Selasa, 24 Juni 2014

OPTIMALISASI POLITIK OTONOMI DAERAH



Nama                                     : Dr. Muthoifin, M.Ag.
Alamat                                   : Kedungmutih, Rt.03, Rw.02, Wedung, Demak, Jawa Tengah.
Tempat/Tanggal lahir          : Demak, 06 September 1980
Pekerjaan                             : Dosen
Nama Perguruan Tinggi    : AKPARTA Mandala Bhakti Surakarta
Alamat Perguruan Tinggi  : Jl. Letjen Soeprapto No.16, Sumber, Surakarta.
Nomor HP                             : 085850908667/ 081226371967.

OPTIMALISASI POLITIK OTONOMI DAERAH
UNTUK SINERGISITAS DAN PENCERAHAN BANGSA

Harus diakui, pelaksanaan otonomi daerah meskipun sudah berjalan belasan tahun, hingga kini masih saja dihadapkan pada berbagai masalah strategis. Dari masalah daerah pemekaran yang berkinerja buruk hingga persoalan pengelolaan sumber daya alam. Belum lagi ditambah masalah kesenjangan ekonomi, problem kemiskinan, pembangunan infrastruktur yang belum merata, buramnya potret dunia pendidikan, Kriminalisasi Kebijakan, sampai pada masalah korupsi Kepala daerah.
Berbagai persoalan di atas, terutama masalah daerah pemekaran yang berkinerja buruk, sempat mengundang reaksi dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Presiden SBY telah mengkritik daerah-daerah pemekaran yang kinerjanya buruk. Bahkan ketua APKASI Isran Noor, sempat mengeluarkan kebijakan tegas, agar pemerintah mencabut status kabupaten yang dinilai tak mampu menyelenggarakan otonomi daerah. (Isran Noor, 2012: 9-10).
Lebih dari itu, Isran Noor juga memandang perlu adanya evaluasi regular atas kemampuan pemerintah daerah dalam menyelenggarakan otonomi daerah.
Sementara Ketua Komisi II DPR, Agun Gunandjar Sudarsa menyatakan: Meskipun otonomi daerah telah berjalan belasan tahun memperoleh apresiasi, namun masih banyak kekurangannya, seperti, banyaknya kewenangan yang tumpang tindih, kurangnya sumber daya manusia unggul di kabupaten, disharmoni dan lemahnya koordinasi antara pusat dan daerah, tidak jelasnya tata batas wilayah kabupaten, dan masih banyaknya kawasan yang berpotensi konflik. (Isran Noor, 2012: 43).
Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, dalam acara Otonomi Expo dan Forum 2012 mengatakan: Bahwa kewenangan besar sudah diberikan ke daerah. Anggaran demikian besar digelontorkan ke daerah. Karena itu, kemakmuran diharapkan tumbuh dan bangkit di daerah. Karena dari pelaksanaan otonomi ini diharapkan demokratisasi berlangsung dengan subur dan mekar di daerah, dan kesejahteraan masyarakat betul-betul terwujud. Karena pada hakekatnya dua itulah prinsip kita menyelenggarakan otonomi.
Lebih lanjut Mendagri mengatakan, bahwa pemerintah pusat dan DPR tidak bermaksud sama sekali untuk menarik urusan dari daerah. Yang ingin kita wujudkan adalah bagaimana urusan yang sudah diserahkan ke daerah benar-benar dijalankan dengan efektif. Baik dalam penyuburan demokrasi maupun dalam menggairahkan ekonomi daerah. (Isran Noor, 2012: 44).
Nurcholis Madjid, dalam bukunya yang berjudul Pembangunan Nasional, Dilema antara Pertumbuhan dan Keadilan Sosial menyatakan: Usaha untuk mengairahkan ekonomi di daerah-daerah guna terciptanya kesejahteraan dan kemakmuran bangsa dirasakan amat mendesak, jika kita tidak mau ketinggalan oleh negara-negara tetangga dengan segala akibatnya. Namun cita-cita mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat, telah menjadi kesadaran prinsipil nasional dan melekat pada cita-cita kenegaraan kita. Hal inilah yang membawa kita pada situasi dilematis, antara imperative pertumbuhan ekonomi dan kewajiban moral menciptakan keadilan sosial. (Nurcholis Madjid, 1994: 23).
Lantas, untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat, pemerintah akhirnya menggagas konsepsi politik otonomi daerah. Otonomi merupakan sendi penting dalam kelangsungan pemerintahan di Indonesia. Otonomi bukan sekedar menjamin efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan, akan tetapi merupakan dasar pelaksanaan demokrasi dan instrumen dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat. Bahkan tidak kalah pentingnya, otonomi daerah merupakan salah satu sendi ketatanegaraan Republik Indonesia. (Bagir Manan, 1993: 46, dan A. Salim Gadjong, 2007: 27).
Meskipun otonomi yang diselenggarakan didasarkan pada efisiensi, efektivisasi, demokratisasi, dan mewujudkan kesejahteaan masyarakat di daerah. Namun kenyataanya, masih banyak permasalahan daerah yang tidak kunjung padam.
Hal ini sebagaimana disampaikan pakar ilmu pemerintahan, Ryaas Rasyid: Bahwa setelah otonomi dilaksanakan, seharusnya ada kemajuan berarti di daerah, seperti kesejahteraan rakyat meningkat, kinerja kepala daerah bagus, dan terjadi kompetisi yang sehat antardaerah. Dengan otonomi seharusnya kepala daerah takut membuat kesalahan, malu jika daerah yang dipimpinnya tertinggal, dan berusaha mencapai janji-janji mereka untuk pembangunan dan kesejahteraan rakyat. Namun kenyataannya tidak demikian, masih banyak permasalahan-permasalahan yang terjadi di daerah. (Isran Noor, 2012: 10).
Ryaas Rasyid juga menegaskan, bahwa pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia tidak gagal, melainkan belum mencapai target yang optimal.
Jadi, menurut pakar ilmu pemerintahan ini, bukan berarti otonomi daerah yang gagal, akan tetapi, tidak mencapai target optimal. Untuk itu, diperlukan optimalisasi disegala aspek untuk menunjang pelaksanaan otonomi. Optimalisasi yang mampu membawa kesejahteraan dan pencerahan bagi seluruh bangsa.
Optimalisasi Pelaksanaan Otonomi
Memang, politik otonomi daerah yang dilandasi perubahan paradigma sentralisasi  ke paradigma desentralisasi tidak hanya memperkuat otoritas pemerintah daerah serta menghasilkan kemajuan demokrasi ditingkat lokal. Akan tetapi, perubahan ini juga membuat pemberdayaan berkelanjutan baik pemerintah provinsi maupun pemerintah daerah.
Tidak dapat dipungkiri, perkembangan masyarakat dalam konteks otonomi, telah menghasilkan kondisi obyektif bagi tumbuhnya budaya lokal, serta partisipasi rakyat secara melembaga dan kritis sebagai kontrol politik terhadap penyelenggaraan pemerintah daerah.
Kemajuan lain menunjukkan, bahwa pelaksanaan otonomi daerah yang menuntut terwujudnya tata kelola pemerintahan yan baik (good governance) telah mendorong para kepala daerah untuk mengembangkan kepemimpinan yang lebih transparan dan akuntabel, serta mengkondisikan berbagai langkah reformasi birokrasi.
Tentunya hal ini diperlukan realisasi kebijakan. Realisasi yang memprioritaskan kesejahteraan rakyat, meningkatkan Index Pembangunan Manusia (IPM), mengasilkan berkembangnya sektor-sektor pendidikan dan kesehatan, serta untuk mengurangi budaya kemiskinan.
Sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 dan digariskan dalam penjelasan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa secara konstitusional maupun legal, pelaksanaan otonomi daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat. (Isran Noor, 2012: 6).
Jadi, jelaslah. Untuk mewujudkan kesemuanya itu, diperlukan strategi khusus, yaitu optimalisasi pelaksanaan otonomi. Terutama optimalisasi dalam bidang penguatan ekonomi kerakyatan.
Optimalisasi Ekonomi Kerakyatan
Kemajuan ekonomi dan kesejahteraan rakyat merupakan hasil yang harus dicapai oleh rangkaian proses dan kegiatan ekonomi kerakyatan. Karena studi mengenai ekonomi kerakyatan telah menegaskan sejumlah gagasan dasar tentang ekonomi kerakyatan sebagai sistem ekonomi nasional yang disususn sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan, produksi dikerjakan oleh semua untuk semua, di bawah pemilikan anggota-anggota masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan rakyat dalam mengendalikan jalannya perekonomian. (Isran Noor, 2012: 34).
Untuk optimalisasi ekonomi kerakyatan dalam kerangka otonomi daerah, maka pemerintah daerah harus secara visioner membangun daerah sebagai basis pengembangan ekonomi rakyat, dengan perluasan dan peningkatan kapasitas lembaga keuangan mikro serta koperasi.
Di sini terlihat jelas, bahwa pemerintah daerah memainkan peran strategis sebagai fasilitator dan akseletator pertumbuhan serta pemberdayaan ekonomi rakyat.
Seperti kabupaten/kota di Kalimantan Timur, daerah ini telah menjalankan program pembangunan yang terkait langsung dengan usaha mikro dan kecil, sebagai implementasi strategi pengentasan kemiskinan, dengan program penanggulangan kemiskinan yang dikelompokkan dalam tiga klaster: 1) Program yang terkait bantuan dan perlindungan sosial, 2) Program pemberdayaan UMK, dan 3) Program pemberdayaan masyarakat. Disamping itu, dalam rangka percepatan pengentasan kemiskinan, pemerintah daerah dapat mengoptimalkan realisasi Corporate Social Responsibility (CSR)/ Community Development (Comdev) dari swasta.
Strategi lainnya, dalam rangka optimalisasi ekonomi kerakyatan adalah dilaksanakannya penataan sistem produksi, reforma agraria, proteksi dan ekstensi akses pasar, juga peningkatan akses permodalan. Disamping itu, juga strategi pengokohan kegotongroyongan dalam memecahkan masalah bersama.
Contoh konkrit di atas, merupaka bentuk dari strategi penguatan ekonomi. Dimana optimalisasi dan perluasan jaringan pada program-program ekonomi kerakyatan merupakan pilihan strategis dalam pembangunan ekonomi daerah yang akan memberikan kontribusi pada pencapaian tujuan-tujuan nasional untuk kesejahteraan rakyat serta kemajuan ekonomi bangsa.
Tiada gading yang tak retak. Ekonomi kerakyatan tidak akan berjalan dengan maksimal, tanpa adanya infrastruktur yang merata dan memadai. Maka dari itu, diperlukan pembangunan infrastruktur yang merata.     
Optimalisasi Pemerataan Infrastruktur
Memang, Indonesia terasa semakin kecil. Jutaan orang setiap kali hilir mudik dari satu tempat ke tempat yang lain, baik melalui moda angkutan darat, udara, maupun laut.
Saking banyaknya pengguna jasa angkutan ini, baik orang maupun barang, beberapa pengelola jasa layanan ini kewalahan. Sebut saja Bandara Soekarno Hatta yang sudah over kapasitas, belum lagi bandara lainnya di Tanah Air yang bermasalah sama. Termasuk keberadaan pelabuhan laut serta moda angkutan lainnya di darat, seolah tak mimpi bisa membendung derasnya pengguna jasa transportasi ini.
Untuk beberapa tempat, khususnya di kota-kota besar, Indonesia terlihat seperti negeri yang sibuk. Akses transportasi yang menurut sebagian orang mulai dianggap mudah, namun bagi sebagian besar lainnya dirasakan justru masih sulit.
Kecenderungan pembangunan yang perkotaan sentris menjadikan daerah perdesaan di berbagai pelosok di negeri ini terkesan masih dianaktirikan. Mereka inilah yang hingga kini masih menanti kehadiran akan kemudahan akses transportasi.
Secerah harapan muncul. Sejumlah tokoh, pejabat, dan pengusaha baik pemerintah maupun swasta berkumpul menggelar dialog dalam acara yang digagas Forum Pemred di Nusa Dua, Bali. salah satu yang menarik adalah bagaimana pengembangan pembangunan fisik mulai diarahkan ke beberapa daerah. Mulai dari peningkatan kredit usaha kecil, penyediaan fasilitas transportasi khususnya jalan hingga akhirnya menciptakan multiplier effect yang positif bagi masyarakat.
Salah satunya adalah tingkat perekonomian di daerah bisa berkembang serta mampu menekan arus urbanisasi dari desa ke kota lantaran jam kerja sudah tersedia. Aspek kesehatan serta pendidikan masyarakat serta fasilitas pendukungnyapun diharapkan bisa terkendali dengan baik. (Republika, 15 Juni 2013).
Meski diakui, pembangunan sektor fisik masih mengandalkan modal yang besar dan bersifat berkelanjutan (multiyear). Dari sajian materi yang disampaikan menunjukkan bahwa penyediaan anggaran bagi pembangunan infrastruktur terus meningkat dari tahun ke tahun.
Tiada gading yang tak retak. Pengembangan Infrastruktur saat ini masih terkendala berbagai hal, mulai terjadinya tumpang tindih lahan dengan kawasan hutan, sebagian besar daerah/kota belum memiliki Rencana Tata Ruang Wilayah, persoalan perizinan khususnya izin lokasi konflik lahan dengan masyarakat, serta kekurangan persoalan energi.
Menyoal pembangunan Infrastruktur ini, semua stake holder yang terlibat sepakat melakukan optimalisasi untuk Indonesia yang lebih baik. Apalagi Presiden  SBY yang hadir pada pertemuan puncak acara Forum Pemred tersebut menegaskan tentang harapan dan mimpinya mewujudkan masyarakat Indonesia yang kuat pada 2045.
Tentu saja, semangat  dan perjuangan mempertahankan kondisi yang baik menjadi lebih baik menjadi modal utama. Disadari atau tidak, kata Presiden, untuk mewujudkan impian bangsa adalah pekerjaan tak pernah putus. Kuncinya adalah continuity and change. Manakala harus terjadi perubahan, maka kita lakukan dengan niat dan cara yang baik. Momentum sudah kita miliki, jangan kita sia-siakan, move on dan ciptakan peluang dan seterusnya.
Nah, selain sarana dan prasarana infrastruktur harus dipenuhi, maka penyediaan prasarana moral juga sangat mendesak diperlukan. Prasarana ini merupakan alat atau jalan untuk menjalin hubungan yang mesra antara manusia dengan Tuhannya. Karena sehebat apapun manusia, tentu akan membutuhkan bantuan dan bimbingan dari Tuhannya untuk mengatasi segala problem kehidupan, baik problem individu maupun problem dalam tataran ke-Indonesia-an.
Prasarana ini adalah bentuk dari tertanamnya “akhlak” dalam sanubari orang-orang Indonesia. Yang mana di dalamnya tersimpan kokok beberapa kumpulan nilai-nilai bijak, seperti kejujuran, pengutamaan akal sehat ketimbang kekerasan, menghormati kebhinekaan, tanggung jawab terhadap kelangsungan sumber daya alam, serta nilai-nilai bijak lain yang bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa. (Sayuti Hasibuan, 2004: 47).
Dilandasi semangat dan kerja keras tadi, tentu kita sepakat, sebentar lagi bangsa kita akan menuju peradaban yang baik. Tentu saja, yang ingin kita bangun adalah peradaban maju, unggul, dan baik dalam arti yang luas. Peradaban yang memiliki kekuatan di era persaingan global yang sudah menanti di depan mata.
Setelah pembangunan Infrastruktur. Baik infrastruktur fisik maupun moral terlaksana dengan maksimal, maka langkah selanjutnya adalah optimalisasi tata kelola keuangan dan kontrol yang baik.
Optimalisasi Kontrol dan Tata Kelola Keuangan.
Optimalisasi tata kelola keuangan daerah dalam rangka mencapai keberhasilan pembangunan daerah, jelas harus memenuhi unsur-unsur reformasi dalam perencanaan dan pelaksanaan anggaran, pemantauan, pengelolaan pendapatan, serta penataan akuntansi dan sistem pelaporan. Selain itu juga peningkatan kontrol, audit, dan mekanisme umpan balik, dengan senantiasa memelihara kondusivitas pembangunan daerah. (Isran Noor, 2012:57).
Kontrol dalam pengelolaan dan penatausahaan keuangan, merupakan suatau keniscayaan untuk mewujudkan transparansi anggaran dan akuntabel. Kontrol ini, menurut Hadari Nawawi, bisa dilakukan pada saat kegiatan sedang berlangsung atau setelah kegiatan berakhir. Optimalisasi kontrol ini, harus dilakukan oleh pihak-pihak yang berwenang dan dilakukan secara berkesinambungan (continuitas). (Hadari Nawawi, 2001: 29).
Memang, reformasi tata kelola keuangan daerah yang berorientasi pada perwujudan good governance secara bertahap sudah mencapai kemajuan signifikan, baik dari segi kelengkapan regulasi, arahan kebijakan, penataan kinerja perencanaan, penganggaran serta pengolahan keuangan daerah. Perundang-undangan Keuangan Negara dan PP, antara lain PP No. 71/2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan, Peratuaran dan arahan-arahan Menteri Dalam Negeri juga telah membantu pemerintah daerah untuk tidak sekedar menjalankan administrasi keuangan (financial administration), akan tetapi juga tata kelola keuangan (financial managemant).
Kesemuanya itu, baik perundang-undangan maupun regulasi dan kebijakan terkait tata kelola keuangan daerah, diimplementasikan dengan berbekal komitmen Kepala Daerah dan DPRD untuk membangun tata kelola keuangan yang memenuhi kriteria-kriteria good governance maupun clean goverment.
Menurut Isran Noor, untuk mengoptimalkan tata kelola keuangan daerah yang memenuhi syarat-syarat tersebut di atas, memerlukan sejumlah langkah politik, legal dan administratif, diantaranya: 1) peningkatan kualitas dan kinerja kelembagaan di daerah, 2) percepatan penyesuaian sistem, prosedur, kebijakan akuntansi, dan kompetensi sumber daya manusia, 3) peningkatan kualitas pengangaran, pelaksanaan realisasi belanja dan pendapatan secara akuntabel, dan 4) semangat desentralisasi, demokratisasi, transparansi, akuntabilitas harus menjadi acuan dalam proses penyelenggaraan pemerintahan yang berwibawa.
Dengan demikian, penataan tata kelola keuangan dan kontrol yang baik telah memperkokoh sendi-sendi perekonomian daerah. Setelah itu, proses peningkatan pelayanan publik.
Optimalisasi Pelayanan Publik.
Sangat wajar, bila pelayanan publik yang baik, ramah, dan maksimal adalah kewajiban pemerintah daerah terhadap masyarakatnya. Pemerintah daerah bertanggung jawab memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat dalam rangka menciptakan kesejahteraan, karena masyarakat telah memberikan dananya dalam bentuk pembayaran pajak, retribusi, dan berbagai pungutan lainnya.
Namun demikian, meskipun kewajiban pemberian pelayanan publik terletak pada pemerintah, akan tetapi pelayanan publik juga dapat dikelola oleh pihak swasta dan pihak ketiga, seperti organisasi nonprofit, relawan (volunteer), dan LSM. Jika memang pelayanan publik “tertentu” diserahkan kepada swasta atau pihak ketiga, maka yang terpenting bagi pemerintah adalah memberikan regulasi, jaminan keamanan, kepastian hukum, dan lingkungan yang kondusif. (Mahmudi, 2005: 36).
Pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah paling tidak harus memenuhi standar kebutuhan dasar dan umum. Pelayanan kebutuhan dasar seperti, kesehatan, pendidikan, dan bahan kebutuhan pokok.
Sedangkan pelayanan umum seperti, pelayanan administratif (pembuatan KTP, sertifikat tanah, akta kelahiran, akta kematian, BPKB, STNK, IMB, paspor, dan dokumen lainnya), pelayanan barang (jaringan telepon, penyediaan tenaga listrik, penyediaan air bersih, dan lainnya), pelayanan jasa (penyelenggaraan transportasi, jalan dan trotoar, drainase, sanitasi lingkungan, persampahan, pemeliharaan kesehatan, jasa pos, pendidikan tinggi dan menengah, dan jasa lainnya). (Mahmudi, 2005: 37).
Nah, untuk memaksimalkan pelayanan publik yang begitu banyak ragamnya, maka pemerintah harus bergerak lebih cepat. Bergerak memaksimalkan potensi swasta dan pihak ketiga, agar sinergisitas dan kolektivitas terlaksana.
Setelah pelayanan publik terlaksana dengan maksimal. Tak kalah pentingnya. Pemerintah dalam mensukseskan otonomi, harus memainkan peran penting dalam politik pendidikan.
Karena semua orang sepakat. Bahwa pendidikan memiliki manfaat yang sangat signifikan dalam kemajuan dan progresifitas kehidupan manusia, baik dalam ranah bermasyarakat maupun bernegara.
Optimalisasi Politik Pendidikan
Pendidikan selain sebagai “alat” yang digunakan manusia untuk mencapai tujuan individu dan memelihara kelanjutan hidupnya (survival), ia juga sebagai “instrumen” penting dan strategis dalam rangka kelangsungan pembangunan daerah. (Aisyiah Rahma, 2012: 12).
Pendidikan dalam era desentralisasi ini, harus dikelola dengan optimal. Sebagaimana diungkapkan ketua APKASI Isran Noor, bahwa desentralisasi pendidikan dalam kerangka realisasi otonomi daerah adalah sektor utama dalam pelayanan publik yang harus dikembangkan dan ditata dengan baik. (Isran Noor, 2012:30).
Selain dikelola dengan optimal, pendidikan juga harus mampu menanamkan jiwa patriotisme, kemandirian, integritas, dan keadaban. Karena sebagai warga negara (citizenship) yang berkependidikan kita juga didorong agar selalu berperilaku positif dan berkemajuan, seperti kreatif, inovatif, jujur, disiplin, tanggung jawab, demokratis, setia kawan, gotong royong, dan lain sebagainya.
Kekosongan dan rapuhnya kontruksi pendidikan, tentu akan berdampak pada terganggunya kohesivitas internal suatu bangsa, seperti merajalelanya kekerasan kolektif, konflik horizontal, fenomena separatisme, dan problem akut lainnya. Namun, yang lebih fatal dari kesemuanya itu, adalah turunnya kapasitas bangsa Indonesia untuk melakukan adaptasi eksternal. Atau lebih tepat, pesimisnya bangsa untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan bangsa-bangsa dikancah international.
Menurut Isran Noor, pendidikan di sini bukan sekedar pendidikan yang hanya mentransfer ilmu belaka. Melainkan pendidikan yang bermoral mulia dan berkarakter kebangsaan. Dimana, orientasi, konsepsi, policy, dan regulasi, serta implementasinya harus bertujuan mencapai “nation and character building”. Satuan-satuan pendidikan, keluarga dan masyarakat harus didukung oleh realisasi kebijakan pembangunan daerah secara sinergi untuk mewujudkan karakter bangsa yang tercermin dalam hubungan inter-personal maupun penguatan intra-personal. (Isran Noor, 2012: 28).
Memang, karakter bangsa harus dibangun dan dipupuk untuk menjadikan masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang beradab. Karena derasnya arus globalisasi dan modernisasi membuat perubahan besar pada perilaku dan karakter generasi bangsa.
Untuk itu, pendidikan sebagai bagian erat dari dinamika sosial kemasyarakatan harus selalu tanggap tehadap perubahan dan dinamisasi. Lembaga pendidikan dimanapun dan dalam bentuk apapun seharusnya tidak menempatkan posisinya sebagai menara air, yaitu melebur menjadi satu dengan masyarakat tanpa memberikan identitas apa-apa.
Dan untuk andil dalam memberikan prespektif yang mencerahkan, diperlukan sistem pendidikan yang pro rakyat, pro dalam mengangkat harkat dan martabat rakyat, serta mampu memberi kontribusi ke arah yang lebih baik.
Selanjutnya. Setelah berbagai bidang pemerintah berjalan sesuai jalur yang benar dan maksimal. Langkah berikutnya adalah penguatan peran dan partisipasi masyarakat.
Hal ini penting dilakukan. Karena, selain menyuburkan sikap demokrasi di Negeri ini, rakyat juga berhak terlibat dalam mengatur kebutuhan dan kesejahteraannya.
Partisipatif untuk Sinergisitas.



Sejarah telah membuktikan. Seringkali kesenjangan ekonomi dan praktek budaya kemiskinan akan selalu berkembang bila sistem-sistem ekonomi dan sosial yang berlapis-lapis telah rusak atau berganti, seperti di masa peralihan dari feodalisme ke kapitalisme, juga sewaktu pesatnya perubahan teknologi. (Parsudi Suparlan, 1995: 11).
Akan tatapi, faktor yang paling dominan adalah ketidak adanya partisipasi masyarakat ke dalam lembaga atau program-program utama di masyarakat. Hal ini, sebagaimana diungkapkan Parsudi Suparlan: “kurang efektifnya partisipasi dan integrasi seseorang ke dalam lembaga-lembaga utama masyarakat, merupakan salah satu faktor dan ciri terpenting dari kebudayaan kemiskinan. (Parsudi Suparlan, 1995: 12).
Langkah tepat, untuk mengatasi masalah di atas dan untuk mensukseskan pelaksanaan otonomi daerah, maka partisipasi masyarakat mutlak diperlukan, karena peranan dan partisipasinya memberikan kontribusi nyata pada upaya pemanfaatan sebaik-baiknya sumber daya alam dan sumber daya manusia. Partisipasi masyarakat membuka kemungkinan keputusan yang diambil didasarkan pada kebutuhan, prioritas, dan kemampuan masyarakat. Karena partisipasi masyarakat akan menjamin penerimaan dan apresiasi yang lebih besar terhadap segala sesuatu yang hendak dibangun.
Selain memberikan kontribusi nyata, partisipasi masyarakat juga bisa membangkitkan semangat kemandirian, semangat kerja sama, dan semangat untuk meningkatkan swadaya masyarakat, yang pada gilirannya akan ikut serta memajukan dan mencerahkan perekonomian daerah.
Mengapa partisispasi ini penting!. Karena paling tidak hal ini mempuyai dua alasan. 1) alasan-alasan yang mengacu pada masyarakat. Masyarakat berhak untuk ikut terlibat dalam hal-hal yang menyangkut kehidupan mereka, berhak terlibat dalam keputusan-keputusan dan keberadaan mereka sehari-hari dan masa depan mereka. 2) alasan yang berkaitan dengan efektivitas dan efesiensi. Jika masyarakat benar-benar diberi kesempatan dan haknya untuk terlibat secara aktif dalam pembangunan daerah, maka pembangunan diperkirakan akan berlangsung lebih efektif dan efisien. (Nana Rukmana, 1993: 45).
Setelah partisispasi masyarakat dilibatkan, tinggal selangkah lagi, yaitu konkritisasi konsep produktivitas. Konkritisasi sangat mutlak diperlukan, Karena melalui satu proses politik, rakyat di suatu daerah akan menyatakan kehendaknya, dan kehendak inilah yang akan dijabarkan secara teknis oleh lembaga/organisasi di daerah ke dalam bentuk rencana stategis (corporate plan) yang berisi visi, misi, strategi, tujuan, dan sasaran-sasaran konkrit daerah pada waktu tertentu. Bilamana konkritisasi visi, misi ini terlaksana dengan baik maka produktivitas masyarakat akan tinggi, begitu juga sebaliknya. (Sayuti Hasibuan, 2004: 33).
Selanjutnya, dibentuk program pemberdayaan masyarakat miskin, baik di pedesaan maupun perkotaan, karena program ini juga merupakan pembangunan berdasar partisipasi masyarakat (community based development). Sedangkan konkritisasi dari progam ini bisa berbentuk: 1) diadakan pengembangan SDM yang meliputi pelatihan keterampilan, 2) penguatan lembaga pengelola program, 3) pengembangan Usaha Kecil Menengah, dan 4) Perbaikan rumah dan prasarana lingkungan. Penekanan dari program ini, nantinya diarahkan untuk melakukan pemberdayaan kepada warga masyarakat, agar dapat meningkatkan kondisi sosial ekonomi secara mandiri dan berkelanjutan. (Suhartini, 2005: 61).
Selain partisipatif, maka budaya kolektivitas dan sinergisitas juga mutlak diperlukan. suatu bangsa akan mencapai kesejahteraan dan kemakmuran apabila mengkonkritkan kolektivitas ini, yaitu kolektivitas dan sinergisitas antarkomponen-komponen  bangsa: 1) Ilmu para cendekiawan yang memberikan pencerahan, 2) Sikap adil penguasa di dalam memimpin negara, 3) Kejujuran para pengusaha di dalam berbisnis, 4) Kekhusu’an (konsentrasi) ahli Ibadah dalam mendoakan negerinya, dan 5) Loyalitas dan profesionalitas masyarakat.
Pemerintah harus merangkul berbagai stakeholder, baik dengan pelaku bisnis (pedagang), cendikiawan (akademisi-praktisi), juga dengan militer, kalau memang menghendaki kesejahteraan dan persatuan untuk keutuhan bangsa. Akan tetapi, jika pemerintah daerah maupun pusat meninggalkan kolektivitas sebagaimana tersebut di atas, maka tunggulah saatnya kehancuran, saatnya kerapuhan pada sendi-sendi sosial dan ekonomi, serta rusaklah tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Penutup
Optimalisasi politik otonomi daerah harus dijalankan secara menyeluruh guna terwujudnya sinergisitas dan pencerahan bagi bangsa Indonesia. Sinergisitas yang dimaksud adalah, rasa kebersamaan membangun pemerintahan daerah untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan demi keutuhan NKRI. Sedangkan pencerahan bangsa adalah, pencerahan yang mampu membawa kesejahteraan dan kemakmuran bagi semua lapisan masyarakat. Baik masyarakat perdesaan maupun perkotaan.
Kesejahteraan adalah pancaran dari sistem pemerintahan yang mampu mengoptimalkan potensi yang ada di daerah. Mampu menangkap peluang sumber daya manusia unggul, sumber daya alam, dan peluang ekonomi kerakyatan.
Optimalisasi potensi yang tepat dan benar tentunya akan membawa efek positif bagi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia, yang selalu menginginkan progresifitas. progresifitas yang mencerahkan. Inilah tujuan utama dari spirit optimisme dalam optimalisasi otonomi daerah untuk sinergisitas dan pencerahan bangsa.
Akhirnya, hasil dari studi ini diharapkan dapat berguna untuk menambah khazanah pengetahuan tentang pemikiran politik otonomi daerah dalam kerangka penguatan NKRI. Secara praktis, diharapkan dapat menjadi masukan dan dorongan bagi segenap anggota APKASI untuk bekerja lebih optimal, inovatif, kreatif, dan akuntabel dalam membangun daerah, membangun Indonesia, untuk persatuan dan pencerahan bagi seluruh bangsa.

Daftar Pustaka

Gadjong, Agussalim Andi, Pemerintahan Daerah: Kajian Politik dan Hukum, Bogor: Ghalia Indonesia, 2007.
Hasibuan, Sayuti, Meraih Keunggulan Indonesia: Strategi Alternatif Pembangunan Bangsa, Jakarta: FE.UAI, 2004.
Mahmudi, Manajemen Kinerja Sektor Publik, Yogyakarta: UPP-Akademi Manajemen Perusahaan-YKPN, 2005.
Madjid, Nurcholis, Pembangunan Nasional: Dilema antara Pertumbuhan dan Keadilan Sosial, Dalam Buku Demokratisasi Politik, Budaya, dan Ekonomi: Pengalaman Indonesia Masa Orde Baru, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1994.
Manan, Bagir, Menyonsong Fajar Otonomi Daerah, Yogyakarta: Penerbitan FH-UII, 2001.
Nawawi, Hadari, dan Martini Hadari, Ilmu Administrasi, 2001.
Noor, Isran, Isran Noor dalam Perspektif Media, Jakarta: Profajar Jurnalism, Cet.II, 2012.
Noor, Isran, Politik Otonomi Daerah untuk Penguatan NKRI, Jakarta: Profajar Jurnalism, Cet.II, 2012.
Rahma, Siti Aisyah, dalam http.www://sitiaisyahrahma.blogspot.com/2012/12/pendidikan-yang-mencerahkan.htm./2012/12/pendidikan-yang-mencerahkan.html. 12/06/2013.13:22.
Republika, Membangun Bangsa yang Kuat dan Mandiri, 15 Juni 2013.
Rukmana, Nana (editor), The Integrated Urban Infrastructure Development Program, Terjamah Bahasa Indonesia, Manajemen Pembangunan Prasarana Perkotaan, Jakarta: Pustaka LP3ES, 1993.
Suhartini, Model-model Pemberdayaan Masyarakat, Yogyakarta: LkiS Pelangi Angkasa, 2005.
Suparlan, Parsudi, Kemiskinan di Perkotaan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar