KONSEP ILMU MENURUT IBN JAMA’AH
(Studi Terhadap Kitab Tazkirat al-Sami’ wa al-Mutakallim)
Dr. Muthoifin, M.Ag: Dosen FITK-IAIN Surakarta
I. Pendahuluan
Sebagai
orang yang lahir dari keluarga dengan tradisi ilmiah yang baik, Badr al-Din Ibn
al-Jama’ah (w. 773/1333) mendapat pendidikan terbaik dari zamannya. Ia
dibimbing ayahnya sendiri, dan sejumlah ilmuwan terkemuka. Ibn Jama’ah
menempatkan diri sebagai ulama’ terkenal periode mamluk yang sukses memadukan
karir ilmiah dengan publik. Ia menjadi mudarris
di madrasah terbaik di Damaskus, Jerusalem, dan Kairo serta dipercaya sebagai qadi dan qadi al-qudat mazhab Syafi’i. Karirnya mencapai puncak harapan
ilmuwan pada era itu.[1]
Sesuai
zamannya, Ibn Jama’ah adalah ilmuwan ensiklopedis, meskipun perhatiannya
terfokus pada ilmu agama. Karya beliau mengenai adab atau etika Tazkirah al-Sami’ wa al-Mutakallim fi adab
al-Alim wa al-Muta’allim, di tulis di awal karir madrasah dan satu-sunya karya tentang
pendidikan. Karya ini lanjutan karya sejenis yang ditulis ilmuwan sebelumnya.
Cenderung sama, sekaligus refleksi kemunduran pendidikan abad pertengahan
islam. Empat tema menjadi fokus pemikiran Ibn Jama’ah dalam buku ini: etika
ilmuwan, etika murid, etika terhadap buku, dan etika penghuni madrasah.
Ibn
Jama’ah memulai pendidiknnya pada usia sangat dini. Ini tidak terlalu aneh
karena ia lahir dalam keluarga dengan tradisi ilmiah yang baik. Lagi pula belajar
pada usia tujuh tahun tidak bertentangan
dengan praktik pendidikan pada abad pertengahan. Meskipun terdapat variasi usia
pada pendidikan formal. Ibn Hazm (w.456/1064) berpendapat, pendidikan dasar formal (kuttab) sebaiknya dimulai sejak usia lima tahun. Ibn al-Jawzi (w
597/1200) melaporkan, ia masuk kuttab
pada usia enam tahun. Namun, banyak teman kelasnya berusia lebih tua.[2]
Pendidkan
Ibn Jama’ah mengikuti jalur yang lazim ditempuh banyak orang. Dari guru dan
mobilitasnya mencari pengetahuan, bisa disimpulkan, ia memperoleh pendidikan
terbaik. Ibn Jama’ah diberkahi latas belakang yang kondusif. Maka, ia tumbuh
menjadi intelektual muda lengkap bekal sukses meniti karir. Singkatnya, karir
Ibn Jama’ah bisa digambarkan perpaduan antara mengajar dan qadi yang dijalani dalam satu iklim sosio politik yang sangat
dinamis.
II. Sketsa Biografi Ibn Jama’ah.
A. Biogrfi Ibn Jama’ah
Badr al-Din Muhammad ibn Ibrahim ibn Sa’d
Allah ibn jama’ah ibn Ismail ibn Jama’ah ibn Hazim ibn Sakhr ibn ’Abd Allah
al-Kinani, lahir pada tanggal 4 Rabi’ al-Akhir 639/1241, di Hamah, Syria.[3]
Dalam keluarga dengan empat anak, Ibn Jama’ah yang terkecil. Keluarga Ibn
Jama’ah mempunyai tradisi intelektual mapan. ’Abd al-Jawwad Khalaf mencatat ada
40 skolar terkenal lahir dari rahim keluarga Ibn Jama’ah dan hidup sepanjang
masa Ayyubiyah dan Mamluk. Beberapa anggota berhasil menjadi faqih, qadli atau khatib terkenal. Fiqh merupakan disiplin utama dalam pendidikan era
Mamluk. Menjadi qadli atau khatib merupakan simbol keberhasilan seorang
ilmuwan. Beberapa faqih terkenal
merupakan berasal dari Bani Jama’ah, mulai kakek dan ayah Ibn Jamah, hingga
sepupu dan anak-anak mereka. Para faqih
dari golongan ini di segani dalam waktu lama di Hamah, Damaskus, Kairo, dan
Jerussalem. Ibn Jamah figur intelektual paling menonjol dari keluarga ini dan
meniti karir di kota itu. Namun, ia banyak menghabiskan waktu di kairo.[4]
Kota
kelahiran Ibn Jama’ah , Hamah, adalah kota penting Syria di samping Damaskus
dan Aleppo. Ia relatif berkembang saat kelahiran Ibn Jama’ah. Pasca invasi Mongol, kota di Syaria
memperoleh stabilita dan berkembang. Kota Hamah mengalami kemajuan signifikan
pada masa Dinasti Ayyubiyah. Dinasti ini giat membangun institusi ilmiah di
kota yang di kuasai, termasuk Hamah. Menjelng kelahiran Ibn Jama’ah di Hamah
terdapat madrasah, khanqah, zawiyah,
dan masjid, lengkap dengan dukungan wakaf. Singkatnya, meskipun tidak sebanding
Damaskus atau Kairo, Hamah merupakan kota yang hidup, mampu memberi lingkungan
ilmiah yang kondusif. [5]
B. Guru-gurunya.
Ibn Jama’ah mendapat
pengajaran agama dari beberapa guru yang sangat terkenal di tempat dan masanya,
baik oleh ayahnya sendiri maupun guru lain, diantarnya:
- Shofi al-Din ibn al-Baradzi’i wafat 647 H.
- al-Rasyid Ibn Maslamah. w. 650H.
- al-Rasyid al-Iraqi. w. 652 H.
- Syaih al-Syuyuh al-Anshari. w. 662 H
- al-Rasyid al-‘Aththar. w. 662 H.
- al-Radli Ibn al-Burhan. w. 664 H
- Ibn ‘Abd al-Warits. w. 665 H
- Ibn al-Qasthalani. w. 665 H
- Ibn ‘Izwan. w. 667 H
- al-Majdu Ibn Daqiq. w. 667 H
- Ibn ‘Abd al-Daim. w. 668 H
- Syaraf al-Din al-Sabaqi. w. 669 H
- al-Muin al-Dimasyqa. w. 670 H
- Ibn Malik. w. 672 H
- al-Kamal Ibn ‘Abd. w. 672 H
- Ibn Abi al-Yasar. w. 672 H
- Ibn Alaq. w. 672 H
- al-Najib. w. 672 H
- Ibn ‘Atha’ al-Hanaf i. w. 673 H
- Ibrahim Ibn Jama’ah. w. 675 H
- Ibn Razin. w. 680 H
- Ibn ‘Alan. w. 680 H
- Ibn ‘Abi ‘Amr. w. 682 H
- Ibn al-Mutawwij. w. 730 H.[6]
C. Murid-muridnya
Muri-murid Ibn Jama’ah Sangat banyak sekali, dan tersebar
di pelosok Jazirah Arab Diantara muri-murid beliau yang sangat terkenal antara
lain:
- al-Imam Atsir al-Din Abu Hayyan.
- al-‘Allamah Taju al-Din al-Sabaki.
- al-Muarrikh al-Kabir Shalah al-Din al-Shafadi
- al-Imam al-Muhaddits Nur al-Din ‘Ali Ibn Jabir al-Hasyimi.
- al-Faqih al-Kabir Qutb al-Din al-Sanbathi
- Syihab al-Din al-Hakari.
- al-Imam al-Kabir Syams al-Din Ibn al-Qamakh.
- Muhammad Ibn Muhammad Ibn al-Husaini al-Halabi.
- al-Syaikh al-Qadli ‘Imad al-Din al-Balbisi.[7]
III. Karya-karya Ibn Jama’ah
Sebagai ilmuwan, bahwa Ibn
Jama’ah punya karya beragam. Biografi dan komentar tentangnya menunjuk demikian. Banyak karya beliau
belum dipublikasikan. Sebagian malah belum diketahui apakah masih utuh dan
berhasil diwariskan. Berikut diberikan daftar karya Ibn Jama’ah yang didapat
dari catatan biografi ilmuwan muslim. Karya-karya ini disebut secara berserakan di berbagai sumber. Diantara
karya beliau adalah;[8]
1. Ulum al-Qur’an:
-al-Tibyan
fi Mubhamat al-Qur’an
-Ghurar
al-Tibyan fi man lam Yusammi fi al-Qur’an
-al-Fawaid
al- Laihah min Surah al-Fatihah
-Kasyf
al-Ma’ani an al-Mutasyabih min al-Matsani
-al-Muqtas
fi Fawaid Takrir al-Qishash
2. Ulum al-Hadits:
- al-Manhal al-Rawi fi Mukhtashar
’Ulum al-Hadits al-Nabawi.
- al-Fawaid
al-Gazirah al-Mustanbat min Hadits Barirah
- Muhtashar fi Munasabat Tarajum
al-Bukhari li Ahadits al-Abwab.
- Mukhtasar Afsa al-Amal wal-Syawq fi
’Ulum Hadits al-Rasul li-Ibn al-Shalah
-’Arba’un
Haditsan Tusa’iyan
3. Fiqh:
- al-’Umdah
fi al-Ahkam.
- Kasyf
al-Ghummah fi Ahkam Ahl al-Zimmah
- al-Tha’ah
fi Fadlilati Shalat al-Jama’ah
- al-Masalik
fi Ilm al-Masalik
- Tanqih
al-Munazzarat fi tashih al-Mukhabarah
4. Kalam:
- al-Radd
’ala al-Musyabbahah fi Qawlihi Ta’ala
”al-Rahman ’Ala al-’Arsy Istawa”
- al-Tanzih
fi Ibtal Hujjah al-Tasybih
-
Idlah al-Dalil fi Qath’i Hujaj al-Ta’til
5. Sejarah:
- al-Mukhtashar al-Kabir fi al-Sirah
-
Nur al-Rawd
6. Nahwu:
- Syarh
Kafiyah Ibn al-Hajib
.-
al-Dliya’ al-Kamil wa Syarh al-Syamil
7. Sastra:
- Lisan al-‘Adab
- Diwan al-Kitab
- Arjuzah fi al-Khulafa’
- Arjuzah fi Qadlati al-Syam
8. Perang:
-Tajnid al-Ajnad wa-Jihat al-Jihad
- Mustanid al-Ajnad fi Alat al-Jihad
- Awtsaq al-Asbab
9. Astrologi:
- Risalah fi al-Astaralib
10. Pendidikan:
- Tazkirah al-Sami’ wa al-Mutakallim
fi ‘Adab al-‘Alim wal-Muta’allim
11. Politik:
- Tahrir al-Ahkamfi Tadbir Ahl al-Islam
- Hujjat al-Suluk fi Muhadat al-Muluk.[9]
IV. Konsep Tentang Ilmu
Struktrtur kitab Tazkirah al-Sami’ wa al-Mutakallim ini
tidak berbeda dengan kitab lain dengan tema serupa, seperti kitab Adab al-‘Alim wal-Mutakallim fima Yahtaj
ilaihi fi Maqamat Ta’limihi karya K. H. Muhammad Hasyim Asy’ari.[10]
Dimulai pendahuluan singkat; lalu sebuah bab kecil tentang keutamaan ilmu dan
ulama’ serta keutaman kegiatan mengajar dan belajar. Dalam sisa bab, dibahas
etika akademis yang dibagi kedalam: 1) etika ilmuwan (‘alim); 2) etika penuntut
ilmu (muta’allim); 3) etika terhadap buku; dan 4) etika para penghuni asrama.[11]
A.
Etika Personal Ilmuwan (Adab al-Nafs).
Ibn Jama’ah dalam hal ini,
menempatkan dua belas poin etika yang menjadi kepribadian ilmuwan yang baik,
diantanya:[12]
Pertama, ilmuwan senantiasa
dekat dengan Allah SWT, sendirian maupun bersama orang lain.
Kedua, ilmuwan harus
memelihara ilmu pengetahuan sebagaimana para ulama’ salaf memeliharanya.
Ketiga, ilmuwan harus
zuhud dan menghindari kekayaan material berlebihan.
Keempat, Ilmuwan
tidak menjadikan ilmu sebagai alat mencapai tujuan duniawi seperti kemuliaan,
kekayaan, ketenaran, atau bersaing dengan orang lain.
Kelima, ilmuwan harus
terhindar dari tindakan tercela atau kurang pantas, baik agama maupun adat.
Keenam, ilmuwan
melaksanakan ajaran agama dan mendukung syi’ar.
Ketujuh, lmuwan dapat
memelihara amalan sunat, baik berupa perbuatan maupun perkataan
Kedelapan, ilmuwan
memperlakukan masyarakat dengan dengan akhlak mulia.
Kesembilan, ilmuwan
membersihkan diri dari akhlak buruk dan menumbuhkan ahlak terpuji.
Kesepuluh, ilmuwan
memperdalam ilmu pengetahuan terus menerus.
Kesebelas, ilmuwan
tidak boleh segan belajar dari yang lebih rendah jabatan, keturunan, atau usia.
Keduabelas, ilmuwan
mentradisikan menulis dalam bidang yang ditekuni dan dikuasai.[13]
B.
Etika Dalam Mengajar.
Ibn Jama’ah dalam hal ini juga menempatkan dua belas poin
tentang etika yang berkaitkan dengan mengajar, diantanya:
Pertama, menjelang
mengajar, ilmuwan membersihkan diri dari hadats
dan kotoran, merapikan diri, serta mengenakan pakain bagus.
Kedua, keluar dari
rumah, seorang ilmuwan hendaknya berdo’a mencari ilmu (thalab al-Ilm),
mengingat Allah SWT, mengucap salam kepada yang hadir, lalu melaksanakan shalat
dua raka’at (khususnya majlis di masjid).
Ketiga, duduk pada
posisi yang bisa dilihat seluruh yang hadir.
Keempat, membaca ayat
al-Qur’an sebelum pelajaran dimulai agar berkah, mendo’akan diri sendiri,
hadirin, dan kaum muslimin.
Kelima, jika
mengajarkan beberapa disiplin ilmu dalam sehari, maka harus mendahulukan yang
lebih mulia dan lebih penting.
Keenam, mengatur
suara agar tidak terlalu lemah hingga sulit didengar hadirin, juga tidak
terlalu kera hingga mengganggu orang di luar majlis.
Ketujuh, menjaga
majlis agar tidak menjadi ajang senda gurau, kebingisan, atau perdebatan yang
tidak jelas yang hanya mengakibatkan kelupaan.
Kedelapan, mengingatkan
orang yang berlebihan dalam debat, atau bingung dalam debat, atau jelek tata
krama, atau tak mau tenang setelah ditemukan kebenaran
Kesembilan, ilmuwan
harus bersikap adil dalam memberikan pelajaran.
Kesepuluh, memberi
penghargaan sewajarnya terhadap orang asing (bukan anggota kelas reguler) yang
datang ketika majlis sedang berlangsung, dengan mempersilahkan dan menerimanya
dengan baik.
Kesebelas, mengakhiri
pelajaran dengan Wallah A’lam seperti halnya mufti mengakhiri jawaban tertulis.
Keduabelas, ilmuwan
harus mengetahui keahlian dan mengajarkan bidang keahlian itu.[14]
C.
Etika Sang Murid ( Adab al-Muta’allim)
Menurut Ibn Jama’ah ada sepuluh etika personal
sang murid, yang merupakan dasar kesiapan menjadi penuntut ilmu yang baik,
diantanya:
Pertama, membersihkan hati dari kotoran, sifat
buruk, aqidah keliru, dan aqidah tercela.
Kedua, meluruskan niat hanya karena Allah SWT,
menghidupkan syariat islam, menyinari hati dan mengasah bathin dalam rangka
mendekatkan diri pada Allah SWT.
Ketiga, menghargai waktu dengan mencurahkan
perhatian untuk urusan menuntut ilmu
pengetahuan.
Keempat, menjaga kesederhanaan pakain dan
makanan.
Kelima, membuat jadwal kegiatan yang ketat dan
jelas manfaatnya.
Keenam, menghindari makan terlalu banyak.
Ketujuh, bersifat wara’ papan, sandang, pangan
semua diperoleh dengan cara yang halal.
Kedelapan, mengurangi konsumsi makanan yang bisa
menyebabkan kebodohan dan lemahnya indera seperti apel asam, kubis atau cuka.
Kesembilan, meminimalkan waktu tidur, tetapi tidak
menggangu kesehatan.
Kesepuluh, membatasi pergaulan hanya dengan orang
yang bisa bermanfaat bagi belajar.[15]
D.
Etika Terhadap Buku
Buku ialah alat ilmiah,. Selain karya Ibn Jama’ah,
etika terhadap buku juga dijumpai dalam karya al-’Almawi, al-Mu’id fi Adab al-Mufid wal-Mustafid, yang dikutib di depan.
Berikut ini kode etik terhadap buku menurut Ibn Jama’ah.
Pertama, murid senantiasa berupaya memperoleh
buku yang dibuuhkan dengan jalan membeli, menyewa, atau meminjam.
Kedua, seseorang
hanya meminjamkan buku kepada orang yang diyakini memanfaatkan buku tanpa
merusak.
Ketiga, waktu
membaca, buku tidak dibiarkan terletak di lantai dan terlempar secara
berlebihan.
Keempat, jika
meminjam buku, seseoarng harus memeriksa saat mengambil dan saat mengembalikan.
Kelima, saat menyalin
buku ilmu agama, seseorang harus suci, bersih badan dan pakaian, menghadap qiblat,
serta memulai naskah dengan membaca basmalah.
Keenam, dalam
menyalin hendaknya dihindari tulisan yang terlalu halus, karena bisa
mengakibatkan kurang jelasnya tulisan.
Ketujuh, jika naskah
buku dibandingkan dengan naskah lain yang benar atau dengan bantuan syaikh,
maka harus diberi tanda harakat dan diakritik. Bagian yang potensial
menimbulkan salah ejaan dan membutuhkan
perbaikan harus diperhatikan khusus.
Kedelapan, jika
ingian membuat penjelasan (takhrij,
terkadang disebut juga al-Lahq)
tentang sesuatu dari matan, ia dapat membuatnya di margin buku.
Kesembilan, boleh
menulis judul bab, nama-nama tokoh, dan pasal-pasal buku dengan tinta merah,
atau tulisan tebal, untuk mempermudah dalam mencari kalimat.
Kesepuluh, dalam
koreksi tambahan atau kekeliruan naskah, cara membuang atau menghapus (al-Darb) lebih baik daripada menggosok
kertas (al-Hakk) hingga tulisan
hilang.
Kesebelas, pemilik
buku boleh membuat hasyiyah, faidah
atau tanbih pada margin buku. [16]
E.
Etika Penghuni Madrasah.
Tradisi menyediakan tempat tinggal bagi murid
di madrasah-madrasah dilatarbelakangi dua fenomena, pertama, formalisasi
pendidikan, dengan tumbuhnya institusi pendidikan; kedua, munculnya kesediaan
menyediakan waqaf sebagai pendanaan kegiatan pendidikan. Dalam hal penyediaan
penghuni madrasah Ibn Jama’ah mempunyai sebelas etika yang harus diterapkan
untuk menjaga keharmonisan penghuni madrasah, diantaranya:
Pertama, murid yang
ingin tinggal di asrama harus memastikan bahwa madrasah dan waqaf berasal dari
harta halal, dan pemberi waqah adalah wara’.
Kedua, mudarris
(dosen) yang mengajar madrasah harus ilmuwan yang mendekati kriteria etika
ilmuwan baik; pakar dibidangnya, religius, cerdas serta berwibawa.
Ketiga, penghuni
madrasah harus berupaya semaksimal mungkin untuk selalu mentaati pelaturan yang
berlaku dan dicantumkan dalam waqfiyyah
madrasah.
Keempat, jika pemberi
waqaf mensyaratkan yang berhak menghuni asrama adalah orang-orang yang dapat
beasiswa saja, maka seorang yang di luar itu tidak berhak tinggal.
Kelima, seseoarng yang
tinggal di madrasah harus benar-benar konsentrasi pada menuntut ilmu.
Keenam, penghuni
asrama harus saling menghormati, memberi salam, saling membantu dan saling
memaafkan.
Ketujuh, sedapat
mungkin penghuni asrama memilih kamar dengan bertetangga dengan yang saleh,
rajin, dan berperilaku baik.
Kedelapan, jika
tinggal dekat dengan masjid atau perkumpulan lain yang menggunakan karpet atau
tikar, harus menjaga kebersiahn dari nkotoran sandal yang jatuh.
Kesembilan, penghuni
asrama dilarang duduk-duduk di pintu, kecuali terpaksa, tidak dikoridor menuju
jalan.
Kesepuluh, tidak
diperbolehkan melihat dari celah pintu kamar orng lain meski lewat di depannya.
Kesebelas, mengupayakan
agar selalu tiba di majlis lebih dulu dari guru. Ulam’ salaf mengatakan:”Salah
satu etika terhadap mudarris adalah bahwa para murid menunggunya, bukan
sebaliknya, guru menunggu murid.”[17]
V. Penutup.
Badr al-Din Muhammad ibn
Ibrahim ibn Sa’d Allah ibn jama’ah ibn Ismail ibn Jama’ah ibn Hazim ibn Sakhr
ibn ’Abd Allah al-Kinani, lahir pada tanggal 4 Rabi’ al-Akhir 639/1241, di
Hamah, Syria. Sebagai orang yang lahir dari keluarga dengan tradisi ilmiah yang
baik. Ia mendapat pendidikan terbaik dari zamannya. Ia dibimbing ayahnya
sendiri, dan sejumlah ilmuwan terkemuka. Ia adalah ilmuwan ensiklopedis,
meskipun perhatiannya terfokus pada ilmu agama. Karya beliau mengenai adab atau
etika Tazkirah al-Sami’ wa al-Mutakallim
fi adab al-Alim wa al-Muta’allim, di tulis di awal karir madrasah dan satu-sunya karya tentang
pendidikan. Ia memperoleh pendidikan terbaik. Ia diberkahi latas belakang yang
kondusif. Maka, ia tumbuh menjadi intelektual muda lengkap bekal sukses meniti
karir. Singkatnya, karir Ibn Jama’ah bisa digambarkan perpaduan antara mengajar
dan qadi yang dijalani dalam satu
iklim sosio politik yang sangat dinamis.
Dan konsep ilmu yang dipaparkan
Ibn Jama’ah dalam kitab Tazkirat al-Sami’
wal-Mutakallim, sangat begitu runtut dan luasnya pembahasan, dimana lewat
ilmu beliau yang agung ini, kita harap bisa mengambil setetes hikmah dibalik
kehebatan ilmu beliau, mulai dari konsep ilmu, hakekat ilmu, keagungan dan
kemulyaan ilmu, manfaat bagi yang mempelajari dan mengajarkan ilmu, etika
ilmuwan, etika yang pencari ilmu, etika mengajar, etika mudarris, etika
terhadap guru dan murid, etika terhadap buku, etika penghuni asrama, serta
hikmah lain dalam buku ini yang tidak bisa saya sebut secara mendetail. Sebagaimana
konsep ilmu yang di paparkan K.H. Muhammad Hasyim Asy’ari dalam kitab ’Adab al-Alim wal-Muta’allim fima yahtaj
ilaihi al-Mutaallim fi-Maqamat Ta’limihi, yang sangat bagus dan lengkap
serta layak buat rujukan pencari ilmu dan penikmat hikmah.
Semoga makalah yang singkat
ini tertulis karena limpahan nur
(cahaya) dari Allah lewat ulama’ agung Ibn Jama’ah, menjadikan penulis dan
pembaca mendapat keberkahan dan kemanfaatan luar biasa dalam mencari ilmu, serta
semoga Allah meridlainya......
Daftar Pustaka
-Asari, Hasan, Etika Akademis
Dalam Islam: Studi tentang Kitb Tazkirat al-Sami’ wa al-Mutakallim Karya Ibn
Jama’ah, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008.
-Asy’ari, K.H. Muhammad Hasyim,
‘Adab al-‘Alim wal-Mutakallim fima Yahtaj ilaihi fi Maqamat Ta’limihi, Jombang:
Maktabah al-Turas al-Islami, 1415H.
-Ibn Jama’ah, Badr al-Din,
Tazkirah al-Sami’ wal-Mutakallim fi ‘Adab al-‘Alim wal-Muta’allim; diedit
oleh Muhammad Mahdi al-‘Ajmi, Beirut:
Dar al-Basyar al-Islami, 2008.
---------------, Tazkirat al-Sami’ wa al-Mutakallim fi ‘Adabi al-‘Alim
wal-Muta’allim; diedit oleh Muhammad
Hasyim al-Nadawi, Hyderabat: Da’irah al-Ma’arif al-Usmaniyyah,1354H.
---------------, Tazkirat
al-Sami’ wa al-Mutakallim fi ‘Adab al-‘Alim wal-Muta’allim; diedit oleh,
‘Abd Amir Syams al-Din, Beirut:
Dar Iqra’, 1986.
-Khalaf, ‘Abd al-Jawwad, al-Qadi
Badr al-Din Ibn Jama’ah: Hayatuhu wa Asaruhu, Karachi: Jami’ah al-Dirasat al-Islamiyyah,
1988.
-Syama al-Din, ‘Abd
al-Amir, al-Fikr al-Tarbawi ‘ind Ibn Sahnun wal-Qabisi,
Beirut: Dar al-Kitab al-Alim, 1990.
-Tim Penyusun Pedoman
Disertasi PPs UIKA, Pedoman Penulisan
Disertasi, Bogor: Program Pascasarjana UIKA Bogar, 2009,
.
[1] Hasan Asari, Etika Akademis Dalam Islam, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008, hlm. 111
[2] ‘Abd al-Jawwad Khalaf, al-Qadi Badr al-Din Ibn Jama’ah Hayatuhu wa
Asaruhu, Karachi: Jami’ah al-Dirasah al-Islamiyah, 1988, hlm. 7
[3] Ibn Jama’ah, Tazkirat al-Sami’ wal-Mutakallim, Beirut: Dar al-Basyar al-Islami,
hlm. 3.
[4] Hasan Asari, Etika Aakademis, hlm. 26.
[5] Ibid., hlm. 27.
[6] Abd al-Jawwad Khalaf, Hayatuhu wa Asaruhu, hlm. 47.
[7] Abd al-Jawwad Khalaf, Hayatuhu wa Asaruhu, hlm. 62.
[8] Haji
Khalifah, Kasyf al-Zunun ‘an Asami
al-Kutub wal-Funun, Istanbul:
Wakalah al-Ma’arif, 1941-1943, hlm.720.
[9] Abd
al-Jawwad Khalaf, Hayatuhu wa Asaruhu,
hlm. 68- 75.
[10]
Muhammad Hayim Asy’ari. Adab al-‘Alim wal-Mutakallim fima Yahtaj
ilaihi fi Maqamat Ta’limihi, Jombang: Maktabah al-Turas al-Islami, hlm. 2.
[11] Hasan
Asari, Etika, hlm. 41.
[12] Ibid.,
hlm.42.
[13] Ibn
Jama’ah, Tahqiq Muhammad Ibn Mahdi al-‘Ajmi, Tazkirat al-Sami’ wal-Mutakallim,Beirut:
Dar al-Basyar al-Islami, hlm.44-55.
[14] Hasan
Asari, Etika, hlm. 51
[15] Ibn
Jama’ah, Tazkirat, hlm.80-88.
[16] Ibn
Jama’ah, Tazkirat, hlm 116-124.
[17] Ibn
Jama’ah, Tazkirat, hlm. 125-133.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar