan”,
“siapa
yang sungguh-sungguh pasti akan mendapatkan”,
Sebulan kemudian, info di umumkan,
Allahu Akbar!!!!!, Ipin masuk 20 mahasiswa harapan.
Betapa
senangnya hati ini,
Anak nelayan sang mentari pagi,
Yang membawa pencerahan setiap hari,
Agar semua hutang-hutang terlunasi.
Syukur
tak terkira, ia sampaikan,
Kepada orang
tua dan handaitaulan,
Yang selalu mendoakan meski di usia senja,
Agar selalu dimudahkan sampai diwisuda.
Eh, ternyata Ipin masih
punya tagihan,
Yang harus dibayarkan,
Sebelum menjadi wisudawan,
Uang beasiswa habis buat tunggakan-tungegakan.
Ipin terpaksa mencari dana pinjaman,
Untuk membayar biaya tagihan,
Setelah
mendapatkan uang pinjaman,
Segera dibayarkan ke biro keuangan.
Semua administrasi sudah bebas,
Lepas…,
Tanpa cemas,
Dan Ipin meraih IPK teratas.
Menjadi wisudawan terbaik,
Masuk kategori terbaik,
Ditempatkan di kursi yang paling baik,
Begitu jua kedua orang tua, kursi VVIP sedikit naik.
Lulus sarjana,
Ipin langsung mencari sarana,
Untuk membantu keluarga,
Sanak saudara.
LSM, ia diterima dilembaga sosial,
Disebuah desa terpencil,
Ujung Jawa Timur, Kota Banyuwangi.
Berseberangan pulau Bali.
Setelah
beberapa bulan bekerja,
Ia ingin menjadi seorang dosen,
Tidaklah cukup bermodalkan sarjana,
Minimal S2 agar jadi dosen.
Ia mencoba ke jenjang yang lebih tinggi,
Berusaha menaiki.
Ia sadar…
Hal itu butuh biaya besar.
Tapi apa
mau dikata,
Kalau tekat sudah membara,
Apapun jadi bisa,
Ia mendaftar di
Pascasarjana.
Diterima di kelas
reguler,
Padahal fulus hanya sepeser,
Hanya bermodalkan nekat,
Dan tekat.
Setelah
beberapa bulan,
Ia mulai merasakan beban,
Harus menyiapkan
Puluhan juta untuk bayaran.
Tekat
yang sudah bulat,
Pantang untuk mundur,
Keinginan sudah kuat,
Mundur tambah hancur.
Dengan “kegigihan”,
Ditopang pengalaman,
Ia terapkan.
Mencari beasiswa yang diharapkan.
Ia melangkan ke Pemda.
Beasiswa semoga ada ,
Untuk putra daerah,
Semangat tanpa pasrah.
Alhamdulillah, ia diterima,
Karena memang ia berhak menerima,
Berupa beasiswa prestasi,
Karena ia memang berprestasi
Tingkat Master hampir selesai dengan
perjuangan,
Ada tanda-tanda terang dari pembiayaan,
Hal semoga hal ini bisa menutupi,
Demi sebuah mimpi.
Hari
demi hari,
Silih berganti,
Senja menjadi mentari,
Di pagi hari yang sudah
dinanti.
Ipin berusaha untuk selalu memudahkan,
Agar kelak ia akan memudahkan,
Setiap kesulitan pasti ada kemudahan,
Siapa yang mau memudahkan pasti akan dimudahkan,
Belum
genap setahun meraih
prestasi.
Ipin menatap perjuangan lagi,
Ke puncak tertinggi,
Jenjang Dokotoral target informasi.
Ipin tak hentinya mencari-cari,
Informasi S3 yang selalu dinanti,
Perlu kecerdasan yang mumpuni,
Dan biaya tercukupi.
Dengan penuh kerendahan,
Ipin menatap ke langit biru,
Agar mendapat pencerahan,
Dari Sang Maha Tahu.
Malam
demi malam,
Bulan demi bulan,
Ipin mendapatkan bisikan,
Akan adanya jalan kemudahan.
Salah satu lembaga nir-laba di Jakarta.
Beasiswa tingkat Doktoral ditawarkan.
Bagi putra-putri Bangsa,
Untuk sebuah pengabdian dan pendidikan.
Ipin tidak menyia-nyiakan kesempatan berharga ini,
Ia amati dan pelajari,
Dengan menyusun strategi,
Agar tercapai sebuah misi.
Setelah
dirasa cukup.
Ia melayangkan pos tertutup.
Sebelum pendaftaran di tutup.
Agar namanya ikut termaktub.
Setelah beberapa bulan,
Proses seleksi berlangsung.
Ipin mengharap restu orang tua dan pamit,
Sambil mengharap kekuatan dari “langit”.
Karena hanya kekuatan dari langitlah,
Hal yang sulit menjadi mudah.
Hal yang mustahil,
Menjadi hasil.
Ipin sadar, untuk
mendapatkannya tidaklah mudah,
Perlu perjuangan dan pengorbanan,
Kesederhanan .
Dan keperihatinan.
Akhirnya, berkat ridha dan do’a,
Ipin benar-benar mendapatkan kado istimewa,
Ia termasuk penerima beasiswa,
Di tingkat Doktoral yang paling Istimewa.
Betapa
senang dan terkejut rancak,
Karena hampir meraih puncak,
Yang sudah menjadi kehendak,
Program Doktor yang sudah dipundak.
Ipin sadar akan menuai,
Hantaman sebuah badai,
Yang lebih dahsyat sampai,
Hamir sebesar gunung Sinai.
Semakin tinggi pohon menjulang,
Maka semakin tinggi cobaan berulang,
Semakin tinggi sekolah seseorang,
Maka semakin tinggi pula ujian seseorang.
Ipin sempat ragu…???///!!
Apakah mengambil “kesempatan”?
Ataukah biar berlalu….!!!
Agar tidak menanggung ujian.
Kalau mengambil kesempatan,
Kerja di Banyuwangi harus ditinggalkan,
Pindah ke Bogor jadi taruhan,
Untuk melanjutkan misi dan tujuan.
Ipin menatap ke langit lagi
Agar mendapat petunjuk dari Ilahi
Perjuangan suci harus dimulai
Dan harus dijalani.
Ia
teguhkan niatnya untuk melangkah,
Mengambil keputusan kuliah,
Mumpung tanpa biayah,
Meskipun harus bersusah payah.
Dari
Banyuwangi ia menuju ke tempat kelahirannya “Demak”
Memohon restu “bapak”
Memohon ridho “emak”
Agar selamat dan berlangsung dengan “pepak”.
Ipin melangkah ke
Jakarta,
Bersama anak Istri naik kereta,
Menyusuri sawah alam semesta,
Mengharap tercapainya cita,
Di Jakarta…
Semula
tiada masalah.
Tiga bulan ia mulai payah,
Karena semuanya memakai biayah.
Persediaan uang dari kampung mulai menipis.
Harus puasa senin-kamis.
Agar tidak mudah habis.
Meski enjoy dengan naik bis.
Ia mulai sadar,
Bertahan hidup di kota besar,
Harus tahan dan sabar,
Agar tercapai sesuatu yang besar.
Ia mulai panik,
Seakan-akan tercekik,
Uang mulai paceklik,
Cari kerjaan bersaingan pelik.
Tidak semudah membalikkan,
Kedua telapak tangan,
Harus penuh perhitungan,
Agar semuanya bisa bertahan.
Uang
mulai habis,
Tiada yang menggubris.
Peru rasanya teriris,
Karena memang persediaan habis.
Untuk mencari sesuap nasi,
Ia rela kesana-kemari,
Sambil memberanikan diri,
Mengharap sumbangan para pemberi.
Ipin sadar akan cobaab berat,
Sebagai resiko studi berat,
Asalkan tetap selamat,
Dan sehat wal afiat.
Ipin mengadu kepada Allah,
Karena sesuatu ditangan-Nya-lah,
Alhamdulillah…..
Ipin dapat celah.
Ipin lantas dipindah tugaskan,
200 ribu hanya bermodalkan.
Dari “Kota Belimbing”
Ke “Kota Kembang”.
Tinggal di Bandung,
Sebuah pesantren,
Tanpa ngontrak dan biaya makan,
Karena sudah ditanggung sebuah yayasan.
Awal bulan pertama berganti,
Tiada terasa kekurangan berarti,
Tinggal memikirkan studi,
Agar berjalan dengan pasti.
Akan tetapi….?!!!!”””
Ternyata, tantangan
berulang lagi,
Karena tiada uang dan gaji,
Buat operasional sehari-hari.
“Astaghfirullah….”
“MasyaAllah…..”
“Allahu Akbar…..!!!!”
“Allah Maha Besar”.
Padahal Bandung-Bogor sangat jauh,
Perlu tenaga dan biaya penuh,
Bermandikan peluh,
Tanpa jenuh dan tetap teguh.
Setelah
tiga bulan berlalu,
Cobaan dating bertamu,
Mengabarkan kabar pilu,
Orang tua sudah tidak bertemu.
Ayah sakit,
Harus dibawa ke rumah sakit.
Disaat saya sulit,
Karena hanya punya uang sedikit.
Ipin bingung….???
Ling-lung….????
Harus berbuat apa?,
Tidak bisa apa-apa?.
Hanya bisa berdo’a:
“Semoga lekas sembuh,
Sehat seperti semula,
Tiada suatu bencana.”
Akan tetapi, malam itu begitu getir,
Bagaikan disambar petir!!!!!!
Jiwa raga laksana kucar-kacir
Ayah wafat menuju ke Hari Akhir.
Ipin bingung bukan kepalang?
Mau pulang, tiada
uang,
Ayah
tercinta kini telah berpulang,
Ke haribaan Ilahi yang Maha Penyayang.
Malam
hari, mau menemui seseorang,
Mintak biaya pulang,
Akan tetapi sayang,
Perasaan “sungkan” selalu datang.
Butuh
waktu dua malam,
Untuk sampai kampung halaman,
Jauhnya perjalanan,
Sudah terlanjur dimakamkan.
Sungguh, menangis tiada henti,
Dalam gerbong kereta api,
Berjalan sangat lirih,
Mohonkan ampun pada Ilahi.
Empat bulan berselang,
Ipin memutuskan pulang,
Kota perjuangan yang sangat di kenang,
Agar kembali jaya dan menang.
Dengan
tawakkal,
Ipin kuatkan bekal,
Keharibaan Allah Yang Maha Kekal,
Agar mendapat sesuatu yang legal.
Secercah harapan muncul,
Ibarat buah yang lagi tukul,
Setelah habis dicangkul,
“Cul, cul, cul….!!!.”
Ia diterima sebagai guru,
Merupakan pengalaman baru,
Setelah lama diburu,
Penuh dengan haru.
Tiga bulan kemudian,
Ipin diterima jadi dosen.
Bergajikan dua sen,
Disyukuri seratus persen.
Disela-sela
hari libur,
Ipin sempatkan jihad “kabur”,
Ke Bogor, tanaman bertabur,
Agar cepat menggali sumur.
Studi doktor harus diselesaikan,
Perjuangan harus dijalankan,
Jihad harus dikumandangkan,
Karena sebuah amanat, harus dipertanggungjawabkan.
Akhirnya, setelah setahun berjalan mulus,
Ipin jadi promovendus,
Dan dinyatakan lulus.
Sungguh, pengalaman tak terhapus.
Kini Ipin mulai bahagia,
Gelar Doktor telah
diperolehnya,
Dengan penuh suka dan duka,
Demi sebuah mimpi dan asa.
Yang sudah menghujam dihati.
Puncak impian sampai kini,
Agar bisa berbagi,
Untuk family dan Ibu Pertiwi.
Akhirnya, “semoga muncul, Ipin-Ipin yang lain,
Yang lebih berani, berbuat, dan bermain,
Demi masa depan yang lebih menjanjikan….,
Dan mencerahkan………..”
Meskipun hanyalah seorang nelayan,
Yang serba dalam keterbatasan.
Sampai titik darah penghabisan.
Karena, “Ipin ingin perubahan.”“Setiap kesulitan pasti ada kemudahan.”
*****
i like it
BalasHapus