Nama : Dr.
Muthoifin, M.Ag.
Alamat :
Kedungmutih, Rt.03, Rw.02, Wedung, Demak, Jawa Tengah.
Tempat/Tanggal lahir : Demak, 06 September 1980
Pekerjaan : Dosen
Nama Perguruan Tinggi : AKPARTA Mandala Bhakti Surakarta
Alamat Perguruan Tinggi : Jl. Letjen Soeprapto No.16, Sumber,
Surakarta.
Nomor HP : 085850908667/
081226371967.
OPTIMALISASI POLITIK OTONOMI
DAERAH
UNTUK SINERGISITAS DAN
PENCERAHAN BANGSA
Harus diakui,
pelaksanaan otonomi daerah meskipun sudah berjalan belasan tahun, hingga kini
masih saja dihadapkan pada berbagai masalah strategis. Dari masalah daerah
pemekaran yang berkinerja buruk hingga persoalan pengelolaan sumber daya alam.
Belum lagi ditambah masalah kesenjangan ekonomi, problem kemiskinan,
pembangunan infrastruktur yang belum merata, buramnya potret dunia pendidikan,
Kriminalisasi Kebijakan, sampai pada masalah korupsi Kepala daerah.
Berbagai persoalan
di atas, terutama masalah daerah pemekaran yang berkinerja buruk, sempat
mengundang reaksi dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Presiden SBY telah
mengkritik daerah-daerah pemekaran yang kinerjanya buruk. Bahkan ketua APKASI
Isran Noor, sempat mengeluarkan kebijakan tegas, agar pemerintah mencabut
status kabupaten yang dinilai tak mampu menyelenggarakan otonomi daerah. (Isran
Noor, 2012: 9-10).
Lebih dari itu,
Isran Noor juga memandang perlu adanya evaluasi regular atas kemampuan
pemerintah daerah dalam menyelenggarakan otonomi daerah.
Sementara Ketua
Komisi II DPR, Agun Gunandjar Sudarsa menyatakan: Meskipun otonomi daerah telah
berjalan belasan tahun memperoleh apresiasi, namun masih banyak kekurangannya,
seperti, banyaknya kewenangan yang tumpang tindih, kurangnya sumber daya
manusia unggul di kabupaten, disharmoni dan lemahnya koordinasi antara pusat
dan daerah, tidak jelasnya tata batas wilayah kabupaten, dan masih banyaknya
kawasan yang berpotensi konflik. (Isran Noor, 2012: 43).
Menteri Dalam
Negeri, Gamawan Fauzi, dalam acara Otonomi Expo dan Forum 2012 mengatakan:
Bahwa kewenangan besar sudah diberikan ke daerah. Anggaran demikian besar
digelontorkan ke daerah. Karena itu, kemakmuran diharapkan tumbuh dan bangkit
di daerah. Karena dari pelaksanaan otonomi ini diharapkan demokratisasi
berlangsung dengan subur dan mekar di daerah, dan kesejahteraan masyarakat
betul-betul terwujud. Karena pada hakekatnya dua itulah prinsip kita
menyelenggarakan otonomi.
Lebih lanjut
Mendagri mengatakan, bahwa pemerintah pusat dan DPR tidak bermaksud sama sekali
untuk menarik urusan dari daerah. Yang ingin kita wujudkan adalah bagaimana
urusan yang sudah diserahkan ke daerah benar-benar dijalankan dengan efektif.
Baik dalam penyuburan demokrasi maupun dalam menggairahkan ekonomi daerah.
(Isran Noor, 2012: 44).
Nurcholis Madjid, dalam bukunya yang berjudul Pembangunan
Nasional, Dilema antara Pertumbuhan dan Keadilan Sosial menyatakan: Usaha untuk
mengairahkan ekonomi di daerah-daerah guna terciptanya kesejahteraan dan kemakmuran
bangsa dirasakan amat mendesak, jika kita tidak mau ketinggalan oleh
negara-negara tetangga dengan segala akibatnya. Namun cita-cita mewujudkan kesejahteraan
dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat, telah menjadi kesadaran prinsipil
nasional dan melekat pada cita-cita kenegaraan kita. Hal inilah yang membawa
kita pada situasi dilematis, antara imperative pertumbuhan ekonomi dan
kewajiban moral menciptakan keadilan sosial. (Nurcholis Madjid, 1994: 23).
Lantas, untuk
mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat, pemerintah
akhirnya menggagas konsepsi politik otonomi daerah. Otonomi merupakan sendi
penting dalam kelangsungan pemerintahan di Indonesia. Otonomi bukan sekedar
menjamin efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan, akan tetapi
merupakan dasar pelaksanaan demokrasi dan instrumen dalam rangka mewujudkan
kesejahteraan rakyat. Bahkan tidak kalah pentingnya, otonomi daerah merupakan
salah satu sendi ketatanegaraan Republik Indonesia. (Bagir Manan, 1993: 46, dan
A. Salim Gadjong, 2007: 27).
Meskipun otonomi
yang diselenggarakan didasarkan pada efisiensi, efektivisasi, demokratisasi,
dan mewujudkan kesejahteaan masyarakat di daerah. Namun kenyataanya, masih
banyak permasalahan daerah yang tidak kunjung padam.
Hal ini
sebagaimana disampaikan pakar ilmu pemerintahan, Ryaas Rasyid: Bahwa setelah
otonomi dilaksanakan, seharusnya ada kemajuan berarti di daerah, seperti
kesejahteraan rakyat meningkat, kinerja kepala daerah bagus, dan terjadi
kompetisi yang sehat antardaerah. Dengan otonomi seharusnya kepala daerah takut
membuat kesalahan, malu jika daerah yang dipimpinnya tertinggal, dan berusaha
mencapai janji-janji mereka untuk pembangunan dan kesejahteraan rakyat. Namun
kenyataannya tidak demikian, masih banyak permasalahan-permasalahan yang
terjadi di daerah. (Isran Noor, 2012: 10).
Ryaas Rasyid juga
menegaskan, bahwa pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia tidak gagal,
melainkan belum mencapai target yang optimal.
Jadi, menurut
pakar ilmu pemerintahan ini, bukan berarti otonomi daerah yang gagal, akan
tetapi, tidak mencapai target optimal. Untuk itu, diperlukan optimalisasi
disegala aspek untuk menunjang pelaksanaan otonomi. Optimalisasi yang mampu
membawa kesejahteraan dan pencerahan bagi seluruh bangsa.
Optimalisasi
Pelaksanaan Otonomi
Memang, politik
otonomi daerah yang dilandasi perubahan paradigma sentralisasi ke paradigma desentralisasi tidak hanya
memperkuat otoritas pemerintah daerah serta menghasilkan kemajuan demokrasi
ditingkat lokal. Akan tetapi, perubahan ini juga membuat pemberdayaan
berkelanjutan baik pemerintah provinsi maupun pemerintah daerah.
Tidak dapat
dipungkiri, perkembangan masyarakat dalam konteks otonomi, telah menghasilkan
kondisi obyektif bagi tumbuhnya budaya lokal, serta partisipasi rakyat secara
melembaga dan kritis sebagai kontrol politik terhadap penyelenggaraan
pemerintah daerah.
Kemajuan lain
menunjukkan, bahwa pelaksanaan otonomi daerah yang menuntut terwujudnya tata
kelola pemerintahan yan baik (good governance) telah mendorong para
kepala daerah untuk mengembangkan kepemimpinan yang lebih transparan dan
akuntabel, serta mengkondisikan berbagai langkah reformasi birokrasi.
Tentunya hal ini
diperlukan realisasi kebijakan. Realisasi yang memprioritaskan kesejahteraan
rakyat, meningkatkan Index Pembangunan Manusia (IPM), mengasilkan berkembangnya
sektor-sektor pendidikan dan kesehatan, serta untuk mengurangi budaya
kemiskinan.
Sebagaimana
diamanatkan dalam UUD 1945 dan digariskan dalam penjelasan UU No. 32/2004
tentang Pemerintahan Daerah, bahwa secara konstitusional maupun legal,
pelaksanaan otonomi daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya
kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran
serta masyarakat. (Isran Noor, 2012: 6).
Jadi, jelaslah.
Untuk mewujudkan kesemuanya itu, diperlukan strategi khusus, yaitu optimalisasi
pelaksanaan otonomi. Terutama optimalisasi dalam bidang penguatan ekonomi
kerakyatan.
Optimalisasi Ekonomi
Kerakyatan
Kemajuan ekonomi
dan kesejahteraan rakyat merupakan hasil yang harus dicapai oleh rangkaian
proses dan kegiatan ekonomi kerakyatan. Karena studi mengenai ekonomi
kerakyatan telah menegaskan sejumlah gagasan dasar tentang ekonomi kerakyatan
sebagai sistem ekonomi nasional yang disususn sebagai usaha bersama berdasar
atas asas kekeluargaan, produksi dikerjakan oleh semua untuk semua, di bawah
pemilikan anggota-anggota masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan
kemampuan rakyat dalam mengendalikan jalannya perekonomian. (Isran Noor, 2012:
34).
Untuk optimalisasi
ekonomi kerakyatan dalam kerangka otonomi daerah, maka pemerintah daerah harus
secara visioner membangun daerah sebagai basis pengembangan ekonomi rakyat,
dengan perluasan dan peningkatan kapasitas lembaga keuangan mikro serta
koperasi.
Di sini terlihat
jelas, bahwa pemerintah daerah memainkan peran strategis sebagai fasilitator
dan akseletator pertumbuhan serta pemberdayaan ekonomi rakyat.
Seperti
kabupaten/kota di Kalimantan Timur, daerah ini telah menjalankan program
pembangunan yang terkait langsung dengan usaha mikro dan kecil, sebagai
implementasi strategi pengentasan kemiskinan, dengan program penanggulangan
kemiskinan yang dikelompokkan dalam tiga klaster: 1) Program yang terkait
bantuan dan perlindungan sosial, 2) Program pemberdayaan UMK, dan 3) Program
pemberdayaan masyarakat. Disamping itu, dalam rangka percepatan pengentasan
kemiskinan, pemerintah daerah dapat mengoptimalkan realisasi Corporate
Social Responsibility (CSR)/ Community Development (Comdev) dari
swasta.
Strategi lainnya,
dalam rangka optimalisasi ekonomi kerakyatan adalah dilaksanakannya penataan
sistem produksi, reforma agraria, proteksi dan ekstensi akses pasar, juga
peningkatan akses permodalan. Disamping itu, juga strategi pengokohan
kegotongroyongan dalam memecahkan masalah bersama.
Contoh konkrit di
atas, merupaka bentuk dari strategi penguatan ekonomi. Dimana optimalisasi dan
perluasan jaringan pada program-program ekonomi kerakyatan merupakan pilihan
strategis dalam pembangunan ekonomi daerah yang akan memberikan kontribusi pada
pencapaian tujuan-tujuan nasional untuk kesejahteraan rakyat serta kemajuan
ekonomi bangsa.
Tiada gading yang
tak retak. Ekonomi kerakyatan tidak akan berjalan dengan maksimal, tanpa adanya
infrastruktur yang merata dan memadai. Maka dari itu, diperlukan pembangunan
infrastruktur yang merata.
Optimalisasi Pemerataan
Infrastruktur
Memang, Indonesia
terasa semakin kecil. Jutaan orang setiap kali hilir mudik dari satu tempat ke
tempat yang lain, baik melalui moda angkutan darat, udara, maupun laut.
Saking banyaknya
pengguna jasa angkutan ini, baik orang maupun barang, beberapa pengelola jasa
layanan ini kewalahan. Sebut saja Bandara Soekarno Hatta yang sudah over
kapasitas, belum lagi bandara lainnya di Tanah Air yang bermasalah sama.
Termasuk keberadaan pelabuhan laut serta moda angkutan lainnya di darat, seolah
tak mimpi bisa membendung derasnya pengguna jasa transportasi ini.
Untuk beberapa
tempat, khususnya di kota-kota besar, Indonesia terlihat seperti negeri yang
sibuk. Akses transportasi yang menurut sebagian orang mulai dianggap mudah,
namun bagi sebagian besar lainnya dirasakan justru masih sulit.
Kecenderungan
pembangunan yang perkotaan sentris menjadikan daerah perdesaan di berbagai
pelosok di negeri ini terkesan masih dianaktirikan. Mereka inilah yang hingga
kini masih menanti kehadiran akan kemudahan akses transportasi.
Secerah harapan
muncul. Sejumlah tokoh, pejabat, dan pengusaha baik pemerintah maupun swasta
berkumpul menggelar dialog dalam acara yang digagas Forum Pemred di Nusa Dua,
Bali. salah satu yang menarik adalah bagaimana pengembangan pembangunan fisik
mulai diarahkan ke beberapa daerah. Mulai dari peningkatan kredit usaha kecil,
penyediaan fasilitas transportasi khususnya jalan hingga akhirnya menciptakan multiplier
effect yang positif bagi masyarakat.
Salah satunya
adalah tingkat perekonomian di daerah bisa berkembang serta mampu menekan arus
urbanisasi dari desa ke kota lantaran jam kerja sudah tersedia. Aspek kesehatan
serta pendidikan masyarakat serta fasilitas pendukungnyapun diharapkan bisa
terkendali dengan baik. (Republika, 15 Juni 2013).
Meski diakui,
pembangunan sektor fisik masih mengandalkan modal yang besar dan bersifat
berkelanjutan (multiyear). Dari sajian materi yang disampaikan
menunjukkan bahwa penyediaan anggaran bagi pembangunan infrastruktur terus
meningkat dari tahun ke tahun.
Tiada gading yang
tak retak. Pengembangan Infrastruktur saat ini masih terkendala berbagai hal,
mulai terjadinya tumpang tindih lahan dengan kawasan hutan, sebagian besar
daerah/kota belum memiliki Rencana Tata Ruang Wilayah, persoalan perizinan
khususnya izin lokasi konflik lahan dengan masyarakat, serta kekurangan persoalan
energi.
Menyoal
pembangunan Infrastruktur ini, semua stake holder yang terlibat sepakat
melakukan optimalisasi untuk Indonesia yang lebih baik. Apalagi Presiden SBY yang hadir pada pertemuan puncak acara
Forum Pemred tersebut menegaskan tentang harapan dan mimpinya mewujudkan
masyarakat Indonesia yang kuat pada 2045.
Tentu saja,
semangat dan perjuangan mempertahankan
kondisi yang baik menjadi lebih baik menjadi modal utama. Disadari atau tidak,
kata Presiden, untuk mewujudkan impian bangsa adalah pekerjaan tak pernah
putus. Kuncinya adalah continuity and change. Manakala harus terjadi perubahan,
maka kita lakukan dengan niat dan cara yang baik. Momentum sudah kita miliki,
jangan kita sia-siakan, move on dan ciptakan peluang dan seterusnya.
Nah, selain sarana
dan prasarana infrastruktur harus dipenuhi, maka penyediaan prasarana moral
juga sangat mendesak diperlukan. Prasarana ini merupakan alat atau jalan untuk
menjalin hubungan yang mesra antara manusia dengan Tuhannya. Karena sehebat
apapun manusia, tentu akan membutuhkan bantuan dan bimbingan dari Tuhannya
untuk mengatasi segala problem kehidupan, baik problem individu maupun problem
dalam tataran ke-Indonesia-an.
Prasarana ini
adalah bentuk dari tertanamnya “akhlak” dalam sanubari orang-orang Indonesia.
Yang mana di dalamnya tersimpan kokok beberapa kumpulan nilai-nilai bijak,
seperti kejujuran, pengutamaan akal sehat ketimbang kekerasan, menghormati
kebhinekaan, tanggung jawab terhadap kelangsungan sumber daya alam, serta
nilai-nilai bijak lain yang bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa. (Sayuti
Hasibuan, 2004: 47).
Dilandasi semangat
dan kerja keras tadi, tentu kita sepakat, sebentar lagi bangsa kita akan menuju
peradaban yang baik. Tentu saja, yang ingin kita bangun adalah peradaban maju,
unggul, dan baik dalam arti yang luas. Peradaban yang memiliki kekuatan di era
persaingan global yang sudah menanti di depan mata.
Setelah
pembangunan Infrastruktur. Baik infrastruktur fisik maupun moral terlaksana
dengan maksimal, maka langkah selanjutnya adalah optimalisasi tata kelola
keuangan dan kontrol yang baik.
Optimalisasi Kontrol dan Tata
Kelola Keuangan.
Optimalisasi tata
kelola keuangan daerah dalam rangka mencapai keberhasilan pembangunan daerah,
jelas harus memenuhi unsur-unsur reformasi dalam perencanaan dan pelaksanaan
anggaran, pemantauan, pengelolaan pendapatan, serta penataan akuntansi dan
sistem pelaporan. Selain itu juga peningkatan kontrol, audit, dan mekanisme
umpan balik, dengan senantiasa memelihara kondusivitas pembangunan daerah.
(Isran Noor, 2012:57).
Kontrol dalam
pengelolaan dan penatausahaan keuangan, merupakan suatau keniscayaan untuk
mewujudkan transparansi anggaran dan akuntabel. Kontrol ini, menurut Hadari
Nawawi, bisa dilakukan pada saat kegiatan sedang berlangsung atau setelah
kegiatan berakhir. Optimalisasi kontrol ini, harus dilakukan oleh pihak-pihak
yang berwenang dan dilakukan secara berkesinambungan (continuitas).
(Hadari Nawawi, 2001: 29).
Memang, reformasi
tata kelola keuangan daerah yang berorientasi pada perwujudan good governance
secara bertahap sudah mencapai kemajuan signifikan, baik dari segi
kelengkapan regulasi, arahan kebijakan, penataan kinerja perencanaan,
penganggaran serta pengolahan keuangan daerah. Perundang-undangan Keuangan
Negara dan PP, antara lain PP No. 71/2010 tentang Standar Akuntansi
Pemerintahan, Peratuaran dan arahan-arahan Menteri Dalam Negeri juga telah
membantu pemerintah daerah untuk tidak sekedar menjalankan administrasi
keuangan (financial administration), akan tetapi juga tata kelola
keuangan (financial managemant).
Kesemuanya itu,
baik perundang-undangan maupun regulasi dan kebijakan terkait tata kelola
keuangan daerah, diimplementasikan dengan berbekal komitmen Kepala Daerah dan
DPRD untuk membangun tata kelola keuangan yang memenuhi kriteria-kriteria good
governance maupun clean goverment.
Menurut Isran
Noor, untuk mengoptimalkan tata kelola keuangan daerah yang memenuhi
syarat-syarat tersebut di atas, memerlukan sejumlah langkah politik, legal dan
administratif, diantaranya: 1) peningkatan kualitas dan kinerja kelembagaan di
daerah, 2) percepatan penyesuaian sistem, prosedur, kebijakan akuntansi, dan
kompetensi sumber daya manusia, 3) peningkatan kualitas pengangaran,
pelaksanaan realisasi belanja dan pendapatan secara akuntabel, dan 4) semangat
desentralisasi, demokratisasi, transparansi, akuntabilitas harus menjadi acuan
dalam proses penyelenggaraan pemerintahan yang berwibawa.
Dengan demikian,
penataan tata kelola keuangan dan kontrol yang baik telah memperkokoh
sendi-sendi perekonomian daerah. Setelah itu, proses peningkatan pelayanan
publik.
Optimalisasi Pelayanan Publik.
Sangat wajar, bila
pelayanan publik yang baik, ramah, dan maksimal adalah kewajiban pemerintah
daerah terhadap masyarakatnya. Pemerintah daerah bertanggung jawab memberikan
pelayanan yang terbaik kepada masyarakat dalam rangka menciptakan
kesejahteraan, karena masyarakat telah memberikan dananya dalam bentuk
pembayaran pajak, retribusi, dan berbagai pungutan lainnya.
Namun demikian,
meskipun kewajiban pemberian pelayanan publik terletak pada pemerintah, akan
tetapi pelayanan publik juga dapat dikelola oleh pihak swasta dan pihak ketiga,
seperti organisasi nonprofit, relawan (volunteer), dan LSM. Jika memang
pelayanan publik “tertentu” diserahkan kepada swasta atau pihak ketiga, maka
yang terpenting bagi pemerintah adalah memberikan regulasi, jaminan keamanan,
kepastian hukum, dan lingkungan yang kondusif. (Mahmudi, 2005: 36).
Pelayanan publik
yang diberikan oleh pemerintah paling tidak harus memenuhi standar kebutuhan
dasar dan umum. Pelayanan kebutuhan dasar seperti, kesehatan, pendidikan, dan
bahan kebutuhan pokok.
Sedangkan
pelayanan umum seperti, pelayanan administratif (pembuatan KTP, sertifikat
tanah, akta kelahiran, akta kematian, BPKB, STNK, IMB, paspor, dan dokumen lainnya),
pelayanan barang (jaringan telepon, penyediaan tenaga listrik, penyediaan air
bersih, dan lainnya), pelayanan jasa (penyelenggaraan transportasi, jalan dan
trotoar, drainase, sanitasi lingkungan, persampahan, pemeliharaan kesehatan,
jasa pos, pendidikan tinggi dan menengah, dan jasa lainnya). (Mahmudi, 2005:
37).
Nah, untuk
memaksimalkan pelayanan publik yang begitu banyak ragamnya, maka pemerintah
harus bergerak lebih cepat. Bergerak memaksimalkan potensi swasta dan pihak
ketiga, agar sinergisitas dan kolektivitas terlaksana.
Setelah pelayanan
publik terlaksana dengan maksimal. Tak kalah pentingnya. Pemerintah dalam
mensukseskan otonomi, harus memainkan peran penting dalam politik pendidikan.
Karena semua orang
sepakat. Bahwa pendidikan memiliki manfaat yang sangat signifikan dalam
kemajuan dan progresifitas kehidupan manusia, baik dalam ranah bermasyarakat
maupun bernegara.
Optimalisasi Politik
Pendidikan
Pendidikan selain
sebagai “alat” yang digunakan manusia untuk mencapai tujuan individu dan memelihara
kelanjutan hidupnya (survival), ia juga sebagai “instrumen” penting dan
strategis dalam rangka kelangsungan pembangunan daerah. (Aisyiah Rahma, 2012:
12).
Pendidikan dalam
era desentralisasi ini, harus dikelola dengan optimal. Sebagaimana diungkapkan
ketua APKASI Isran Noor, bahwa desentralisasi pendidikan dalam kerangka
realisasi otonomi daerah adalah sektor utama dalam pelayanan publik yang harus
dikembangkan dan ditata dengan baik. (Isran Noor, 2012:30).
Selain dikelola
dengan optimal, pendidikan juga harus mampu menanamkan jiwa patriotisme,
kemandirian, integritas, dan keadaban. Karena sebagai warga negara (citizenship)
yang berkependidikan kita juga didorong agar selalu berperilaku positif dan
berkemajuan, seperti kreatif, inovatif, jujur, disiplin, tanggung jawab,
demokratis, setia kawan, gotong royong, dan lain sebagainya.
Kekosongan dan
rapuhnya kontruksi pendidikan, tentu akan berdampak pada terganggunya kohesivitas
internal suatu bangsa, seperti merajalelanya kekerasan kolektif, konflik horizontal,
fenomena separatisme, dan problem akut lainnya. Namun, yang lebih fatal dari
kesemuanya itu, adalah turunnya kapasitas bangsa Indonesia untuk melakukan
adaptasi eksternal. Atau lebih tepat, pesimisnya bangsa untuk menyesuaikan diri
dengan perkembangan bangsa-bangsa dikancah international.
Menurut Isran
Noor, pendidikan di sini bukan sekedar pendidikan yang hanya mentransfer ilmu
belaka. Melainkan pendidikan yang bermoral mulia dan berkarakter kebangsaan.
Dimana, orientasi, konsepsi, policy, dan regulasi, serta implementasinya
harus bertujuan mencapai “nation and character building”. Satuan-satuan
pendidikan, keluarga dan masyarakat harus didukung oleh realisasi kebijakan
pembangunan daerah secara sinergi untuk mewujudkan karakter bangsa yang tercermin
dalam hubungan inter-personal maupun penguatan intra-personal. (Isran Noor,
2012: 28).
Memang, karakter
bangsa harus dibangun dan dipupuk untuk menjadikan masyarakat Indonesia menjadi
masyarakat yang beradab. Karena derasnya arus globalisasi dan modernisasi
membuat perubahan besar pada perilaku dan karakter generasi bangsa.
Untuk itu,
pendidikan sebagai bagian erat dari dinamika sosial kemasyarakatan harus selalu
tanggap tehadap perubahan dan dinamisasi. Lembaga pendidikan dimanapun dan
dalam bentuk apapun seharusnya tidak menempatkan posisinya sebagai menara air,
yaitu melebur menjadi satu dengan masyarakat tanpa memberikan identitas
apa-apa.
Dan untuk andil
dalam memberikan prespektif yang mencerahkan, diperlukan sistem pendidikan yang
pro rakyat, pro dalam mengangkat harkat dan martabat rakyat, serta mampu
memberi kontribusi ke arah yang lebih baik.
Selanjutnya.
Setelah berbagai bidang pemerintah berjalan sesuai jalur yang benar dan
maksimal. Langkah berikutnya adalah penguatan peran dan partisipasi masyarakat.
Hal ini penting
dilakukan. Karena, selain menyuburkan sikap demokrasi di Negeri ini, rakyat
juga berhak terlibat dalam mengatur kebutuhan dan kesejahteraannya.
Partisipatif untuk
Sinergisitas.
Sejarah telah membuktikan. Seringkali kesenjangan ekonomi dan
praktek budaya kemiskinan akan selalu berkembang bila sistem-sistem ekonomi dan
sosial yang berlapis-lapis telah rusak atau berganti, seperti di masa peralihan
dari feodalisme ke kapitalisme, juga sewaktu pesatnya perubahan teknologi. (Parsudi
Suparlan, 1995: 11).
Akan tatapi, faktor yang paling dominan adalah ketidak adanya
partisipasi masyarakat ke dalam lembaga atau program-program utama di
masyarakat. Hal ini, sebagaimana diungkapkan Parsudi Suparlan: “kurang
efektifnya partisipasi dan integrasi seseorang ke dalam lembaga-lembaga utama
masyarakat, merupakan salah satu faktor dan ciri terpenting dari kebudayaan
kemiskinan. (Parsudi Suparlan, 1995: 12).
Langkah tepat, untuk mengatasi masalah di atas dan untuk
mensukseskan pelaksanaan otonomi daerah, maka partisipasi masyarakat mutlak
diperlukan, karena peranan dan partisipasinya memberikan kontribusi nyata pada
upaya pemanfaatan sebaik-baiknya sumber daya alam dan sumber daya manusia. Partisipasi
masyarakat membuka kemungkinan keputusan yang diambil didasarkan pada
kebutuhan, prioritas, dan kemampuan masyarakat. Karena partisipasi masyarakat akan
menjamin penerimaan dan apresiasi yang lebih besar terhadap segala sesuatu yang
hendak dibangun.
Selain memberikan kontribusi nyata, partisipasi masyarakat juga
bisa membangkitkan semangat kemandirian, semangat kerja sama, dan semangat
untuk meningkatkan swadaya masyarakat, yang pada gilirannya akan ikut serta
memajukan dan mencerahkan perekonomian daerah.
Mengapa partisispasi ini penting!. Karena paling tidak hal ini
mempuyai dua alasan. 1) alasan-alasan yang mengacu pada masyarakat. Masyarakat
berhak untuk ikut terlibat dalam hal-hal yang menyangkut kehidupan mereka,
berhak terlibat dalam keputusan-keputusan dan keberadaan mereka sehari-hari dan
masa depan mereka. 2) alasan yang berkaitan dengan efektivitas dan efesiensi.
Jika masyarakat benar-benar diberi kesempatan dan haknya untuk terlibat secara
aktif dalam pembangunan daerah, maka pembangunan diperkirakan akan berlangsung
lebih efektif dan efisien. (Nana Rukmana, 1993: 45).
Setelah partisispasi masyarakat dilibatkan, tinggal selangkah
lagi, yaitu konkritisasi konsep produktivitas. Konkritisasi sangat mutlak
diperlukan, Karena melalui satu proses politik, rakyat di suatu daerah akan
menyatakan kehendaknya, dan kehendak inilah yang akan dijabarkan secara teknis
oleh lembaga/organisasi di daerah ke dalam bentuk rencana stategis (corporate
plan) yang berisi visi, misi, strategi, tujuan, dan sasaran-sasaran konkrit
daerah pada waktu tertentu. Bilamana konkritisasi visi, misi ini terlaksana
dengan baik maka produktivitas masyarakat akan tinggi, begitu juga sebaliknya.
(Sayuti Hasibuan, 2004: 33).
Selanjutnya, dibentuk program pemberdayaan masyarakat miskin, baik
di pedesaan maupun perkotaan, karena program ini juga merupakan pembangunan
berdasar partisipasi masyarakat (community based development). Sedangkan
konkritisasi dari progam ini bisa berbentuk: 1) diadakan pengembangan SDM yang
meliputi pelatihan keterampilan, 2) penguatan lembaga pengelola program, 3)
pengembangan Usaha Kecil Menengah, dan 4) Perbaikan rumah dan prasarana
lingkungan. Penekanan dari program ini, nantinya diarahkan untuk melakukan
pemberdayaan kepada warga masyarakat, agar dapat meningkatkan kondisi sosial
ekonomi secara mandiri dan berkelanjutan. (Suhartini, 2005: 61).
Selain partisipatif, maka budaya kolektivitas dan sinergisitas
juga mutlak diperlukan. suatu bangsa akan mencapai kesejahteraan dan kemakmuran
apabila mengkonkritkan kolektivitas ini, yaitu kolektivitas dan sinergisitas
antarkomponen-komponen bangsa: 1) Ilmu
para cendekiawan yang memberikan pencerahan, 2) Sikap adil penguasa di dalam
memimpin negara, 3) Kejujuran para pengusaha di dalam berbisnis, 4) Kekhusu’an
(konsentrasi) ahli Ibadah dalam mendoakan negerinya, dan 5) Loyalitas dan
profesionalitas masyarakat.
Pemerintah harus merangkul berbagai stakeholder, baik
dengan pelaku bisnis (pedagang), cendikiawan (akademisi-praktisi), juga dengan militer,
kalau memang menghendaki kesejahteraan dan persatuan untuk keutuhan bangsa.
Akan tetapi, jika pemerintah daerah maupun pusat meninggalkan kolektivitas
sebagaimana tersebut di atas, maka tunggulah saatnya kehancuran, saatnya
kerapuhan pada sendi-sendi sosial dan ekonomi, serta rusaklah tatanan kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Penutup
Optimalisasi
politik otonomi daerah harus dijalankan secara menyeluruh guna terwujudnya
sinergisitas dan pencerahan bagi bangsa Indonesia. Sinergisitas yang dimaksud
adalah, rasa kebersamaan membangun pemerintahan daerah untuk mewujudkan persatuan
dan kesatuan demi keutuhan NKRI. Sedangkan pencerahan bangsa adalah, pencerahan
yang mampu membawa kesejahteraan dan kemakmuran bagi semua lapisan masyarakat.
Baik masyarakat perdesaan maupun perkotaan.
Kesejahteraan
adalah pancaran dari sistem pemerintahan yang mampu mengoptimalkan potensi yang
ada di daerah. Mampu menangkap peluang sumber daya manusia unggul, sumber daya
alam, dan peluang ekonomi kerakyatan.
Optimalisasi
potensi yang tepat dan benar tentunya akan membawa efek positif bagi kemajuan
dan kesejahteraan masyarakat Indonesia, yang selalu menginginkan progresifitas.
progresifitas yang mencerahkan. Inilah tujuan utama dari spirit optimisme dalam
optimalisasi otonomi daerah untuk sinergisitas dan pencerahan bangsa.
Akhirnya, hasil dari studi ini
diharapkan dapat berguna
untuk menambah khazanah pengetahuan tentang pemikiran politik otonomi
daerah dalam kerangka penguatan NKRI. Secara praktis,
diharapkan dapat menjadi masukan dan dorongan bagi segenap anggota APKASI untuk bekerja lebih optimal,
inovatif, kreatif, dan akuntabel dalam membangun daerah, membangun Indonesia, untuk persatuan dan
pencerahan bagi seluruh
bangsa.
Daftar
Pustaka
Gadjong, Agussalim Andi, Pemerintahan Daerah:
Kajian Politik dan Hukum, Bogor: Ghalia Indonesia, 2007.
Hasibuan, Sayuti, Meraih Keunggulan
Indonesia: Strategi Alternatif Pembangunan Bangsa, Jakarta: FE.UAI, 2004.
Mahmudi,
Manajemen Kinerja Sektor Publik, Yogyakarta: UPP-Akademi Manajemen
Perusahaan-YKPN, 2005.
Madjid, Nurcholis, Pembangunan Nasional:
Dilema antara Pertumbuhan dan Keadilan Sosial, Dalam Buku Demokratisasi
Politik, Budaya, dan Ekonomi: Pengalaman Indonesia Masa Orde Baru, Jakarta:
Yayasan Wakaf Paramadina, 1994.
Manan, Bagir, Menyonsong Fajar Otonomi Daerah,
Yogyakarta: Penerbitan FH-UII, 2001.
Nawawi, Hadari, dan Martini Hadari, Ilmu Administrasi, 2001.
Nawawi, Hadari, dan Martini Hadari, Ilmu Administrasi, 2001.
Noor,
Isran, Isran Noor dalam Perspektif Media, Jakarta: Profajar Jurnalism,
Cet.II, 2012.
Noor,
Isran, Politik Otonomi Daerah untuk Penguatan NKRI, Jakarta: Profajar
Jurnalism, Cet.II, 2012.
Rahma, Siti Aisyah, dalam
http.www://sitiaisyahrahma.blogspot.com/2012/12/pendidikan-yang-mencerahkan.htm./2012/12/pendidikan-yang-mencerahkan.html.
12/06/2013.13:22.
Republika, Membangun Bangsa yang Kuat dan
Mandiri, 15 Juni 2013.
Rukmana, Nana (editor), The Integrated
Urban Infrastructure Development Program, Terjamah Bahasa Indonesia, Manajemen
Pembangunan Prasarana Perkotaan, Jakarta: Pustaka LP3ES, 1993.
Suhartini, Model-model Pemberdayaan
Masyarakat, Yogyakarta: LkiS Pelangi Angkasa, 2005.
Suparlan, Parsudi, Kemiskinan di Perkotaan,
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar