Kamis, 19 Juni 2014

Gejolak Hati Menggayuh Mimpi



Gejolak Hati Menggayuh Mimpi
Cerpen: Muthoifin Walidem

Anak petualang itu mempunyai sejuta opsesi. Cita-citanya sangat menggelora dan membumbung tinggi. Meskipun ia sadar, jalan untuk menempuhnya tidaklah mudah, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Penuh dengan rintangan dan keperihan. Sementara ia hanya seorang anak nelayan, yang tiap harinya harus bergulat dengat ombak dan lautan. Ia jalani dengan mencari ikan dihamparan lautan. Berangkat sore hari, pulang pagi hari.
Awang namanya. Setiap kali melaut, ia selalu gundah…!!!, wajahnya murung…!!, selalu merenung, menatap dalam kegelapan malam yang bertaburan bintang, dalam hembusan angin malam yang menerjang kencang, meraba nasib dan masa depannya kelak, apakah ia akan tetap menjadi seorang pelaut seperti ayah dan leluhurnya? hingga usia senja menyapa? ataukah harus “jenggirat” mencari penghidupan yang lebih layak?.
Perasan gundah, gelisah, sedih, bahkan minder selalu membayanginya, dalam benaknya yang paling dalam, ia seakan-akan pasrah suratan takdir dari-Nya. Bertahun-tahun ia merenung, merenung, dan selalu merenung mencari secercah harapan.
Hingga suatu hari, ia memberanikan diri menyapa orang tuanya “Pak, izinkan untuk tidak melaut” pintanya, Nak, kamu tidak melaut, lantas mau kerja apa, mau makan apa?” jawab ayah. Awang terdiam, dan dengan berat ia menjawab “Awang pingen sekolah ayah, Awang pingen kuliah, biar nantinya Awang menjadi orang yang sukses, bisa bantu meringankan beban ayah dan keluarga” alasan Awang. “uang dari mana kamu kuliah Awang?” jawab ayah sampil melempar kembali pertanyaan, “Insyaallah Awang bisa cari uang sendiri ayah” Awang meyakinkan ayahnya.
Ayah Awang tergugah dengan tekat dan kemauan Awang yang begitu menggelora. Suatu hari, Awang diberi kesempatan ayahnya untuk mendaftarkan diri di salah satu Perguruan Tinggi swasta. Ia diterima dan jadi mahasiswa sebagaimana temen lainnya. Setelah beberapa bulan berjalan, eh apa mau dikata?, perkuliahan yang baru saja berjalan tiga bulan, ia harus “merelakan” keluar, karena biaya untuk segala kebutuhan kuliah tidak mencukupi. Genap sudah, tiga bulan ia harus merelakan keluar dari perkuliahan yang sejak lama ini ia idam-idamkan.
Namun semangat Awang untuk belajar tetap seperti semula, tidak pernah surut meskipun berbagai kendala dan persoalan yang membelitnya. Hingga suatu hari, penuh dengan terik mentari, Awang mulai melangkah, mencari lembaga yang mau memberi beasiswa. Awang mulai melangkah, berlari, mencari informasi tiap hari, dari satu kota ke kota lainnya, hingga akhirnya, seorang teman mengabari “ya, saya pernah mendengar kalau di Kecamatan Sayung, ada lembaga yang menyalurkan generasi muda untuk dikuliahkan dengan cuma-cuma” kata teman Awang.
Tanpa berfikir panjang, Awang langsung bangkit dan beranjak menuju lembaga itu. Ia diterima. Dan ternyata, awang termasuk pemuda yang cerdas serta berkemauan kuat. Pihak lembagapun langsung menawarkan Awang untuk masuk di salah satu perguruan tinggi di kota bengawan.
Awang bingung, karena ia belum pernah sama sekali menginjakkan kakinya di kota bengawan, apalagi ia hanya bermodalkan pas-pasan. Tekat “Bismillah... nanti ada jalan” satu-satunya modal awal bagi Awang. Ia memberanikan diri daftar di Universitas swasta yang di tuju. Alhamdulillah, ia diterima program D2 dengan beasiswa penuh.
Sungguh senang hati Awang, bisa kuliah lagi. Selama dua tahun ia jalani dengan penuh suka-duka. Meskipun beasiswa, ia tetap harus mencari uang untuk biaya makan sehari-hari dan biaya lainnya, karena beasiswanya hanya berupa bebas SPP dan adminstrasinya. Hampir tiap hari Awang hidup dalam kesederhanaan, karena uang saku yang diberikan oleh orang tua Awang, sangat terbatas, Awang memakluminya, karena ayahnya hanya seorang nelayan yang penghasilannya tidak menentu. Apalagi pas musim penghujan, sudah dipastikan aktifitas melaut pasti terhenti karena ombak dan kencangnya angin.
Setelah dua tahun berjalan, Awang lulus D2, akan tetapi dalam hatinya, Awang harus bisa sekolah lagi, agar tercapai apa yang ia inginkan. Awang lantas mendaftarkan diri ke jenjang D3 dengan program yang sama, ia diterima dan lulus D3.
Niat kuat Awang tidak hanya sebatas D3, karena menurutnya D3 zaman sekarang seperti lulusan SMA. Lantas ia mencoba mendaftar S1. Berbagai cara ia lakukan, “pokoke bisa kuliah” tekat Awang. Akhirnya, ia benar-benar mencoba masuk S1. Hari demi hari ia lalui, suka duka ia jalani. Di pertengan jalan, Awang terkendala biaya, karena pekerjaan dan kiriman dari orang tua tidak mencukupi untuk biaya kuliah. Awang sempat beberapa kali menunggak uang SPP. Bahkan ia harus rela melapor ke bagian keuangan, mintak “dispensasi” penguluran pembayaran, karena ketiadaan uang untuk bayar SPP. “Awang berjanji melunasi semua biaya SPP kalau dikemudian hari ia mendapatkan rezeki” janji Awang pada pihak fakultas.
Suatu hari ia membaca informasi di mading, kalau PT. Djarum akan memberi beasiswa bagi mahasiswa yang prestasti dan mempunyai nilai akademik tinggi. Awang langsung bangkit, mencoba mendaftarkan diri. Setelah melewati beberapa seleksi, akhirnya dengan kehendak-Nya, Awang lolos dan berhak mendapatkan beasiswa itu. Uang dari beasiswa Djarum itu, ia gunakan untuk melunasi semua tunggakan SPP yang menumpuk beberapa bulan.
Tiba saatnya prosesi akhir dari perkuliahan. Yaitu masa yang ditunggu-tunggu alias pendaftaran wisuda. Sungguh tidak disangka, ternyata Awang masih punya tagihan lain yang harus dibayar sebelum mengikuti proses wisuda, sementara uang beasiswa sudah habis buat bayar tunggakan-tunggakan SPP tahun yang lalu. Awang terpaksa mencari dana pinjaman untuk membayar biaya lain yang belum lunas. Setelah mendapatkan uang pinjaman, Awang langsung melunasi dan mendaftarkan diri jadi wisudawan.
Akhirnya Awang resmi mendapatkan surat bebas dari semua biaya administrasi perkuliahan. Awang tak sabar!!!, langsung menuju loket pengambilan undangan wisuda. Setelah Awang menayakan ke panitia wisuda, ternyata nama Awang tidak ada dalam tumpukan undangan wisuda. Betapa kagetnya Awang, kalau benar-benar undangan wisuda itu tidak ada nama Awang, dengan perasaan cemas, sambil berharap-harap, akhirnya ditemukan nama Awang. Ternyata undangan wisuda atas nama Awang masuk dalam kategori VVIP, alias undangan special bagi mahasiswa yang menjadi wisudawan terbaik.
Betapa senangnya Awang, masuk dalam kategori wisudawan terbaik, karena bagi wisudawan terbaik, kedua orang tuanya akan ditempatkan di kursi yang paling depan atau VVIP. Ternyata benar, pada prosesi wisuda nama Awang menjadi wisudawan terbaik di fakultasnya. Ia berhak mendapatkan piagam penghargaan dari Rektor.
Setelah lulus, Awang langsung mencari pekerjaan untuk meringankan beban keluarga. Dengan modal semangat dan pengalamannya waktu menempuh studi, akhirnya ia diterima di lembaga sosial kemasyarakatan (LSM). Ia ditugaskan disebuah desa terpencil, ujung Jawa paling timur yang berbatasan dengan pulau Dewata (Bali), tepatnya di daerah Banyuwangi.
Setelah beberapa bulan bekerja, ia ingat akan “gejolak hatinya” menjadi orang yang sukses dunia-akhirat.
Ia sadar bahwa untuk menjadi sukses, bermodalkan sarjana tidaklah cukup, ia harus berjuang lagi untuk meraihnya. Genap setahun mengabdi pada masyarakat. Ia sempatkan melanjutkan kuliah S2. Meskipun ia sadar, bahwa untuk menempuhnya dibutuhkan biaya yang sangat besar, sedangkan honor dari LSM tempat ia mengabdi sangatlah pas-pasan.
Tapi apa mau dikata, kalau tekat sudah membara, apapun bisa ditempuh. Ia lantas mendaftar program Pascasarjana di salah satu Universitas di Surabaya. Awang diterima (regular) dan harus membayar penuh seperti mahasiswa pasca lainnya.
Setelah beberapa bulan, Awang mulai merasakan beban berat yang harus ditanggungnya. Tidak anggung-tanggung ia harus menyiapkan dana puluhan juta. Sementara ia hanya bermodalkan tekat dan nekat. Tekat yang sudah bulat, pantang bagi Awang untuk mundur, dengan kegigihan dan pengalaman Awang ketika masih kuliah S1, ia terapkan di perkulian S2. Awang mulai memutar otak agar mendapatkan kemudahan.
Suatu hari, Awang mencoba melangkan ke Pemda, di mana ia bertugas. Ia yakin bahwa Pemda, biasanya ada program beasiswa, untuk membantu putra daerah yang sedang menempuh studi. Awang menanyakan hal itu. Ternyata benar, di Pemda tersedia beasiswa bagi mahasiswa prestasi dan beasiswa mahasiswa miskin. Awang minta syarat tentang pengajuan beasiswa prestasi. Setelah dirasa cukup, Awang lantas mengecek berkas-berkas yang ia punya. Ternyata syarat untuk itu, ia ada semua, termasuk syarat IPK minimal 3.50.
Dengan penuh harapan disertai do’a. Enam bulan berlalu, Awang mendapatkan telepon “saudara Awang mendapat penghargaan beasiswa dari Pemda” kabar dari telepon alah satu staf Pemda. Betapa bahagianya Awang, karena perjuangannya untuk menyelesaikan studi kian ada tanda-tanda terang. Meskipun beasiswa ini tidak bisa menutupi semuanya, akan tetapi bantuan ini sangat berarti bagi Awang untuk mewujudkan gejolak hatinya. Dua tahun lamanya ia selesaikan studinya. Dengan rasa bahagia ia menerima gelar Master tatkala prosesi wisuda.
Hari demi hari berganti, mentari berganti senja, senja berganti malam, malam berganti subuh, subuh berganti mentari lagi, Awang lalui dengan penuh gejolak hati dan optimistis. Awang selalu yakin, bahwa “Setiap kesulitan pasti ada kemudahan”.
Belum genap setahun dari pencapaian Master, kini Awang menatap perjuangan lagi ke puncak tertinggi. Ia ingin merasakan tantangan dan sengitnya atmosfer kehidupan. Ia berkali-kali mencari informasi tentang S3. Ternyata, ia mendapatkan kabar “untuk menempuh S3 dibutuhkan biaya yang sangat besar, 100-150jt” kata salah satu pegawai TU. Awang terhentak!!!!!, hatinya berdetak kencang!!!!. Dengan penuh kerendahan, Awang menatap ke langit biru yang kian gelap, hampir tertutup gelapnya malam. Dalam keheningan, Awang menengadah tangannya ke atas, sambil memohon petunjuk dari langit.
Malam demi malam, minggu berganti minggu, bulan bertemu bulan lagi. Akhirnya, dipenghujung tahun, Awang seakan-akan mendapatkan bisikan, ada salah satu lembaga sosial (nir-laba) di Jakarta menawarkan beasiswa S3 bagi putra-putri Bangsa yang berprestasi dan mempunyai militansi tinggi.
Hati Awang langsung bergejolak. Ia tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Ia langsung menyusun strategi, agar apa yang ia impikan tercapai. Ia pelajari…, ia amati, semua persyaratan yang dikehendaki pihak. Setelah dirasa cukup, Awang melayangkan permohonan ke lembaga itu. Setelah beberapa bulan, proses seleksi berlangsung, Awang hanya bisa mengandalkan kekuatan dari langit “Allah”, karena hanya dari-Nya lah sesuatu yang sulit menjadi mudah, hal yang mustahil menjadi sangat mungkin.
Awang sadar, bahwa untuk mendapatkannya S3 tidaklah mudah, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi Awang sadar, hanyalah seorang anak nelayan yang serba dalam keterbatasan. Awang hanya berharap do’a dan restu dari orang tua. Awang yakin, do’a dan ridha orang tua adalah senjata yang sangat ampuh. “Ridha Allah tergantung ridhonya” kata kalimat bijak.
Bermodalkan kedua kekuatan tersebut “doa dan ridha”, akhirnya Awang benar-benar mendapatkan kado istimewa. Awang benar-benar diterima sebagai salah satu mahasiswa penerima beasiswa Doktoral di salah satu perguruan tinggi di Bogor. Betapa senang dan terkejutnya Awang, karena ini adalah puncak dari segala harapan. Puncak getaran dan gejolak hati yang selalu ingin mengayuh mimpi. Mimpi anak nelayan yang ingin meraih prestasi.
Meskipun di sana nantinya banyak rintangan, halangan, dan ujian berat menanti. Sebagaimana kala menempuh perjuangan di awal-awal perjalanan. Sungguh!!!!, menjalani perkuliahan S3 lebih berat dari pada sebelumnya, karena “semakin tinggi pohon menjulang ke langit, semakin besar pula hantaman dan hembasan angin”. Akhirnya, alhamdulillah, setelah empat tahun berjalan, tepatnya 30 Maret 2013, Awang resmi menjalani proses sidang promosi, dan pada hari itu juga, Awang berhasil menyandang gelar Doktor.
Sungguh!!!, “Gejolak Hati untuk Menggayuh Mimpi” benar-benar bergetar kencang di hati Awang, berdetak kencang bagaikan genderang yang mau perang!.
Semoga… Muncullah, Awang-awang lain, yang ingin meraih prestasi, meskipun banyak kendala dan rintangan. Karena “Gejolak Hati” yang terjadi, harus dituntun dan ditunjukkan pada hal yang positif agar prestasi mudah diraih.  
***************
Biodata Penulis
Nama                                     : Muthoifin Walidem
Kategori Peserta                  : Umum
No HP                                    : 085850908667
Alamat                                   : Kedungmutih, 27, Rt.03, Rw.02, Wedung, Demak.
Prestasi                                   :
- Wisudawan terbaik S1, 2006.
- Peraih Bes-wan Djarum Bakti Pendidikan (S1), 2005-2006.
- Peraih Beasiswa Mahasiswa Berprestasi PEMDA Banyuwangi (S2), 2008.
- Peraih Beasiswa BAZNAS (S3), 2009.
- Juara II CERPEN, Ultah Pegadaian ke-112, 2013.
- Juara II ESAI (Sayembara Nasional Ketua Umum APKASI), 2013.
- Pemenang lomba “terbitkan bukumu” oleh BITREAD, 2014.
- 12 RESENSI terbaik nasional dalam lomba resensi novel “12 Menit”, 2014.
        

Tidak ada komentar:

Posting Komentar