Jumat, 11 Juli 2014

DAHSYATNYA JAHANNAM

DAHSYATNYA JAHANNAM


Yazid Ar raqqasyi dari Anas bin Malik ra. berkata: Jibril datang kepada Rasulullah pada waktu yang ia tidak biasa datang dalam keadaan berubah mukanya, maka ditanya oleh Rasululah Saw:

"Mengapa aku melihat kau berubah muka (wajah)?" Jawabnya: "Ya Muhammad, aku datang kepadamu di saat Allah menyuruh supaya dikobarkan penyalaan api neraka, maka tidak layak bagi orang yang mengetahui bahwa neraka Jahannam itu benar, siksa kubur itu benar, dan siksa Allah itu terbesar untuk bersuka-suka sebelum ia merasa aman daripadanya".

Lalu Rasullulah Saw bersabda:
"Ya Jibril, jelaskan padaku sifat Jahannam".
Jawabnya: "Ya. Ketika Allah menjadikan Jahannam, maka dinyalakan selama 1000 tahun sehingga merah, kemudian dilanjutkan 1000 tahun sehingga putih, kemudian 1000 tahun sehingga hitam, lalu menjadi hitam gelap, tidak pernah padam nyala dan baranya. Demi Allah, andaikan terbuka sebesar lubang jarum niscaya akan dapat membakar semua penduduk dunia karena panasnya. Demi Allah, andaikan satu baju ahli neraka itu digantung di antara langit dan bumi niscaya akan mati penduduk bumi karena panas dan basinya. Demi Allah, andaikan satu pergelangan dari rantai yang disebut dalam Al-Quran itu diletakkan di atas bukit, niscaya akan cair sampai ke bawah bumi yg ke 7. Demi Allah, andaikan seorang di ujung barat tersiksa, niscaya akan terbakar orang-orang yang di ujung timur karena sangat panasnya. Jahannam itu sangat dalam, perhiasannya besi dan minumannya air panas bercampur nanah, dan pakaiannya adalah potongan-potongan api. Api neraka itu ada 7 pintu, jarak antar pintu sejauh 70 tahun, dan tiap pintu panasnya 70 kali dari pintu yg lain".
Dikatakan dalam Hadith Qudsi: "Bagaimana kamu masih boleh melakukan maksiat sedangkan kamu tak dapat bertahan dengan panasnya terik matahariKu. Tahukah kamu bahwa neraka jahanamKu itu: mempunyai 7 tingkat.
  • Setiap tingkat mempunyai 70.000 daerah.
  • Setiap daerah mempunyai 70.000 kampung.
  • Setiap kampung mempunyai 70.000 rumah.
  • Setiap rumah mempunyai 70.000 bilik.
  • Setiap bilik mempunyai 70.000 kotak.
  • Setiap kotak mempunyai 70.000 batang pokok zaqqum.
  • Di bawah setiap pokok zaqqum mempunyai 70.000 ekor ular.
  • Di dalam mulut setiap ular yang panjangnya 70 hasta mengandung lautan racun yang hitam pekat. Dan di bawah setiap pokok zaqqum terdapat 70.000 rantai. Setiap rantai diseret oleh 70.000 malaikat".

"Api yang ada sekarang ini, yang digunakan bani Adam untuk membakar hanyalah 1/70 dari api neraka jahannam" (HR. Bukhari-Muslim). "Apabila neraka itu melihat mereka dari tempat yang jauh, mereka akan mendengar kegeraman dan suara nyalanya". (QS. Al-Furqan: 11).

"Apabila mereka dilemparkan ke dalamnya, mereka mendengar suara neraka yang mengerikan, sedang neraka itu menggelegak, hampir-hampir (neraka) itu terpecah lantaran marah". (QS. Al-Mulk: 7).

Air di jahannam adalah hamim (air panas yang menggelegak), anginnya adalah samum (angin yang amat panas), sedang naungannya adalah yahmum (naungan berupa potongan-potongan asap hitam yang sangat panas) (Lihat QS. Al-Waqi'ah: 41-44).

Rasulullah Saw meminta Jibril untuk menjelaskan satu per satu mengenai pintu-pintu neraka tersebut. "Pintu pertama dinamakan Hawiyah (arti harfiahnya: jurang), yang diperuntukkan bagi kaum munafik dan kafir. Pintu ke 2 dinamakan Jahim, yang diperuntukkan bagi kaum musyrikin; Pintu ke 3 dinamakan Saqar, yang diperuntukkan bagi kaum shobiin atau penyembah api; Pintu ke 4 dinamakan Ladha, diperuntukkan bagi iblis dan para pengikutnya; Pintu ke 5 dinamakan Huthomah (artinya: menghancurkan hingga berkeping-keping), diperuntukkan bagi kaum Yahudi; Pintu ke 6 dinamakan Sa'ir (arti harfiahnya: api yang menyala-nyala), diperuntukkan bagi kaum kafir.

Rasulullah bertanya: "Bagaimana dengan pintu ke 7?" Sejenak malaikat Jibril seperti ragu untuk menyampaikan siapa yang akan menghuni pintu ketujuh. Akan tetapi Rasulullah Saw mendesaknya sehingga akhirnya Malaikat Jibril mengatakan, "Pintu ke 7 diperuntukkan bagi umatmu yang berdosa besar dan meninggal sebelum mereka mengucapkan kata taubat".

Mendengar penjelasan yang mengagetkan itu, Rasulullah Saw pun langsung pingsan, Jibril lalu meletakkan kepala Rasulullah Saw di pangkuannya sehingga sadar kembali dan sesudah sadar beliau bersabda: "Ya Jibril, sungguh besar kerisauan dan sangat sedihku, apakah ada seorang dari umat ku yang akan masuk ke dalam neraka?" Jawabnya: "Ya, yaitu orang yg berdosa besar dari umatmu."

Nabi Muhammad lalu menangis, Jibrail pun ikut menangis. Kemudian nabi saw langsung masuk ke dalam rumahnya dan tidak keluar kecuali untuk sembahyang. Setelah kejadian itu, beliau tidak berbicara dengan siapapun selama beberapa hari, dan ketika sholat beliau pun menangis dengan tangisan yang sangat memilukan. Karena tangisannya ini, semua sahabat ikut menangis, kemudian mereka bertanya: “Mengapa beliau begitu berduka?” Namun beliau tidak menjawab.

Sayyidah Fathimah az-Zahra melihat beliau karena tangisan yang tiada henti. Wajah Nabi menjadi pucat dan pipinya menjadi cekung. Sebagaimana yang diceritakan oleh Kasyfi, bahwa bumi tempat beliau duduk telah basah dengan air mata. Sayyidah Fathimah as berkata kepada ayahnya, semoga hidupku menjadi tebusanmu, “Mengapa Ayahanda menangis?”

Nabi saw menjawab: “Ya Fathimah, mengapa aku tidak boleh menangis? Karena sesungguhnya Jibril telah menyampaikan kepadaku sebuah ayat yang menggambarkan kondisi neraka. Neraka itu mempunyai 7 pintu, dan pintu- pintunya mempunyai 70.000 celah api. Pada setiap celah ada 70.000 peti mati dari api, dan setiap peti berisi 70.000 jenis azab".

Setelah mendengar ucapan tersebut, para sahabat Nabi menangis dan meratap, "Derita perjalanan alam akhirat sangat jauh, sedangkan perbekalan sangat sedikit".
 
Sementara sebagian lagi menangis dan meratap, "Seandainya ibuku tidak melahirkanku, maka aku tidak akan mendengar tentang azab ini".

Ammar bin Yasir berkata, "Andaikan aku seekor burung, tentu aku tidak akan ditahan (di hari kiamat) untuk di hisab".

Bilal yang tidak hadir di sana datang kepada Salman dan bertanya sebab-sebab duka cita itu. Salman menjawab: "Celakalah engkau dan aku, Sesungguhnya kita akan mendapat pakaian dari api, sebagai pengganti dari pakaian katun ini dan kita akan diberi makan dengan zaqqum (pohon beracun di neraka).

Sungguh dialog yang sangat mengerikan. Para sahabat meratap dan menangis, bahkan Nabi dan malaikat Jibril pun menangis saat mengetahui tentang dasyatnya siksa di neraka. Bagaimana dengan kita..?

TIGA HARI BERSAMA AHLI SURGA

TIGA HARI BERSAMA AHLI SURGA
 
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ


Di salah satu sudut Masjid Nabawi terdapat satu ruang yang kini digunakan sebagai ruang khadimat. Dahulu di tempat itulah Rasulullah shalallahu 'alaihi wasalaam senantiasa berkumpul bermusyawarah bersama para Shahabatnya radhiallaahu 'anhum. Di sana Beliau SAW memberi taushiyyah, bermudzakarah, dan ta'lim.

 Suatu ketika, saat Rasulullah SAW memberikan taushiyyahnya, tiba-tiba Beliau SAW berucap, "Sebentar lagi akan datang seorang pemuda ahli surga." Para Shahabat r.hum pun saling bertatapan, di sana ada Abu Bakar Ash Shiddiqradhiallaahu 'anhu, Utsman bin Affanradhiallaahu 'anhu, Umar bin Khattabradhiallaahu 'anhu, dan beberapa Shahabat lainnya.
 
Tak lama kemudian, datanglah seorang pemuda yang sederhana. Pakaiannya sederhana, penampilannya sederhana, wajahnya masih basah dengan air wudhu. Di tangan kirinya menenteng sandalnya yang sederhana pula.
 
Di kesempatan lain, ketika Rasulullah SAW berkumpul dengan para Shahabatnya, Beliau SAW pun berucap, "Sebentar lagi kalian akan melihat seorang pemuda ahli surga." Dan pemuda sederhana itu datang lagi, dengan keadaan yang masih tetap sama, sederhana. Para Shahabat yang berkumpul pun terheran-heran, siapa dengan pemuda sederhana itu?

Bahkan hingga ketiga kalinya Rasulullah SAW mengatakan hal yang serupa. Bahwa pemuda sederhana itu adalah seorang ahli surga. Seorang Shahabat, Mu'adz bin Jabbalradhiallaahu 'anhupun merasa penasaran.
Amalan apa yang dimilikinya sampai-sampai Rasul menyebutnya pemuda ahli surga?

Maka Mu'adzradhiallaahu'anhu berusaha mencari tahu. Ia berdalih sedang berselisih dengan ayahnya dan meminta izin untuk menginap beberapa malam di kediaman si pemuda tersebut. Si pemuda pun mengizinkan. Dan mulai saat itu Mu'adz mengamati setiap amalan pemuda tersebut.

 Malam pertama, ketika Mu'adz bangun untuk tahajud, pemuda tersebut masih terlelap hingga datang waktu shubuh. Ba'da shubuh, mereka bertilawah. Diamatinya bacaan pemuda tersebut yang masih terbata-bata, dan tidak begitu fasih. Ketika masuk waktu dhuha, Mu'adz bergegas menunaikan shalat dhuha, sementara pemuda itu tidak. Keesokkannya, Mu'adz kembali mengamati amalan pemuda tersebut.
Malam tanpa tahajjud, bacaan tilawah terbata-bata dan tidak begitu fasih, serta di pagi harinya tidak shalat dhuha.

Begitu pun di hari ketiga, amalan pemuda itu masih tetap sama. Bahkan di hari itu Mu'adz shaum sunnah, sedangkan pemuda itu tidak shaum sunnah. Mu'adz pun semakin heran dengan ucapan Rasulullah SAW. Tidak ada yang istimewa dari amalan pemuda itu, tetapi Beliau SAW menyebutnya sebagai pemuda ahli surga. Hingga Mu'adz pun langsung mengungkapkan keheranannya pada pemuda itu.

 "Wahai Saudaraku, sesungguhnya Rasulullah SAW menyebut-nyebut engkau sebagai pemuda ahli surga.
Tetapi setelah aku amati, tidak ada amalan istimewa yang engkau amalkan. Engkau tidak tahajjud, bacaanmu pun tidak begitu fasih, pagi hari pun kau lalui tanpa shalat dhuha, bahkan shaum sunnah pun tidak. Lalu amal apa yang engkau miliki sehingga Rasul SAW menyebutmu sebagai ahli surga?" "Saudaraku, aku memang belum mampu tahajjud. Bacaanku pun tidak fasih. Aku juga belum mampu shalat dhuha.
Dan aku pun belum mampu untuk shaum sunnah. Tetapi ketahuilah, sudah beberapa minggu ini aku berusaha untuk menjaga tiga amalan yang baru mampu aku amalkan."
 
"Amalan apakah itu?"
 "Pertama, aku berusaha untuk tidak menyakiti orang lain. Sekecil apapun, aku berusaha untuk tidak menyinggung perasaan orang lain. Baik itu kepada ibu bapakku, istri dan anak-anakku, kerabatku, tetanggaku, dan semua orang yang hidup di sekelilingku. Aku tak ingin mereka tersakiti atau bahkan tersinggung oleh ucapan dan perbuatanku."

"Subhanallah...kemudian apa?"

"Yang kedua, aku berusaha untuk tidak marah dan memaafkan. Karena yang aku tahu bahwa Rasullullah tidak suka marah dan mudah memaafkan."

"Subhanallah...lalu kemudian?"

"Dan yang terakhir, aku berusaha untuk menjaga tali shilaturrahim. Menjalin hubungan baik dengan siapapun.
Dan menyambungkan kembali tali shilaturrahim yang terputus." "Demi Allah...engkau benar-benar ahli surga.
Ketiga amalan yang engkau sebut itulah amalan yang paling sulit aku amalkan."

Wallahu a'lam bi shawwab.
Semoga kita bisa mengambil hikmahnya.

Sabtu, 05 Juli 2014

KONSEP ILMU MENURUT IBN JAMA’AH



KONSEP ILMU MENURUT IBN JAMA’AH
(Studi Terhadap Kitab Tazkirat al-Sami’  wa  al-Mutakallim)
Dr. Muthoifin, M.Ag: Dosen FITK-IAIN Surakarta

I.  Pendahuluan
      Sebagai orang yang lahir dari keluarga dengan tradisi ilmiah yang baik, Badr al-Din Ibn al-Jama’ah (w. 773/1333) mendapat pendidikan terbaik dari zamannya. Ia dibimbing ayahnya sendiri, dan sejumlah ilmuwan terkemuka. Ibn Jama’ah menempatkan diri sebagai ulama’ terkenal periode mamluk yang sukses memadukan karir ilmiah dengan publik. Ia menjadi mudarris di madrasah terbaik di Damaskus, Jerusalem, dan Kairo serta dipercaya sebagai qadi dan qadi al-qudat mazhab Syafi’i. Karirnya mencapai puncak harapan ilmuwan pada era itu.[1]
     Sesuai zamannya, Ibn Jama’ah adalah ilmuwan ensiklopedis, meskipun perhatiannya terfokus pada ilmu agama. Karya beliau mengenai adab atau etika Tazkirah al-Sami’ wa al-Mutakallim fi adab al-Alim wa al-Muta’allim, di tulis di awal karir  madrasah dan satu-sunya karya tentang pendidikan. Karya ini lanjutan karya sejenis yang ditulis ilmuwan sebelumnya. Cenderung sama, sekaligus refleksi kemunduran pendidikan abad pertengahan islam. Empat tema menjadi fokus pemikiran Ibn Jama’ah dalam buku ini: etika ilmuwan, etika murid, etika terhadap buku, dan etika penghuni madrasah.
     Ibn Jama’ah memulai pendidiknnya pada usia sangat dini. Ini tidak terlalu aneh karena ia lahir dalam keluarga dengan tradisi ilmiah yang baik. Lagi pula belajar pada usia tujuh tahun tidak  bertentangan dengan praktik pendidikan pada abad pertengahan. Meskipun terdapat variasi usia pada pendidikan formal. Ibn Hazm (w.456/1064) berpendapat,  pendidikan dasar formal (kuttab) sebaiknya dimulai sejak usia lima tahun. Ibn al-Jawzi (w 597/1200) melaporkan, ia masuk kuttab pada usia enam tahun. Namun, banyak teman kelasnya berusia lebih tua.[2]
    Pendidkan Ibn Jama’ah mengikuti jalur yang lazim ditempuh banyak orang. Dari guru dan mobilitasnya mencari pengetahuan, bisa disimpulkan, ia memperoleh pendidikan terbaik. Ibn Jama’ah diberkahi latas belakang yang kondusif. Maka, ia tumbuh menjadi intelektual muda lengkap bekal sukses meniti karir. Singkatnya, karir Ibn Jama’ah bisa digambarkan perpaduan antara mengajar dan qadi yang dijalani dalam satu iklim sosio politik yang sangat dinamis.

II.  Sketsa Biografi Ibn Jama’ah.
A.  Biogrfi Ibn Jama’ah
      Badr al-Din Muhammad ibn Ibrahim ibn Sa’d Allah ibn jama’ah ibn Ismail ibn Jama’ah ibn Hazim ibn Sakhr ibn ’Abd Allah al-Kinani, lahir pada tanggal 4 Rabi’ al-Akhir 639/1241, di Hamah, Syria.[3] Dalam keluarga dengan empat anak, Ibn Jama’ah yang terkecil. Keluarga Ibn Jama’ah mempunyai tradisi intelektual mapan. ’Abd al-Jawwad Khalaf mencatat ada 40 skolar terkenal lahir dari rahim keluarga Ibn Jama’ah dan hidup sepanjang masa Ayyubiyah dan Mamluk. Beberapa anggota berhasil menjadi faqih, qadli atau khatib terkenal. Fiqh merupakan disiplin utama dalam pendidikan era Mamluk. Menjadi qadli atau khatib merupakan simbol keberhasilan seorang ilmuwan. Beberapa faqih terkenal merupakan berasal dari Bani Jama’ah, mulai kakek dan ayah Ibn Jamah, hingga sepupu dan anak-anak mereka. Para faqih dari golongan ini di segani dalam waktu lama di Hamah, Damaskus, Kairo, dan Jerussalem. Ibn Jamah figur intelektual paling menonjol dari keluarga ini dan meniti karir di kota itu. Namun, ia banyak menghabiskan waktu di kairo.[4]
     Kota kelahiran Ibn Jama’ah , Hamah, adalah kota penting Syria di samping Damaskus dan Aleppo. Ia relatif berkembang saat kelahiran Ibn Jama’ah. Pasca invasi Mongol, kota di Syaria memperoleh stabilita dan berkembang. Kota Hamah mengalami kemajuan signifikan pada masa Dinasti Ayyubiyah. Dinasti ini giat membangun institusi ilmiah di kota yang di kuasai, termasuk Hamah. Menjelng kelahiran Ibn Jama’ah di Hamah terdapat madrasah, khanqah, zawiyah, dan masjid, lengkap dengan dukungan wakaf. Singkatnya, meskipun tidak sebanding Damaskus atau Kairo, Hamah merupakan kota yang hidup, mampu memberi lingkungan ilmiah yang kondusif. [5]





B. Guru-gurunya.

Ibn Jama’ah mendapat pengajaran agama dari beberapa guru yang sangat terkenal di tempat dan masanya, baik oleh ayahnya sendiri maupun guru lain, diantarnya:
  1. Shofi al-Din ibn al-Baradzi’i wafat 647 H.
  2.  al-Rasyid Ibn Maslamah.  w. 650H.
  3.  al-Rasyid al-Iraqi.  w. 652 H.
  4.  Syaih al-Syuyuh al-Anshari.  w. 662 H
  5.  al-Rasyid al-‘Aththar.  w. 662 H.
  6.  al-Radli Ibn al-Burhan.  w. 664 H
  7.  Ibn ‘Abd al-Warits.  w. 665 H
  8.  Ibn al-Qasthalani.  w. 665 H
  9.  Ibn ‘Izwan.  w. 667 H
  10.  al-Majdu Ibn Daqiq.  w. 667 H
  11.  Ibn ‘Abd al-Daim.  w. 668 H
  12.  Syaraf al-Din al-Sabaqi.  w. 669 H
  13.  al-Muin al-Dimasyqa.  w. 670 H
  14.  Ibn Malik.  w. 672 H
  15.  al-Kamal Ibn ‘Abd.  w. 672 H
  16.  Ibn Abi al-Yasar.  w. 672 H
  17.  Ibn Alaq.  w. 672 H
  18.  al-Najib. w. 672 H
  19.  Ibn ‘Atha’ al-Hanaf i. w.  673 H
  20.  Ibrahim Ibn Jama’ah.  w.  675 H
  21.  Ibn Razin.  w. 680 H
  22.  Ibn ‘Alan. w. 680 H
  23.  Ibn ‘Abi ‘Amr. w.  682 H
  24.  Ibn al-Mutawwij.  w. 730 H.[6]  





C. Murid-muridnya
Muri-murid Ibn Jama’ah Sangat banyak sekali, dan tersebar di pelosok Jazirah Arab Diantara muri-murid beliau yang sangat terkenal antara lain:
  1. al-Imam Atsir al-Din Abu Hayyan.
  2. al-‘Allamah Taju al-Din al-Sabaki.
  3. al-Muarrikh al-Kabir Shalah al-Din al-Shafadi
  4.  al-Imam al-Muhaddits Nur al-Din ‘Ali Ibn Jabir al-Hasyimi.
  5. al-Faqih al-Kabir Qutb al-Din al-Sanbathi
  6. Syihab al-Din al-Hakari.
  7. al-Imam al-Kabir Syams al-Din Ibn al-Qamakh.
  8.  Muhammad Ibn Muhammad Ibn al-Husaini al-Halabi.
  9.  al-Syaikh al-Qadli ‘Imad al-Din al-Balbisi.[7]

III. Karya-karya Ibn Jama’ah
Sebagai ilmuwan, bahwa Ibn Jama’ah punya karya beragam. Biografi dan komentar tentangnya menunjuk demikian. Banyak karya beliau belum dipublikasikan. Sebagian malah belum diketahui apakah masih utuh dan berhasil diwariskan. Berikut diberikan daftar karya Ibn Jama’ah yang didapat dari catatan biografi ilmuwan muslim. Karya-karya ini disebut secara berserakan di berbagai sumber. Diantara karya beliau adalah;[8]
1. Ulum al-Qur’an:
 -al-Tibyan fi Mubhamat al-Qur’an
 -Ghurar al-Tibyan fi man lam Yusammi fi al-Qur’an
 -al-Fawaid al- Laihah min Surah al-Fatihah
 -Kasyf al-Ma’ani an al-Mutasyabih min al-Matsani
 -al-Muqtas fi Fawaid Takrir al-Qishash
2. Ulum al-Hadits:
 - al-Manhal al-Rawi  fi Mukhtashar ’Ulum al-Hadits al-Nabawi.
 - al-Fawaid al-Gazirah al-Mustanbat min Hadits Barirah
- Muhtashar fi Munasabat Tarajum al-Bukhari li Ahadits al-Abwab.
- Mukhtasar Afsa al-Amal wal-Syawq fi ’Ulum Hadits al-Rasul li-Ibn al-Shalah
 -’Arba’un Haditsan Tusa’iyan
3. Fiqh:
 - al-’Umdah fi al-Ahkam.
 - Kasyf al-Ghummah fi Ahkam Ahl al-Zimmah
 - al-Tha’ah fi Fadlilati Shalat al-Jama’ah
 - al-Masalik fi Ilm al-Masalik
 - Tanqih al-Munazzarat fi tashih al-Mukhabarah
4. Kalam:
 - al-Radd ’ala  al-Musyabbahah fi Qawlihi Ta’ala ”al-Rahman ’Ala al-’Arsy Istawa”
 - al-Tanzih fi Ibtal Hujjah al-Tasybih
 - Idlah al-Dalil  fi Qath’i Hujaj al-Ta’til
5. Sejarah:
 - al-Mukhtashar al-Kabir fi al-Sirah
 - Nur al-Rawd
6. Nahwu:
 - Syarh Kafiyah Ibn al-Hajib
.- al-Dliya’  al-Kamil wa Syarh al-Syamil
7. Sastra:
- Lisan al-‘Adab
- Diwan al-Kitab
- Arjuzah fi al-Khulafa’
- Arjuzah fi Qadlati al-Syam
8. Perang:
-Tajnid al-Ajnad wa-Jihat al-Jihad
- Mustanid al-Ajnad fi Alat al-Jihad
- Awtsaq al-Asbab
9. Astrologi:
- Risalah fi al-Astaralib
10. Pendidikan:
- Tazkirah al-Sami’ wa al-Mutakallim fi ‘Adab al-‘Alim wal-Muta’allim
11. Politik:
- Tahrir al-Ahkamfi Tadbir Ahl al-Islam
- Hujjat al-Suluk fi Muhadat al-Muluk.[9]

IV. Konsep Tentang Ilmu
Struktrtur kitab Tazkirah al-Sami’ wa al-Mutakallim ini tidak berbeda dengan kitab lain dengan tema serupa, seperti kitab Adab al-‘Alim wal-Mutakallim fima Yahtaj ilaihi fi Maqamat Ta’limihi karya K. H. Muhammad Hasyim Asy’ari.[10] Dimulai pendahuluan singkat; lalu sebuah bab kecil tentang keutamaan ilmu dan ulama’ serta keutaman kegiatan mengajar dan belajar. Dalam sisa bab, dibahas etika akademis yang dibagi kedalam: 1) etika ilmuwan (‘alim); 2) etika penuntut ilmu (muta’allim); 3) etika terhadap buku; dan 4) etika para penghuni asrama.[11]
A.    Etika Personal Ilmuwan (Adab al-Nafs).
Ibn Jama’ah dalam hal ini, menempatkan dua belas poin etika yang menjadi kepribadian ilmuwan yang baik, diantanya:[12]
Pertama, ilmuwan senantiasa dekat dengan Allah SWT, sendirian maupun bersama orang lain.
Kedua, ilmuwan harus memelihara ilmu pengetahuan sebagaimana para ulama’ salaf memeliharanya.
Ketiga, ilmuwan harus zuhud dan menghindari kekayaan material berlebihan.
Keempat, Ilmuwan tidak menjadikan ilmu sebagai alat mencapai tujuan duniawi seperti kemuliaan, kekayaan, ketenaran, atau bersaing dengan orang lain.
Kelima, ilmuwan harus terhindar dari tindakan tercela atau kurang pantas, baik agama maupun adat.
Keenam, ilmuwan melaksanakan ajaran agama dan mendukung syi’ar.
Ketujuh, lmuwan dapat memelihara amalan sunat, baik berupa perbuatan maupun perkataan
Kedelapan, ilmuwan memperlakukan masyarakat dengan dengan akhlak mulia.
Kesembilan, ilmuwan membersihkan diri dari akhlak buruk dan menumbuhkan ahlak terpuji.
Kesepuluh, ilmuwan memperdalam ilmu pengetahuan terus menerus.
Kesebelas, ilmuwan tidak boleh segan belajar dari yang lebih rendah jabatan, keturunan, atau usia.
Keduabelas, ilmuwan mentradisikan menulis dalam bidang yang ditekuni dan dikuasai.[13]
B.     Etika Dalam Mengajar.
Ibn Jama’ah  dalam hal ini juga menempatkan dua belas poin tentang etika yang berkaitkan dengan mengajar, diantanya:
Pertama, menjelang mengajar, ilmuwan membersihkan diri dari hadats dan kotoran, merapikan diri, serta mengenakan pakain bagus.
Kedua, keluar dari rumah, seorang ilmuwan hendaknya berdo’a mencari ilmu (thalab al-Ilm), mengingat Allah SWT, mengucap salam kepada yang hadir, lalu melaksanakan shalat dua raka’at (khususnya majlis di masjid).
Ketiga, duduk pada posisi yang bisa dilihat seluruh yang hadir.
Keempat, membaca ayat al-Qur’an sebelum pelajaran dimulai agar berkah, mendo’akan diri sendiri, hadirin, dan kaum muslimin.
Kelima, jika mengajarkan beberapa disiplin ilmu dalam sehari, maka harus mendahulukan yang lebih mulia dan lebih penting.
Keenam, mengatur suara agar tidak terlalu lemah hingga sulit didengar hadirin, juga tidak terlalu kera hingga mengganggu orang di luar majlis.
Ketujuh, menjaga majlis agar tidak menjadi ajang senda gurau, kebingisan, atau perdebatan yang tidak jelas yang hanya mengakibatkan kelupaan.
Kedelapan, mengingatkan orang yang berlebihan dalam debat, atau bingung dalam debat, atau jelek tata krama, atau tak mau tenang setelah ditemukan kebenaran
Kesembilan, ilmuwan harus bersikap adil dalam memberikan pelajaran.
Kesepuluh, memberi penghargaan sewajarnya terhadap orang asing (bukan anggota kelas reguler) yang datang ketika majlis sedang berlangsung, dengan mempersilahkan dan menerimanya dengan baik.
Kesebelas, mengakhiri pelajaran dengan Wallah A’lam seperti halnya mufti mengakhiri jawaban tertulis.
Keduabelas, ilmuwan harus mengetahui keahlian dan mengajarkan bidang keahlian itu.[14]
C.    Etika Sang Murid ( Adab al-Muta’allim)
Menurut Ibn Jama’ah ada sepuluh etika personal sang murid, yang merupakan dasar kesiapan menjadi penuntut ilmu yang baik, diantanya:
Pertama, membersihkan hati dari kotoran, sifat buruk, aqidah keliru, dan aqidah tercela.
Kedua, meluruskan niat hanya karena Allah SWT, menghidupkan syariat islam, menyinari hati dan mengasah bathin dalam rangka mendekatkan diri pada Allah SWT.
Ketiga, menghargai waktu dengan mencurahkan perhatian  untuk urusan menuntut ilmu pengetahuan.
Keempat, menjaga kesederhanaan pakain dan makanan.
Kelima, membuat jadwal kegiatan yang ketat dan jelas manfaatnya.
Keenam, menghindari makan terlalu banyak.
Ketujuh, bersifat wara’  papan, sandang, pangan semua diperoleh dengan cara yang halal.
Kedelapan, mengurangi konsumsi makanan yang bisa menyebabkan kebodohan dan lemahnya indera seperti apel asam, kubis atau cuka.
Kesembilan, meminimalkan waktu tidur, tetapi tidak menggangu kesehatan.
Kesepuluh, membatasi pergaulan hanya dengan orang yang bisa bermanfaat bagi belajar.[15]

D.    Etika Terhadap Buku
Buku ialah alat ilmiah,. Selain karya Ibn Jama’ah, etika terhadap buku juga dijumpai dalam karya al-’Almawi, al-Mu’id fi Adab al-Mufid wal-Mustafid, yang dikutib di depan. Berikut ini kode etik terhadap buku menurut Ibn Jama’ah.
Pertama, murid senantiasa berupaya memperoleh buku yang dibuuhkan dengan jalan membeli, menyewa, atau meminjam.
Kedua, seseorang hanya meminjamkan buku kepada orang yang diyakini memanfaatkan buku tanpa merusak.
Ketiga, waktu membaca, buku tidak dibiarkan terletak di lantai dan terlempar secara berlebihan.
Keempat, jika meminjam buku, seseoarng harus memeriksa saat mengambil dan saat mengembalikan.
Kelima, saat menyalin buku ilmu agama, seseorang harus suci, bersih badan dan pakaian, menghadap qiblat, serta memulai naskah dengan membaca basmalah.
Keenam, dalam menyalin hendaknya dihindari tulisan yang terlalu halus, karena bisa mengakibatkan kurang jelasnya tulisan.
Ketujuh, jika naskah buku dibandingkan dengan naskah lain yang benar atau dengan bantuan syaikh, maka harus diberi tanda harakat dan diakritik. Bagian yang potensial menimbulkan  salah ejaan dan membutuhkan perbaikan harus diperhatikan khusus.
Kedelapan, jika ingian membuat penjelasan (takhrij, terkadang disebut juga al-Lahq) tentang sesuatu dari matan, ia dapat membuatnya di margin buku.
Kesembilan, boleh menulis judul bab, nama-nama tokoh, dan pasal-pasal buku dengan tinta merah, atau tulisan tebal, untuk mempermudah dalam mencari kalimat.
Kesepuluh, dalam koreksi tambahan atau kekeliruan naskah, cara membuang atau menghapus (al-Darb) lebih baik daripada menggosok kertas (al-Hakk) hingga tulisan hilang.
Kesebelas, pemilik buku boleh membuat hasyiyah, faidah atau tanbih pada margin buku. [16]

E.     Etika Penghuni Madrasah.
 Tradisi menyediakan tempat tinggal bagi murid di madrasah-madrasah dilatarbelakangi dua fenomena, pertama, formalisasi pendidikan, dengan tumbuhnya institusi pendidikan; kedua, munculnya kesediaan menyediakan waqaf sebagai pendanaan kegiatan pendidikan. Dalam hal penyediaan penghuni madrasah Ibn Jama’ah mempunyai sebelas etika yang harus diterapkan untuk menjaga keharmonisan penghuni madrasah, diantaranya:
Pertama, murid yang ingin tinggal di asrama harus memastikan bahwa madrasah dan waqaf berasal dari harta halal, dan pemberi waqah adalah wara’.
Kedua, mudarris (dosen) yang mengajar madrasah harus ilmuwan yang mendekati kriteria etika ilmuwan baik; pakar dibidangnya, religius, cerdas serta berwibawa.
Ketiga, penghuni madrasah harus berupaya semaksimal mungkin untuk selalu mentaati pelaturan yang berlaku dan dicantumkan dalam waqfiyyah madrasah.
Keempat, jika pemberi waqaf mensyaratkan yang berhak menghuni asrama adalah orang-orang yang dapat beasiswa saja, maka seorang yang di luar itu tidak berhak tinggal.
Kelima, seseoarng yang tinggal di madrasah harus benar-benar konsentrasi pada  menuntut ilmu.
Keenam, penghuni asrama harus saling menghormati, memberi salam, saling membantu dan saling memaafkan.
Ketujuh, sedapat mungkin penghuni asrama memilih kamar dengan bertetangga dengan yang saleh, rajin, dan berperilaku baik.
Kedelapan, jika tinggal dekat dengan masjid atau perkumpulan lain yang menggunakan karpet atau tikar, harus menjaga kebersiahn dari nkotoran sandal yang jatuh.
Kesembilan, penghuni asrama dilarang duduk-duduk di pintu, kecuali terpaksa, tidak dikoridor menuju jalan.
Kesepuluh, tidak diperbolehkan melihat dari celah pintu kamar orng lain meski lewat di depannya.
Kesebelas, mengupayakan agar selalu tiba di majlis lebih dulu dari guru. Ulam’ salaf mengatakan:”Salah satu etika terhadap mudarris adalah bahwa para murid menunggunya, bukan sebaliknya, guru menunggu murid.”[17]















V.  Penutup.
Badr al-Din Muhammad ibn Ibrahim ibn Sa’d Allah ibn jama’ah ibn Ismail ibn Jama’ah ibn Hazim ibn Sakhr ibn ’Abd Allah al-Kinani, lahir pada tanggal 4 Rabi’ al-Akhir 639/1241, di Hamah, Syria. Sebagai orang yang lahir dari keluarga dengan tradisi ilmiah yang baik. Ia mendapat pendidikan terbaik dari zamannya. Ia dibimbing ayahnya sendiri, dan sejumlah ilmuwan terkemuka. Ia adalah ilmuwan ensiklopedis, meskipun perhatiannya terfokus pada ilmu agama. Karya beliau mengenai adab atau etika Tazkirah al-Sami’ wa al-Mutakallim fi adab al-Alim wa al-Muta’allim, di tulis di awal karir  madrasah dan satu-sunya karya tentang pendidikan. Ia memperoleh pendidikan terbaik. Ia diberkahi latas belakang yang kondusif. Maka, ia tumbuh menjadi intelektual muda lengkap bekal sukses meniti karir. Singkatnya, karir Ibn Jama’ah bisa digambarkan perpaduan antara mengajar dan qadi yang dijalani dalam satu iklim sosio politik yang sangat dinamis.
Dan konsep ilmu yang dipaparkan Ibn Jama’ah dalam kitab Tazkirat al-Sami’ wal-Mutakallim, sangat begitu runtut dan luasnya pembahasan, dimana lewat ilmu beliau yang agung ini, kita harap bisa mengambil setetes hikmah dibalik kehebatan ilmu beliau, mulai dari konsep ilmu, hakekat ilmu, keagungan dan kemulyaan ilmu, manfaat bagi yang mempelajari dan mengajarkan ilmu, etika ilmuwan, etika yang pencari ilmu, etika mengajar, etika mudarris, etika terhadap guru dan murid, etika terhadap buku, etika penghuni asrama, serta hikmah lain dalam buku ini yang tidak bisa saya sebut secara mendetail. Sebagaimana konsep ilmu yang di paparkan K.H. Muhammad Hasyim Asy’ari dalam kitab ’Adab al-Alim wal-Muta’allim fima yahtaj ilaihi al-Mutaallim fi-Maqamat Ta’limihi, yang sangat bagus dan lengkap serta layak buat rujukan pencari ilmu dan penikmat hikmah.
Semoga makalah yang singkat ini tertulis karena limpahan nur (cahaya) dari Allah lewat ulama’ agung Ibn Jama’ah, menjadikan penulis dan pembaca mendapat keberkahan dan kemanfaatan luar biasa dalam mencari ilmu, serta semoga Allah meridlainya......






                                                     Daftar Pustaka




-Asari, Hasan, Etika Akademis Dalam Islam: Studi tentang Kitb Tazkirat al-Sami’ wa al-Mutakallim Karya Ibn Jama’ah, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008.


-Asy’ari, K.H. Muhammad Hasyim, ‘Adab al-‘Alim wal-Mutakallim fima Yahtaj ilaihi fi Maqamat Ta’limihi, Jombang: Maktabah al-Turas al-Islami, 1415H.


-Ibn Jama’ah, Badr al-Din, Tazkirah al-Sami’ wal-Mutakallim fi ‘Adab al-‘Alim wal-Muta’allim; diedit oleh Muhammad Mahdi al-‘Ajmi, Beirut: Dar al-Basyar al-Islami, 2008.

---------------, Tazkirat al-Sami’ wa al-Mutakallim fi ‘Adabi al-‘Alim wal-Muta’allim; diedit oleh  Muhammad Hasyim al-Nadawi, Hyderabat: Da’irah al-Ma’arif al-Usmaniyyah,1354H.


---------------, Tazkirat al-Sami’ wa al-Mutakallim fi ‘Adab al-‘Alim wal-Muta’allim; diedit oleh, ‘Abd Amir Syams al-Din, Beirut: Dar Iqra’, 1986.


-Khalaf, ‘Abd al-Jawwad, al-Qadi Badr al-Din Ibn Jama’ah: Hayatuhu wa Asaruhu, Karachi: Jami’ah al-Dirasat al-Islamiyyah, 1988.

-Syama al-Din, ‘Abd al-Amir,  al-Fikr al-Tarbawi ‘ind Ibn Sahnun wal-Qabisi, Beirut: Dar al-Kitab al-Alim, 1990.


-Tim Penyusun Pedoman Disertasi PPs UIKA, Pedoman Penulisan Disertasi, Bogor: Program Pascasarjana UIKA Bogar, 2009,







.   






[1] Hasan Asari, Etika Akademis Dalam Islam, Yogyakarta:  Tiara Wacana, 2008, hlm. 111
[2] ‘Abd al-Jawwad Khalaf, al-Qadi Badr al-Din Ibn Jama’ah Hayatuhu wa Asaruhu, Karachi: Jami’ah al-Dirasah al-Islamiyah, 1988, hlm. 7
[3] Ibn Jama’ah, Tazkirat al-Sami’ wal-Mutakallim, Beirut: Dar al-Basyar al-Islami, hlm. 3.
[4] Hasan Asari, Etika Aakademis, hlm. 26.
[5] Ibid., hlm. 27.
[6] Abd al-Jawwad Khalaf, Hayatuhu wa Asaruhu, hlm. 47.
[7] Abd al-Jawwad Khalaf, Hayatuhu wa Asaruhu, hlm. 62.
[8] Haji Khalifah, Kasyf al-Zunun ‘an Asami al-Kutub wal-Funun, Istanbul: Wakalah al-Ma’arif, 1941-1943, hlm.720.
[9] Abd al-Jawwad Khalaf, Hayatuhu wa Asaruhu, hlm. 68- 75.
[10] Muhammad Hayim Asy’ari. Adab al-‘Alim wal-Mutakallim fima Yahtaj ilaihi fi Maqamat Ta’limihi, Jombang: Maktabah al-Turas al-Islami, hlm. 2.
[11] Hasan Asari, Etika, hlm. 41.
[12] Ibid., hlm.42.
[13] Ibn Jama’ah, Tahqiq Muhammad Ibn Mahdi al-‘Ajmi, Tazkirat al-Sami’ wal-Mutakallim,Beirut: Dar al-Basyar al-Islami, hlm.44-55.
[14] Hasan Asari, Etika, hlm. 51
[15] Ibn Jama’ah, Tazkirat, hlm.80-88.
[16] Ibn Jama’ah, Tazkirat, hlm 116-124.
[17] Ibn Jama’ah, Tazkirat, hlm. 125-133.