Selasa, 14 Januari 2014

CERPEN - DR. MUTHOIFIN



Awang Menerawang Awan
CERPEN - DR. MUTHOIFIN

            Awan tipis menghiasi birunya langit nusantara, ketika itu mentari pagi sudah mulai merangkakkan kakinya untuk mendaki lebih tinggi, gembalaan kerbau dan sapi berjalan rapi melintasi ranumnya rumput pagi, dihibur deringan kereta api yang meyapa ditengah hamparan sawah dan ladang, anak mentari pagi itu sedang asyik-asyiknya duduk manis ditepi sungai kecil, bergemercikan  air jernih, sesekali memandang ke atas sambil menerawang awan.
Ya, ia adalah Awang, Awang sang penerawang awan. Ketika itu usianya baru beranjak belasan tahun, seorang yang mempunyai opsesi tinggi, cita-cita yang sangat menggelora, keinginan yang sangat membumbung tinggi ke angkasa raya. Meskipun ia tahu, bahwa jalan yang harus ditempuhnya tidak mudah, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Jalan yang ditempuhnya penuh dengan perjuangan dan pergulatan alam.
Sementara ia hanya seorang anak nelayan yang tiap harinya harus bergulat dengat lautan dan ombak. Keseharianya ia jalani dengan mencari ikan dilautan lepas, berangkat sore hari pulang pagi hari. Hal ini ia lakukan untuk membantu meringankan beban orang tuanya, karena orang tuanya termasuk dalam kategori kelompok masyarakat menengah ke bawah.
Pekerjaan ini ia lakukan hampir tiga tahunan, setiap kali ia melaut, ia sering merenung, merenung dalam kegelapan malam yang bertabur bintang, diiringi angin yang berhembus sepoi-sepoi dari arah barat daya. Ia selalu merenungi tentang nasib dan masa depannya kelak, apakah ia tetap akan menjadi seorang pelaut seperti ayah dan leluhurnya hingga usia senja kelak?, ataukah harus bangkit mencari penghidupan yang lebih menjanjikan.
Perasan gundah, gelisah, sedih, bahkan minder selalu membayanginya, karena dalam benaknya yang paling dalam, ia seakan-akan pasrah kalau memang sudah ditakdirkan oleh sang Khaliq jadi seorang pelaut, dimana dalam keyakinan Awang, kebayakan anak dari para nelayan yang selalu bergelut dengan laut biasanya tidak mempunyai kiprah dan prestasi yang sangat prestisius dan menjulang tinggi. Bahkan sulit sekali membahagiakan dan mengharumkan nama orang tuanya.
Bertahun-tahun ia selalu merenung, merenung, dan selalu merenung untuk mencari terobosan supaya ia bisa bangkit dari rasa pesimisnya itu.
Suatu hari, Awang memberanikan diri minta izin kepada orang tuanya, agar diperbolehkan untuk tidak melaut, tapi orang tuanya mengatakan: “Nak, kalau kamu tidak melaut, lantas mau kerja apa?. Awang terdiam, merenung, dan dengan berat ia ucapkan: “Awang pingen sekolah ayah, Awang pingen kuliah ayah, biar nantinya Awang menjadi orang yang sukses, dan kelak bisa membantu meringankan beban ayah dan keluarga. Uang dari mana kamu kuliah Awang? “jawab ayah Awang”. InsyaAllah Awang bisa cari uang sendiri buat kuliah ayah. “Jawab Awang dengan meyakinkan ayahnya”.
Ayah Awang, tergugah dengan tekat dan kemauan Awang yang begitu menggelora untuk bisa kuliah. Suatu hari, Awang diberi kesempatan ayahnya untuk mendaftarkan diri di salah satu Perguruan Tinggi Swasta di salah satu daerah pesisir di daerah Jepara.
Setelah ia diterima dan jadi mahasiswa, eh apa mau dikata?!, perkuliahan yang baru saja berjalan tiga bulanan, ia harus merelakan keluar jadi mahasiswa, lantaran biaya untuk segala kebutuhan kuliah tidak mencukupi. Genap sudah, tiga bulan ia harus merelakan keluar dari perkuliahan yang sejak lama ini ia idam-idamkan. Namun semangat Awang untuk belajar dan belajar tetap seperti semula, tidak pernah surut meskipun banyak berbagai kendala dan persoalan yang membelitnya.
Suatu hari yang penuh dengan terik mentari, Awang mulai melangkah, mencari informasi tentang lembaga yang mau memberikan beasiswa penuh terhadap orang-orang yang punya semangat tinggi, akan tetapi terbatas dalam masalah finansial. Awang mulai melangkah, menayakan kepada Kepala Sekolah waktu ia sekolah dulu tentang hal beasiswa, ternyata sang kepala sekolah itu memberi jawaban, “ya, saya pernah mendengar bahwa di Kecamatan sebelah ada lembaga yang menyalurkan generasi muda yang militan terhadap pendidikan untuk di kuliahkan dengan Cuma-Cuma (beasiswa).”
Tanpa berfikir panjang, Awang langsung berangkat menuju lembaga yang dimaksud, akhirnya Awang mendaftarkan diri dan diterima. Setelah ditraining beberapa bulan, ternyata awang termasuk pemuda yang cerdas dan punya kemauan yang kuat. Lantas pihak lembaga swasta itu menawarkan Awang untuk masuk di salah satu perguruan tinggi swasta di kota bengawan “Solo”.
Awang bingung, karena ia belum pernah sama sekali menginjakkan kakinya di kota bengawan itu, apalagi ia hanya bermodalkan pas-pasan, ia dengan tekat “Bismillah... nanti ada jalan.” Awang dan temannya hanya bermodalkan uang 40 ribu memberanikan diri untuk mendaftar diri di Universitas swasta di Solo yang di tuju. Alhamdulillah, Awang diterima program D2 dengan beasiswa penuh.
Perkuliaan selama dua tahun ia jalani dengan penuh perjuangan, karena meskipun beasiswa, ia tetap harus mencari uang untuk biaya makan sehari-hari dan biaya operasinal lainnya. Bahkan hampir tiap hari Awang hidup dalam keperihatinan dan kesederhanaan, karena uang saku yang diberikan oleh orang tua Awang, sangat terbatas dan sedikit sekali, Awang memaklumi hal itu, karena ayahnya hanya seorang nelayan yang penghasilannya tidak menentu.
Apalagi pas musim penghujan, sudah dipastikan aktifitas melaut pasti terhenti karena ombak dan kencangnya angin, hal itu, sudah bisa dimaklumi Awang. Bahkan pernah suatu hari, Awang ingin pulang kampung, karena kala itu pas waktu liburan sekolah, Awang dengan terpaksa pulang dengan cara naik truk, karena Awang tidak punya biaya untuk transport pulang naik bus.
Setelah dua tahun berjalan, Awang lulus program D2, akan tetapi dalam hatinya, Awang harus bisa sekolah lagi, agar tercapai apa yang ia inginkan. Awang lantas mendaftarkan diri ke jenjang D3 dengan program beasiswa, alhamdulillah, ia diterima juga di D3 pada kampus yang sama.
Perjalan hidup diperkulihan pada tahun ke-3 hampir sama nasibnya pada perkuliahan waktu di D2,  yaitu dengan kesederhanaan dan keperihatinan, namun ia jalani dengan optimisme tinggi. Awang yakin seyakin-yakinnya bahwa, siapa yang berjalan di atas jalannya maka ia akan sampai”. Sepenggal kalimat yang sangat sederhana ini, sungguh, mengajari Awang akan pentinggnya sebuah jalan yang harus ditempuh, demi sebuah pencapaian sejati, yaitu pencapaian yang mendapati ridha hakiki, baik yang ada di langit maupun di bumi.
Setelah tiga tahun pengembaraannya, awang lulus dari program D3. Lantas ia pulang dengan memberikan kabar gembira ini kepada ayah, ibu, dan semua keluarga Awang. Ayah dan ibunya senang mendengar kabar gembira ini. Awang lantas, menyampaikan keinginannya kepada orang tuanya, bahwa perjalan suci belum berakhir, karena Awang ingin menjadi seorang sarjana, Awang harus melanjutkan kuliah lagi.
Ayahnya hanya bisa terdiam, dan cuma bisa berdoa “semoga engkau dimudahkan Allah nak.....???!!!”. tidak lama dikampung, Awang melanjutkan perjalanannya lagi. Ia mencopa mendaftar ke Universitas di Solo, kali ini ia diterima, akan tetapi harus dengan biaya full 100%, sebagaimana mahasiswa reguler lainya. Ia bingung harus bayar pakai apa?, sementara selama ini ia biasa kuliah dengan beasiswa penuh dari lembaga yang menerimanya kuliah di D2 dan D3. Akan tetapi niat kuat kuliah Awang tidak bisa terbendung, hanya karena gara-gara biaya.
Ia mencoba mulai mendaftar dan diterima mahasiswa S1. hari demi hari ia lalui, suka duka ia jalani, akhirnya ia coba mencari pekerjaan untuk membantu meringankan beban hidup dan biaya kuliah yang butuh dana sangat besar. Di pertengan jalan, Awang terkendala biaya, karena pekerjaan dan kiriman dari orang tua tidak mencukupi untuk biaya kuliah. Awang sempat beberapa kali menunggak uang SPP. Bahkan ia harus rela melapor ke bagian keuangan mintak “dispensasi” penguluran pembayaran karena ketiadaan uang untuk bayar SPP, Akan tetapi Awang berjanji akan melunasi semua biaya SPP kalau dikemudian hari ia mendapatkan rezeki yang kukup untuk membayar SPP.
Suatu hari ia membaca informasi di Mading, yang isinya pihak kampus bekerjasama dengan PT.Djarum akan memberi beasiswa bagi mahasiswa yang prestasti dan mempunyai nilai akademik tinggi. Awang mencoba mendaftarkan diri ikut kompetisi Beswan Djarum Bakti Pendidikan. Setelah diseleksi di salah satu hotel besar di Solo, ternyata yang mendaftar dan peminat beasiswa tersebut lebih dari 300 peserta, sementara pihak Djarum hanya menyiapkan beasiswa hanya untuk 21 mahasiswa se-Solo Raya. Hati Awang, berdebar kencang, karena banyaknya saingan yang memperebutkan beasiswa yang cukup bergengsi dan menjadi favorit di mata mahasiswa.
Dengan tekat yang kekuat “setiap kesulitan pasti ada jalan”. “siapa yang sungguh-sungguh pasti ada jalan”.
Alhamdulillah... setelah sebulan berlalu, info penerima beasiswa Djarum Bakti Pendidikan di umumkan. Nah, ternyata nama Awang masuk dalam daftar penerima beasiswa tersebut. Betapa senangnya hati Awang, karena beasiswa itu sangat ia harapkan, demi untuk melunasi hutang-hutang SPP yang sempat nunggak beberapa semester. Syukur tak terkira, Awang luapkan kabar gembira ini ke orang tua Awang.
Setelelah mendapatkan beasiswa tersebut, studi Awang lancar sampai tugas akhir. Tiba saatnya prosesi akhir dari perkuliahan untuk mendapatkan gelar sarjana, yaitu yang ditunggu-tunggu “wisuda”. Ternyata Awang masih punya tagihan yang harus dibayar sebelum mengikuti proses wisuda, sementara uang beasiswa sudah habis buat bayar tunggakan-tunggakan SPP tahun yang lalu. Awang terpaksa mencari dana pinjaman untuk membayar biaya tagihan yang belum lunas dan biaya wisuda. Setelah mendapatkan uang pinjaman, dan segera dibayarkan ke biro keuangan kampus.
Akhirnya Awang resmi mendapatkan surat bebas dari semua biaya administrasi perkuliahan. Awang gak sabar, langsung menuju loket pengambilan undangan wisuda dan orang tua wisudawan. Setelah Awang menayakan ke panitia wisuda, ternyata nama Awang tidak ada dalam tumpukan lembar undangan wisuda. Betapa kagetnya Awang, kalau benar-benar undangan wisuda itu tidak ada nama Awang, dengan perasaan cemas, sambil berharap-harap ditemukan nama Awang, ternyata undangan wisuda atas nama Awang masuk dalam kategori VVIP, alias undangan bagi mahasiswa yang menjadi wisudawan terbaik ditingkat fakultas masing-masing.
Betapa senangnya Awang, masuk dalam kategori wisudawan terbaik, dimana bagi wisudawan terbaik maka kedua orang tuanya akan ditempatkan di kursi yang paling depan atau VVIP. Dan ternyata benar, pada prosesi wisuda nama Awang menjadi wisudawan terbaik di fakultasnya, serta berhak mendapatkan piagam penghargaan dari Rektor.
Setelah lulus dari sarjana, Awang langsung mencari pekerjaan untuk meringankan beban keluarga. Dengan semangat dan pengalamannya waktu menempuh studi, ia diterima sebagai pengajar pada lembaga sosial kemasyarakatan (LSM) disebuah desa terpencil, ujung Jawa paling timur yang berbatasan dengan pulau Bali, tepatnya di daerah Banyuwangi. Setelah beberapa bulan bekerja, ia ingat akan niatannya ingin menjadi seorang Dosen.
Ia sadar bahwa untuk menjadi Dosen yang handal, bermodalkan sarjana tidaklah cukup, ia harus berjuang lagi untuk meraihnya. Genap satu tahun mengabdi pada masyarakat, disela-sela aktivitasnya itu, ia sempatkan melanjutkan kuliah ke jenjang yang lebih tinggi. Meskipun ia sadar, bahwa semuanya itu harus ditempuh dengan biaya yang sangat besar, sedangkan honor dari LSM tempat ia mengabdi tergolong pas-pasan buat nabung dan kebutuhan harian.
Tapi apa mau dikata, kalau tekat sudah membara, apapun bisa ditempuh. Ia lantas mendaftarkan diri pada program Pascasarjana di salah satu Universitas di Surabaya, Awang diterima pada kelas reguler dan harus membayar penuh seperti mahasiswa pasca lainnya.
Setelah beberapa bulan Awang kuliah, ia mulai merasakan beban berat yang harus ditanggungnya, karena tidak tanggung-tanggung ia harus menyiapkan dana puluhan juta untuk memenuhi pembayaran SPP Pasca, sementara Awang hanya bermodalkan nekat dan tekat. Tekat yang sudah bulat, pantang bagi Awang untuk mundur, dengan kegigihan dan pengalaman Awang ketika masih kuliah S1, ia terapkan di perkulian Pasca ini, Awang mulai memuta otak untuk mendapatkan stimulus “dana” untuk memenuhi kuliahnya.
Awang mencoba melangkan ke Pemda di mana ia bertugas, karena ia yakin bahwa Pemda itu ada dana beasiswa untuk membantu putra daerah yang sedang menempuh studi. Awang lantas memberanikan diri masuk ke kantor Pemda, dan menanyakan hal itu. Ternyata memang benar, di Pemda tersedia beasiswa bagi mahasiswa prestasi dan beasiswa mahasiswa miskin. Awang minta syarat-syarat tentang pengajuan beasiswa, termasuk di dalammnya disyaratkan untuk beasiswa mahasiswa prestasi, nilai IPK min 3.50.
Setelah dirasa cukup, Awang lantas mengecek berkas-berkas yang ia punya selama kuliah di S2, ternyata setelah di cek dan ditanyakan ke pihak Pasca, nilai IPK Awang lebih dari 3.50, betapa semangatnya Awang mendapatkan informasi ini. Awang lantas membuat proposal pengajuan beasiswa mahasiswa prestasi untuk memenuhi kebutuhan SPP yang cukup besar. Dengan penuh harapan disertai do’a, akhirnya enam bulan berlalu, Awang mendapatkan telepon bahwa permohonan beasiswanya diterima dan disetujui oleh Bupati.
Betapa bahagianya Awang, karena perjuangannya untuk menyelesaikan studi tingkat Master kian ada tanda-tanda terang dari sisi pembiayaan. Meskipun beasiswa ini tidak bisa menutupi semuanya, akan tetapi bantuan ini sangat berarti bagi Awang yang sejak awal mempunyai opsesi tinggi demi sebuah mimpi. Dua tahun lamanya ia selesaikan studi Master ini, dengan rasa optimis dan bahagia ia menerima gelar Master tatkala prosesi wisuda di Universitas swasta di Surabaya.
Hari demi hari berganti, mentari berganti senja, senja berganti malam, malam berganti subuh, subuh berganti lagi ke mentari pagi, begitu juga seterusnya. Awang lalui hari demi hari dengan optimis, dan banyak membantu persoalan masyarakat luas, Awang berusaha untuk selalu memudahkan orang, agar kelak nantinya ada orang yang memudahkan kesulita Awang. Awang selalu yakin, bahwa “Setiap kesulitan pasti ada kemudahan”. “Siapa yang mau memudahkan urusan sesorang, pasti Allah akan ganti memudahkan urusan-urusan hambanya.”
Belum genap setahun dari pencapaian prestasi Master, kini Awang menatap perjuangan lagi ke puncak yang tertinggi. Ia ingin merasakan atmosfer sengitnya perjuangan menempuh kuliah dijenjang tingkat Dokotoral. Awang tak hentinya mencari-cari informasi tentang kuliah S3, ternyata yang ia dapatkan bahwa untuk menempuh kuliah S3 harus dibutuhkan biaya yang ekstra besar dan kecerdasan yang mumpuni, karena kalau hal itu tidak tercukupi, mustahil niatan suci itu akan terwujud. Awang dengan penuh kerendahan menatap ke langit biru yang kian gelap, karena telah tertutup kegelapan malam yang sedang menyelimutinya, dikeheningan malam Awang selalu berdo’a akan diberi petunjuk agar bisa menemukan solusi dan jawaban akan keinginannya itu.
Malam demi malam, bulan demi bulan, akhirnya pada tahun yang sama, Awang mendapatkan bisikan, bahwa salah satu lembaga sosial/ nir-laba di Jakarta menawarkan beasiswa tingkat Doktoral bagi putra-putri Bangsa yang berprestasi dan mempunyai militansi tinggi untuk sebuah pengabdian dan pendidikan. Akhirnya Awang tidak menyia-nyiakan kesempatan berharga ini, Awang lantas menyusun strategi agar apa yang ia harapkan tercapai, ia mempelajari semua persyaratan yang dikehendaki pihak pemberi beasiswa.
Setelah dirasa cukup, Awang melayangkan permohonannya ke lembaga pemberi biasiswa di Jakarta, setelah beberapa bulan, proses seleksi berlangsung, Awang hanya bisa mengandalkan kekuatan dari langit “Allah”, karena hanya kekuatan dari langitlah yang bisa menentukan dari hal yang mustahil menjadi suatu yang sangat mungkin. Hal yang sulit menjadi mudah dengan lantaran kehendak-Nya. Awang sadar, bahwa untuk mendapatkannya tidaklah mudah, perlu perjuangan, pengorbanan, kesederhanan, dan yang paling penting perlu keperihatinan.
Untuk itu Awang hanya mengharapkan do’a dan dukungan dari orang tua Awang, karena Awang yakin do’a dan ridha orang tua adalah doa yang mustajab, dan ridha Allah akan menyertai ridha orang tua Awang. Bermodalkan kedua kekuatan tersebut “doa dan ridha”, akhirnya Awang benar-benar mendapatkan kado istimewa, Awang benar-benar diterima sebagai salah satu mahasiswa penerima beasiswa Doktoral atau S3 di salah satu perguruan tinggi di Bogor. Betapa senang dan terkejutnya Awang, karena ini adalah puncak dari segala puncak akademisi, karena jenjang setelah Doktoral sudah tidak ada lagi.
Dibalik kesenangan itu, Awang juga berfikir akan hantaman badai yang lebih dahsyat menimpanya, karena Awang yakin, semakin tinggi pohon menjulang ke langit, maka semakin tinggi pula tiupan angin yang akan menghantamnya. Awang mulai ragu, antara mengambil kesempatan kuliah atau tetap fokus bekerja di desa pengabdian..?, kalau mengambil kesempatan belajar lebih tinggi, tentu konsekwensinya ia harus pindah ke Bogor, otomatis ia harus merelakan meninggalkan pekerjaannya yang sudah mulai mapan “dalam benaknya ia bertanya-tanya sendiri”. Yah, sudah dari pada pusing, mending mengadu ke yang Maha Tau... “dijawab Awang sendiri”.
Akhirnya, Awang dapat petunjuk dari langit, dan ternyata Awang harus memutuskan untuk terus belajar dan belajar demi sebuah mimpi suci yang harus dijalani. Ia teguhkan niatnya untuk mengambil keputusan kuliah Doktoral.
Sebulan berikutnya, Awang berpamitan kepada masyarakat setempat, dan menyampaikan maksudnya terpaksa harus berpisah, untuk melanjutkan studinya di Bogor. Dari Banyuwangi ia menuju ke tempat kelahirannya “Demak” untuk memohon restu kedua orang tuanya yang sangat diharapkan do’a dan dukungannya. Setelah mendapatkan restu dan dan keridhaan, Awang melanjutkan perjalanan ke Jakarta untuk mengurus administrasi beasiswanya. Ia mulai mengontrak perumahan buat satu bulan, agar semua bisa berjalan lancar dan sesuai rencana. Setelah administrasi beres, ia langsung menuju Bogor untuk mencari kontraan rumah yang dekat dengan kampus yang akan menjadi tempat berlabuhnya untuk menempa kreatifitas keilmuawannya. Akhirnya Awang mendapatkan kontraan yang lumayan dekat, kurang lebih jaraknya sekitar dua kilometer.
Hari demi hari ia lalui, studi di kelas Doktoral ia jalankan sebagaimana kala ia mulai kuliah di D2 atau di S1. Semula tidak ada masalah. Akan tetapi setelah menginjak bulan ke dua, ia mulai merasakan beratnya beban hidup, karena persediaan uang yang ia bawa dari kampung mulai menipis, ia mulai berfikir, bagaimana supaya bisa bertahan hidup di kota besar, sementara dana mulai mau habis, dan pihak pemberi beasiswa tidak menyediakan living cost, karena beasiswa hanya untuk biaya yang berhubungan langsung dengan universitas dan perkuliahan.
Awang mulai panik, ia harus mencari solusi untuk mengatasi problem keuangannya, ia mulai mencari pekerjaan, menawarkan jasa yang berhubungan dengan pengajaran, tapi apa mau dikata, semuanya itu tidak mudah, tidak seperti membalikkan telapak tangan. Uang mulai habis, Awang mulai galau, setiap kali mau kuliah Awang sempat bingung, ternyata susah juga menjadi pencari ilmu, apalagi harus meninggalkan pekerjaan. Sampai ia kecapaian, karena selalu berjalan kaki dari kontraan ke kampus yang berjarak hampir 2 KM, untuk mencari uang buat sesuap nasi. Awang mulai memberanikan diri meminjam uang teman-temen kuliahnya, sesekali ia minta uang kepadanya. Hal ini tidak boleh terus-terusan “dalam hati Awang”, Awang harus bangkit!!!!!
Bangkit mencari fulus demi kelancaran studi, demi untuk makan dan membayar sewa kontraan. Apa boleh dikata, ternyata hal itu belum didapatkan Awang, Awang sadar, bahwa setiap orang yang akan mendapatkan derajat, pasti akan diuji dulu, apakah ia mampu menjalankan dan melaluinya atau tidak?. Setelah mentok, tidak mendapatkan jalan keluar, akhirnya Awang mengadu permasalannya kepada Dosen yang kala itu sebagai panitia rekruitmen beasiswa S3. Sang dosen memberi solusi untuk pindah dari Bogor ke Depok. Sang dosen menjanjikan akan memberikan tempat kontraan yang tidak usah menyewa, karena biaya sewa sudah ditanggung sang dosen. Begitu juga dijanjikan akan dipekerjakan sebagai koordinator di sebuah kantor di Jakarta Pusat dengan gaji 500 ribu/ bulan. “Karena biaya sewa kontraan sudah tidak bayar”. Setelah disanggupi, Awang pindah, meluncur dari Bogor ke Depok. Bulan pertama, keseharian Awang dilalui dengan nafas lega, begitu juga pada bulan-bulan berikutnya.
Setelah pada bulan ke-5 tinggal di Depok, badai mulai muncul. Gaji yang semua lancar, kini mulai macet, bahkan kadang dalam satu bulan tidak menerima gaji sama sekali. Padahal perut harus terisi agar aktifitas tetap vit, perjalanan kuliah harus ditempuh untuk mengikuti jalannya perkuliahan.
Sungguh luar biasa, hidup di kota besar tidak jelas keuangan dan penggajian, bahkan Awang sempat makan sehari semalam hanya berlaukkan garam dan masako, karena tidak ada uang buat beli lauk. Awang sempat curhat ke teman-teman, dan ternyata ada temen yang iba, ada yang ngasih uang jajan 150 ribu, ada 200 ribu buat hidup di kota besar.
Bulan ke-6 sampai bulan ke-12 Awang berjuang melawan ketidak pastian hidup, kekurangan finansial, tidak jelasnya gaji, sampai-sampai Awang harus mencari makan dari hasil buka bersama dirumah orang yang menyelenggarakan buka bersama gratis. Awang sadar akan cobaab berat yang ia hadapi, sebagai resiko perjuangannya ia menempuh studi kelas berat. Awang mulai merenung dan merenung, mengadu sama Allah akan nasib yang di alaminya. Awang lantas, memberanikan diri untuk minta dipindah dari Depok, dengan harapan agar ada secercah asa untuk memperbaiki kondisi diri dan ekonomi. Sang dosen menyetujui. Awang lantas dipindah tugaskan dari Depok ke Bandung dengan bermodalkan 200 ribu rupiah. Dengan catatan nanti di Bandung, tinggal di pesantren, tidak usah ngontrak rumah dan makan sudah ditanggung yayasan, syukur pihak pemberi beasiswa nanti mau mengucurkan dana buat Awang.
Tiba di Bandung, pikiran Awang lebih rileks karena sudah ganti suasana baru dan mulai menatap masa depan yang lebih baru. Bulan pertama, Awang tidak merasa kekurangan yang berarti, karena sudah terbiasa perihatin dan kekurangan sebagaimana kala di Depok, akan tetapi setelah bulan kedua, ternyata hal itu berulang lagi, tunjangan tidak ada, gaji tidak cair, alias “nol rupiah”. Masya’Allah, hidup di Bandung, yang semuanya butuh uang, eh, kini tiada gaji sama sekali, “dalam batin Awang”. Padahal Awang harus menempuh perjalanan jauh untuk kuliah dari Bandung ke Bogor lewat tol Cipularang, dan ini membutuhkan biaya besar. Awang mulai strees!!!????, tidak masuk akal. Awang lantas memberanikan diri minta uang 100 ribu ke pengurus yayasan di Bandung buat uang transport ke Bogor.
Setelah di Bogor, perkuliahan berlangsung dengan lancar. Tapi apa mau dikata, Awang bingung lagi, karena harus mencari uang buat pulang ke Bandung. Dengan perasaan malu dan nekat, Awang minta uang 100 ribu lagi ke temen seperjuangan di kampus. Hal ini Awang jalankan kurang lebih selama tiga bulan, hidup dalam keperihatinan.
Setelah tiga bulan berlalu, cobaan yang lebih dahsyat dari itu semua datang. Siang hari Awang ditelepon saudara di kampung, bahwa Ayah Awang sakit dan harus dibawa ke rumah sakit, hati Awang bingung, harus berbuat apa, tidak bisa membantu, tidak bisa menjenguk, tidak bisa apa-apa. Awang hanya bisa berdo’a semoga Ayah lekas sembuh dan pulang dengan selamat.
Malam harinya, Awang bagaikan disambar petir!!!!!!... Ternyata, Ayah Awang yang baru sehari masuk rumah sakit, telah meninggal dunia. Betapa hancur, dan sedihnya Awang kala itu, ia bingung harus bagaimana, mau pulang uang tidak ada, sementara Ayah tercinta Awang yang selalu mendoakan kini telah pulang ke haribaan Ilahi untuk selamanya. Malam hari Awang mau minta uang ke ketua yayasan untuk biaya naik pesawat, Awang tidak berani, sungkan, takut mengganggu. Akhirnya Awang dengan terpaksa naik kereta klass ekonomi dari Bandung menuju Solo, dengan harapan yang penting bisa pulang.
Butuh waktu dua malam satu hari untuk sampai ke kampung, karena jauhnya perjalanan. Tentunya hal ini Awang harus merelakan kepergian ayahnya ke peristirahatan terakhir tanpa bisa melihat jasad ayah di detik-detik terakhir sebelum dimakamkan. Awang menangis tiada henti dalam gerbong kereta yang berjalan lirih menyusuri sawah dan ladang. Awang hanya bisa mendoakan semoga Ayah diterima di sisi Allah dan diampuni semua dosa-dosanya.
Setelah empat bulan berjalan, mengabdi di Bandung, Awang memutuskan untuk pulang kampung, karena, ternyata sebelum meninggal ayah Awang pernah menasihati, “agar bekerja dan mengajar tidak jauh dari kampung kelahiran” (kenang Awang ketika dinasihati ayahnya).
Awang memutuskan pulang kampung, dan menemui teman-teman ketika dulu Awang pernah kuliah dari D2 hingga S1 di Solo. Awang sadar, bahwa kepindahan dia dari Bandung ke Solo merupakan keputusan yang sangat berani dan nekat, karena ia harus menempuh perjalanan lebih jauh lagi untuk menyelesaikan studi S3-nya di Bogor, dan ini memerlukan biaya yang ekstra besar.
Dengan tawakkal, Awang serahkan semunya pada Allah yang Maha mengatur rencana. Awang mulai membangun relasi di Solo, mencari pekerjaan, akhirnya Awang mulai menemukan secercah harapan, ia mulai diterima sebagai guru di sebuah yayasan swasta di Solo. Sebulan kemudian Awang diterima di kampus swasta untuk menjadi dosen.
Dua bulan berikutnya Awang mulai kebanjiran tawaran “job” kerja, ia mulai diterima lagi sebagai dosen di Akademi swasta di Solo. Alhamdulillah, hari-hari Awang di Solo dipenuhi dengan kerja dan kerja. Disela-sela libur ngajar dan dosen, Awang sempatkan ke Bogor untuk menyelesaikan studi yang sudah menjadi kontraknya. Karena sebuah amanah harus dijalankan, apapun resiko dan pahit getirnya.
Bulan demi bulan dilalui Awang, dengan bekerja, mengabdi, dan belajar. Akhirnya setelah satu setengah tahun Awan dinyatakan lulus dalam prosesi sidang promosi Doktoral, atau biasa disebut dengan istilah sidang terbuka dan pengukuhan gelar Doktor. Kini Awang mulai bahagia, setelah mendapatkan gelar Doktor dari Bogor yang diperolehnya dengan penuh duka cita dan perjuangan demi sebuah mimpi yang sudah menghujam dihati. Awang kini tercatat sebagi seorang dosen tetap di salah satu kampus swasta di Solo, dengan menyandang gelar Doktor, meskipun Awang awalnya hanyalah seorang anak nelayan yang serba dalam keterbatasan.
Tapi semangat Awang untuk maju dan maju tetap membara sampai titik darah penghabisan. Awang yakin, “Setiap kesulitan pasti ada kemudahan”, “Siapa yang sungguh-sungguh pasti akan mendapatkannya”, dan “Siapa yang berjalan di atas jalannya pasti akan sampai.” Semoga muncul lagi, Awang-awang lain, yang tidak lelah dalam menatap masa depan. Masa depan yang lebih menjanjikan dan mencerahkan. Karena Awang tak lelah menerawang awan.
-***********-

Watuireng, 14 Januari 2014 M
12 Rabiul Awwal 1435 H

    

Senin, 13 Januari 2014

Kisi-kisi UAS Gasal ADI Surakarta (Pemikiran Islam)

Berikut kisi-kisi yang harus dipelajari:

1. Memahami makna jihad dari segi bahasa dan istilah?
2. Perbedaan Jihad dan Teroris?
3. Pandangan Islam tentang Teroris?

4. Filsafat dari segi bahasa dan istilah?
5. Filasafat dalam pandangan Islam
6. Perbedaan Tasawuf (Sufi) dan Tarekat (Thoriqoh)?
7. Makna poligami dan dalil?
8. Pandangan Islam terhadap Poligami?
9. Hukum Wadh'iy ada 2 (shahih dan fasad) contohnya?
10. Hukum Taklifi ada 5 (Wajib, Sunnah, Haram, Makruf, Ibahah) contohnya?