Awang Menerawang Awan
CERPEN -
DR. MUTHOIFIN
Awan
tipis menghiasi birunya langit nusantara, ketika itu mentari pagi sudah mulai
merangkakkan kakinya untuk mendaki lebih tinggi, gembalaan kerbau dan sapi
berjalan rapi melintasi ranumnya rumput pagi, dihibur deringan kereta api yang
meyapa ditengah hamparan sawah dan ladang, anak mentari pagi itu sedang asyik-asyiknya
duduk manis ditepi sungai kecil, bergemercikan
air jernih, sesekali memandang ke atas sambil menerawang awan.
Ya, ia
adalah Awang, Awang sang penerawang awan. Ketika itu usianya baru beranjak
belasan tahun, seorang yang mempunyai opsesi tinggi, cita-cita yang sangat
menggelora, keinginan yang sangat membumbung tinggi ke angkasa raya. Meskipun ia
tahu, bahwa jalan yang harus ditempuhnya tidak mudah, tidak semudah membalikkan
telapak tangan. Jalan yang ditempuhnya penuh dengan perjuangan dan pergulatan
alam.
Sementara ia
hanya seorang anak nelayan yang tiap harinya harus bergulat dengat lautan dan
ombak. Keseharianya ia jalani dengan mencari ikan dilautan lepas, berangkat
sore hari pulang pagi hari. Hal ini ia lakukan untuk membantu meringankan beban
orang tuanya, karena orang tuanya termasuk dalam kategori kelompok masyarakat
menengah ke bawah.
Pekerjaan
ini ia lakukan hampir tiga tahunan, setiap kali ia melaut, ia sering merenung,
merenung dalam kegelapan malam yang bertabur bintang, diiringi angin yang
berhembus sepoi-sepoi dari arah barat daya. Ia selalu merenungi
tentang nasib dan masa depannya kelak, apakah ia tetap akan menjadi seorang
pelaut seperti ayah dan leluhurnya hingga usia senja kelak?, ataukah harus
bangkit mencari penghidupan yang lebih menjanjikan.
Perasan
gundah, gelisah, sedih, bahkan minder selalu membayanginya, karena dalam
benaknya yang paling dalam, ia seakan-akan pasrah kalau memang sudah
ditakdirkan oleh sang Khaliq jadi seorang pelaut, dimana dalam keyakinan Awang,
kebayakan anak dari para nelayan yang selalu bergelut dengan laut biasanya tidak
mempunyai kiprah dan prestasi yang sangat prestisius dan menjulang tinggi. Bahkan
sulit sekali membahagiakan dan mengharumkan nama orang tuanya.
Bertahun-tahun
ia selalu merenung, merenung, dan selalu merenung untuk mencari terobosan
supaya ia bisa bangkit dari rasa pesimisnya itu.
Suatu hari,
Awang memberanikan diri minta izin kepada orang tuanya, agar diperbolehkan
untuk tidak melaut, tapi orang tuanya mengatakan: “Nak, kalau kamu tidak
melaut, lantas mau kerja apa?. Awang terdiam, merenung, dan dengan berat ia
ucapkan: “Awang pingen sekolah ayah, Awang pingen kuliah ayah, biar nantinya Awang
menjadi orang yang sukses, dan kelak bisa membantu meringankan beban ayah dan
keluarga. Uang dari mana kamu kuliah Awang? “jawab ayah Awang”. InsyaAllah
Awang bisa cari uang sendiri buat kuliah ayah. “Jawab Awang dengan meyakinkan
ayahnya”.
Ayah Awang,
tergugah dengan tekat dan kemauan Awang yang begitu menggelora untuk bisa
kuliah. Suatu hari, Awang diberi kesempatan ayahnya untuk mendaftarkan diri di
salah satu Perguruan Tinggi Swasta di salah satu daerah pesisir di daerah
Jepara.
Setelah ia diterima
dan jadi mahasiswa, eh apa mau dikata?!, perkuliahan yang baru saja berjalan
tiga bulanan, ia harus merelakan keluar jadi mahasiswa, lantaran biaya untuk
segala kebutuhan kuliah tidak mencukupi. Genap sudah, tiga bulan ia harus
merelakan keluar dari perkuliahan yang sejak lama ini ia idam-idamkan. Namun
semangat Awang untuk belajar dan belajar tetap seperti semula, tidak pernah
surut meskipun banyak berbagai kendala dan persoalan yang membelitnya.
Suatu hari
yang penuh dengan terik mentari, Awang mulai melangkah, mencari informasi
tentang lembaga yang mau memberikan beasiswa penuh terhadap orang-orang yang
punya semangat tinggi, akan tetapi terbatas dalam masalah finansial. Awang
mulai melangkah, menayakan kepada Kepala Sekolah waktu ia sekolah dulu tentang
hal beasiswa, ternyata sang kepala sekolah itu memberi jawaban, “ya, saya pernah
mendengar bahwa di Kecamatan sebelah ada lembaga yang menyalurkan generasi muda
yang militan terhadap pendidikan untuk di kuliahkan dengan Cuma-Cuma
(beasiswa).”
Tanpa
berfikir panjang, Awang langsung berangkat menuju lembaga yang dimaksud, akhirnya
Awang mendaftarkan diri dan diterima. Setelah ditraining beberapa
bulan, ternyata awang termasuk pemuda yang cerdas dan punya kemauan yang kuat.
Lantas pihak lembaga swasta itu menawarkan Awang untuk masuk di salah satu
perguruan tinggi swasta di kota bengawan “Solo”.
Awang
bingung, karena ia belum pernah sama sekali menginjakkan kakinya di kota
bengawan itu, apalagi ia hanya bermodalkan pas-pasan, ia dengan tekat
“Bismillah... nanti ada jalan.” Awang dan temannya hanya bermodalkan uang 40
ribu memberanikan diri untuk mendaftar diri di Universitas swasta di Solo yang
di tuju. Alhamdulillah, Awang diterima program D2 dengan beasiswa penuh.
Perkuliaan
selama dua tahun ia jalani dengan penuh perjuangan, karena meskipun beasiswa,
ia tetap harus mencari uang untuk biaya makan sehari-hari dan biaya operasinal
lainnya. Bahkan hampir tiap hari Awang hidup dalam keperihatinan dan
kesederhanaan, karena uang saku yang diberikan oleh orang tua Awang, sangat
terbatas dan sedikit sekali, Awang memaklumi hal itu, karena ayahnya hanya
seorang nelayan yang penghasilannya tidak menentu.
Apalagi pas
musim penghujan, sudah dipastikan aktifitas melaut pasti terhenti karena ombak
dan kencangnya angin, hal itu, sudah bisa dimaklumi Awang. Bahkan pernah suatu
hari, Awang ingin pulang kampung, karena kala itu pas waktu liburan sekolah,
Awang dengan terpaksa pulang dengan cara naik truk, karena Awang tidak punya biaya
untuk transport pulang naik bus.
Setelah dua
tahun berjalan, Awang lulus program D2, akan tetapi dalam hatinya, Awang harus
bisa sekolah lagi, agar tercapai apa yang ia inginkan. Awang lantas
mendaftarkan diri ke jenjang D3 dengan program beasiswa, alhamdulillah, ia
diterima juga di D3 pada kampus yang sama.
Perjalan
hidup diperkulihan pada tahun ke-3 hampir sama nasibnya pada perkuliahan waktu
di D2, yaitu dengan kesederhanaan dan
keperihatinan, namun ia jalani dengan optimisme tinggi. Awang yakin seyakin-yakinnya
bahwa, siapa yang berjalan di atas jalannya maka ia akan sampai”. Sepenggal
kalimat yang sangat sederhana ini, sungguh, mengajari Awang akan pentinggnya
sebuah jalan yang harus ditempuh, demi sebuah pencapaian sejati, yaitu
pencapaian yang mendapati ridha hakiki, baik yang ada di langit maupun di bumi.
Setelah tiga
tahun pengembaraannya, awang lulus dari program D3. Lantas ia pulang dengan
memberikan kabar gembira ini kepada ayah, ibu, dan semua keluarga Awang. Ayah
dan ibunya senang mendengar kabar gembira ini. Awang lantas, menyampaikan
keinginannya kepada orang tuanya, bahwa perjalan suci belum berakhir, karena
Awang ingin menjadi seorang sarjana, Awang harus melanjutkan kuliah lagi.
Ayahnya
hanya bisa terdiam, dan cuma bisa berdoa “semoga engkau dimudahkan Allah
nak.....???!!!”. tidak lama dikampung, Awang melanjutkan perjalanannya lagi. Ia
mencopa mendaftar ke Universitas di Solo, kali ini ia diterima, akan tetapi
harus dengan biaya full 100%, sebagaimana mahasiswa reguler lainya. Ia bingung
harus bayar pakai apa?, sementara selama ini ia biasa kuliah dengan beasiswa
penuh dari lembaga yang menerimanya kuliah di D2 dan D3. Akan tetapi niat kuat
kuliah Awang tidak bisa terbendung, hanya karena gara-gara biaya.
Ia mencoba
mulai mendaftar dan diterima mahasiswa S1. hari demi hari ia lalui, suka duka
ia jalani, akhirnya ia coba mencari pekerjaan untuk membantu meringankan beban
hidup dan biaya kuliah yang butuh dana sangat besar. Di pertengan jalan, Awang
terkendala biaya, karena pekerjaan dan kiriman dari orang tua tidak mencukupi
untuk biaya kuliah. Awang sempat beberapa kali menunggak uang SPP. Bahkan ia
harus rela melapor ke bagian keuangan mintak “dispensasi” penguluran pembayaran
karena ketiadaan uang untuk bayar SPP, Akan tetapi Awang berjanji akan melunasi
semua biaya SPP kalau dikemudian hari ia mendapatkan rezeki yang kukup untuk
membayar SPP.
Suatu hari
ia membaca informasi di Mading, yang isinya pihak kampus bekerjasama dengan
PT.Djarum akan memberi beasiswa bagi mahasiswa yang prestasti dan mempunyai
nilai akademik tinggi. Awang mencoba mendaftarkan diri ikut kompetisi Beswan
Djarum Bakti Pendidikan. Setelah diseleksi di salah satu hotel besar di Solo,
ternyata yang mendaftar dan peminat beasiswa tersebut lebih dari 300 peserta,
sementara pihak Djarum hanya menyiapkan beasiswa hanya untuk 21 mahasiswa
se-Solo Raya. Hati Awang, berdebar kencang, karena banyaknya saingan yang
memperebutkan beasiswa yang cukup bergengsi dan menjadi favorit di mata
mahasiswa.
Dengan tekat yang kekuat “setiap
kesulitan pasti ada jalan”. “siapa yang sungguh-sungguh pasti ada jalan”.
Alhamdulillah...
setelah sebulan berlalu, info penerima beasiswa Djarum Bakti Pendidikan di
umumkan. Nah, ternyata nama Awang masuk dalam daftar penerima beasiswa
tersebut. Betapa senangnya hati Awang, karena beasiswa itu sangat ia
harapkan, demi untuk melunasi hutang-hutang SPP yang sempat nunggak beberapa
semester. Syukur tak terkira, Awang luapkan kabar gembira ini ke orang tua
Awang.
Setelelah
mendapatkan beasiswa tersebut, studi Awang lancar sampai tugas akhir. Tiba
saatnya prosesi akhir dari perkuliahan untuk mendapatkan gelar sarjana, yaitu
yang ditunggu-tunggu “wisuda”. Ternyata Awang masih punya tagihan
yang harus dibayar sebelum mengikuti proses wisuda, sementara uang beasiswa
sudah habis buat bayar tunggakan-tunggakan SPP tahun yang lalu. Awang terpaksa
mencari dana pinjaman untuk membayar biaya tagihan yang belum lunas dan biaya
wisuda. Setelah mendapatkan uang pinjaman, dan segera dibayarkan ke biro
keuangan kampus.
Akhirnya
Awang resmi mendapatkan surat bebas dari semua biaya administrasi perkuliahan.
Awang gak sabar, langsung menuju loket pengambilan undangan wisuda dan orang
tua wisudawan. Setelah Awang menayakan ke panitia wisuda, ternyata nama Awang
tidak ada dalam tumpukan lembar undangan wisuda. Betapa kagetnya Awang, kalau
benar-benar undangan wisuda itu tidak ada nama Awang, dengan perasaan cemas,
sambil berharap-harap ditemukan nama Awang, ternyata undangan wisuda atas nama
Awang masuk dalam kategori VVIP, alias undangan bagi mahasiswa yang menjadi
wisudawan terbaik ditingkat fakultas masing-masing.
Betapa
senangnya Awang, masuk dalam kategori wisudawan terbaik, dimana bagi wisudawan
terbaik maka kedua orang tuanya akan ditempatkan di kursi yang paling depan
atau VVIP. Dan ternyata benar, pada prosesi wisuda nama Awang menjadi wisudawan
terbaik di fakultasnya, serta berhak mendapatkan piagam penghargaan dari
Rektor.
Setelah
lulus dari sarjana, Awang langsung mencari pekerjaan untuk meringankan beban
keluarga. Dengan semangat dan pengalamannya waktu menempuh studi, ia diterima
sebagai pengajar pada lembaga sosial kemasyarakatan (LSM) disebuah desa
terpencil, ujung Jawa paling timur yang berbatasan dengan pulau Bali, tepatnya
di daerah Banyuwangi. Setelah beberapa bulan bekerja, ia ingat akan niatannya
ingin menjadi seorang Dosen.
Ia sadar
bahwa untuk menjadi Dosen yang handal, bermodalkan sarjana tidaklah cukup, ia
harus berjuang lagi untuk meraihnya. Genap satu tahun mengabdi pada masyarakat,
disela-sela aktivitasnya itu, ia sempatkan melanjutkan kuliah ke jenjang yang
lebih tinggi. Meskipun ia sadar, bahwa semuanya itu harus ditempuh dengan biaya
yang sangat besar, sedangkan honor dari LSM tempat ia mengabdi tergolong
pas-pasan buat nabung dan kebutuhan harian.
Tapi apa mau
dikata, kalau tekat sudah membara, apapun bisa ditempuh. Ia lantas mendaftarkan
diri pada program Pascasarjana di salah satu Universitas di Surabaya, Awang
diterima pada kelas reguler dan harus membayar penuh seperti mahasiswa pasca
lainnya.
Setelah
beberapa bulan Awang kuliah, ia mulai merasakan beban berat yang harus
ditanggungnya, karena tidak tanggung-tanggung ia harus menyiapkan dana puluhan
juta untuk memenuhi pembayaran SPP Pasca, sementara Awang hanya bermodalkan
nekat dan tekat. Tekat yang sudah bulat, pantang bagi Awang untuk mundur,
dengan kegigihan dan pengalaman Awang ketika masih kuliah S1, ia terapkan di
perkulian Pasca ini, Awang mulai memuta otak untuk mendapatkan stimulus “dana”
untuk memenuhi kuliahnya.
Awang
mencoba melangkan ke Pemda di mana ia bertugas, karena ia yakin bahwa Pemda itu
ada dana beasiswa untuk membantu putra daerah yang sedang menempuh studi. Awang
lantas memberanikan diri masuk ke kantor Pemda, dan menanyakan hal itu.
Ternyata memang benar, di Pemda tersedia beasiswa bagi mahasiswa prestasi dan
beasiswa mahasiswa miskin. Awang minta syarat-syarat tentang pengajuan
beasiswa, termasuk di dalammnya disyaratkan untuk beasiswa mahasiswa prestasi,
nilai IPK min 3.50.
Setelah
dirasa cukup, Awang lantas mengecek berkas-berkas yang ia punya selama kuliah
di S2, ternyata setelah di cek dan ditanyakan ke pihak Pasca, nilai IPK Awang
lebih dari 3.50, betapa semangatnya Awang mendapatkan informasi ini. Awang
lantas membuat proposal pengajuan beasiswa mahasiswa prestasi untuk memenuhi
kebutuhan SPP yang cukup besar. Dengan penuh harapan disertai do’a, akhirnya
enam bulan berlalu, Awang mendapatkan telepon bahwa permohonan beasiswanya
diterima dan disetujui oleh Bupati.
Betapa
bahagianya Awang, karena perjuangannya untuk menyelesaikan studi tingkat Master
kian ada tanda-tanda terang dari sisi pembiayaan. Meskipun beasiswa ini tidak
bisa menutupi semuanya, akan tetapi bantuan ini sangat berarti bagi Awang yang
sejak awal mempunyai opsesi tinggi demi sebuah mimpi. Dua tahun lamanya ia
selesaikan studi Master ini, dengan rasa optimis dan bahagia ia menerima gelar
Master tatkala prosesi wisuda di Universitas swasta di Surabaya.
Hari demi
hari berganti, mentari berganti senja, senja berganti malam, malam berganti
subuh, subuh berganti lagi ke mentari pagi, begitu juga seterusnya. Awang lalui
hari demi hari dengan optimis, dan banyak membantu persoalan masyarakat luas,
Awang berusaha untuk selalu memudahkan orang, agar kelak nantinya ada orang
yang memudahkan kesulita Awang. Awang selalu yakin, bahwa “Setiap kesulitan
pasti ada kemudahan”. “Siapa yang mau memudahkan urusan sesorang, pasti Allah
akan ganti memudahkan urusan-urusan hambanya.”
Belum genap
setahun dari pencapaian prestasi Master, kini Awang menatap perjuangan lagi ke
puncak yang tertinggi. Ia ingin merasakan atmosfer sengitnya perjuangan
menempuh kuliah dijenjang tingkat Dokotoral. Awang tak hentinya mencari-cari
informasi tentang kuliah S3, ternyata yang ia dapatkan bahwa untuk menempuh
kuliah S3 harus dibutuhkan biaya yang ekstra besar dan kecerdasan yang mumpuni,
karena kalau hal itu tidak tercukupi, mustahil niatan suci itu akan terwujud. Awang
dengan penuh kerendahan menatap ke langit biru yang kian gelap, karena telah tertutup
kegelapan malam yang sedang menyelimutinya, dikeheningan malam Awang selalu
berdo’a akan diberi petunjuk agar bisa menemukan solusi dan jawaban akan
keinginannya itu.
Malam demi
malam, bulan demi bulan, akhirnya pada tahun yang sama, Awang mendapatkan
bisikan, bahwa salah satu lembaga sosial/ nir-laba di Jakarta menawarkan beasiswa
tingkat Doktoral bagi putra-putri Bangsa yang berprestasi dan mempunyai
militansi tinggi untuk sebuah pengabdian dan pendidikan. Akhirnya Awang tidak
menyia-nyiakan kesempatan berharga ini, Awang lantas menyusun strategi agar apa
yang ia harapkan tercapai, ia mempelajari semua persyaratan yang dikehendaki
pihak pemberi beasiswa.
Setelah
dirasa cukup, Awang melayangkan permohonannya ke lembaga pemberi biasiswa di
Jakarta, setelah beberapa bulan, proses seleksi berlangsung, Awang hanya bisa
mengandalkan kekuatan dari langit “Allah”, karena hanya kekuatan dari langitlah
yang bisa menentukan dari hal yang mustahil menjadi suatu yang sangat mungkin.
Hal yang sulit menjadi mudah dengan lantaran kehendak-Nya. Awang sadar, bahwa
untuk mendapatkannya tidaklah mudah, perlu perjuangan, pengorbanan,
kesederhanan, dan yang paling penting perlu keperihatinan.
Untuk itu
Awang hanya mengharapkan do’a dan dukungan dari orang tua Awang, karena Awang
yakin do’a dan ridha orang tua adalah doa yang mustajab, dan ridha Allah akan
menyertai ridha orang tua Awang. Bermodalkan kedua kekuatan tersebut “doa dan
ridha”, akhirnya Awang benar-benar mendapatkan kado istimewa, Awang benar-benar
diterima sebagai salah satu mahasiswa penerima beasiswa Doktoral atau S3 di
salah satu perguruan tinggi di Bogor. Betapa senang dan terkejutnya Awang,
karena ini adalah puncak dari segala puncak akademisi, karena jenjang setelah
Doktoral sudah tidak ada lagi.
Dibalik
kesenangan itu, Awang juga berfikir akan hantaman badai yang lebih dahsyat menimpanya,
karena Awang yakin, semakin tinggi pohon menjulang ke langit, maka semakin
tinggi pula tiupan angin yang akan menghantamnya. Awang mulai ragu, antara
mengambil kesempatan kuliah atau tetap fokus bekerja di desa pengabdian..?,
kalau mengambil kesempatan belajar lebih tinggi, tentu konsekwensinya ia harus
pindah ke Bogor, otomatis ia harus merelakan meninggalkan pekerjaannya yang
sudah mulai mapan “dalam benaknya ia bertanya-tanya sendiri”. Yah, sudah dari
pada pusing, mending mengadu ke yang Maha Tau... “dijawab Awang sendiri”.
Akhirnya,
Awang dapat petunjuk dari langit, dan ternyata Awang harus memutuskan untuk
terus belajar dan belajar demi sebuah mimpi suci yang harus dijalani. Ia
teguhkan niatnya untuk mengambil keputusan kuliah Doktoral.
Sebulan
berikutnya, Awang berpamitan kepada masyarakat setempat, dan menyampaikan
maksudnya terpaksa harus berpisah, untuk melanjutkan studinya di Bogor. Dari
Banyuwangi ia menuju ke tempat kelahirannya “Demak” untuk memohon restu kedua
orang tuanya yang sangat diharapkan do’a dan dukungannya. Setelah mendapatkan
restu dan dan keridhaan, Awang melanjutkan perjalanan ke Jakarta untuk mengurus
administrasi beasiswanya. Ia mulai mengontrak perumahan buat satu bulan, agar semua
bisa berjalan lancar dan sesuai rencana. Setelah administrasi beres, ia
langsung menuju Bogor untuk mencari kontraan rumah yang dekat dengan kampus
yang akan menjadi tempat berlabuhnya untuk menempa kreatifitas keilmuawannya.
Akhirnya Awang mendapatkan kontraan yang lumayan dekat, kurang lebih jaraknya
sekitar dua kilometer.
Hari demi
hari ia lalui, studi di kelas Doktoral ia jalankan sebagaimana kala ia mulai
kuliah di D2 atau di S1. Semula tidak ada masalah. Akan tetapi setelah
menginjak bulan ke dua, ia mulai merasakan beratnya beban hidup, karena
persediaan uang yang ia bawa dari kampung mulai menipis, ia mulai berfikir,
bagaimana supaya bisa bertahan hidup di kota besar, sementara dana mulai mau
habis, dan pihak pemberi beasiswa tidak menyediakan living cost, karena
beasiswa hanya untuk biaya yang berhubungan langsung dengan universitas dan
perkuliahan.
Awang mulai
panik, ia harus mencari solusi untuk mengatasi problem keuangannya, ia mulai
mencari pekerjaan, menawarkan jasa yang berhubungan dengan pengajaran, tapi apa
mau dikata, semuanya itu tidak mudah, tidak seperti membalikkan telapak tangan.
Uang mulai habis, Awang mulai galau, setiap kali mau kuliah Awang sempat
bingung, ternyata susah juga menjadi pencari ilmu, apalagi harus meninggalkan
pekerjaan. Sampai ia kecapaian, karena selalu berjalan kaki dari kontraan ke
kampus yang berjarak hampir 2 KM, untuk mencari uang buat sesuap nasi. Awang
mulai memberanikan diri meminjam uang teman-temen kuliahnya, sesekali ia minta
uang kepadanya. Hal ini tidak boleh terus-terusan “dalam hati Awang”, Awang
harus bangkit!!!!!
Bangkit
mencari fulus demi kelancaran studi, demi untuk makan dan membayar sewa
kontraan. Apa boleh dikata, ternyata hal itu belum didapatkan Awang, Awang
sadar, bahwa setiap orang yang akan mendapatkan derajat, pasti akan diuji dulu,
apakah ia mampu menjalankan dan melaluinya atau tidak?. Setelah mentok, tidak
mendapatkan jalan keluar, akhirnya Awang mengadu permasalannya kepada Dosen
yang kala itu sebagai panitia rekruitmen beasiswa S3. Sang dosen memberi solusi
untuk pindah dari Bogor ke Depok. Sang dosen menjanjikan akan memberikan tempat
kontraan yang tidak usah menyewa, karena biaya sewa sudah ditanggung sang
dosen. Begitu juga dijanjikan akan dipekerjakan sebagai koordinator di sebuah
kantor di Jakarta Pusat dengan gaji 500 ribu/ bulan. “Karena biaya sewa
kontraan sudah tidak bayar”. Setelah disanggupi, Awang
pindah, meluncur dari Bogor ke Depok. Bulan pertama, keseharian Awang dilalui
dengan nafas lega, begitu juga pada bulan-bulan berikutnya.
Setelah pada
bulan ke-5 tinggal di Depok, badai mulai muncul. Gaji yang semua lancar, kini
mulai macet, bahkan kadang dalam satu bulan tidak menerima gaji sama sekali.
Padahal perut harus terisi agar aktifitas tetap vit, perjalanan kuliah harus
ditempuh untuk mengikuti jalannya perkuliahan.
Sungguh luar
biasa, hidup di kota besar tidak jelas keuangan dan penggajian, bahkan Awang
sempat makan sehari semalam hanya berlaukkan garam dan masako, karena tidak ada
uang buat beli lauk. Awang sempat curhat ke teman-teman, dan ternyata ada temen
yang iba, ada yang ngasih uang jajan 150 ribu, ada 200 ribu buat hidup di kota
besar.
Bulan ke-6
sampai bulan ke-12 Awang berjuang melawan ketidak pastian hidup, kekurangan
finansial, tidak jelasnya gaji, sampai-sampai Awang harus mencari makan dari
hasil buka bersama dirumah orang yang menyelenggarakan buka bersama gratis.
Awang sadar
akan cobaab berat yang ia hadapi, sebagai resiko perjuangannya ia menempuh
studi kelas berat. Awang mulai merenung dan merenung, mengadu sama Allah akan
nasib yang di alaminya. Awang lantas, memberanikan diri untuk minta dipindah dari
Depok, dengan harapan agar ada secercah asa untuk memperbaiki kondisi diri dan
ekonomi. Sang dosen menyetujui. Awang lantas dipindah tugaskan dari Depok ke
Bandung dengan bermodalkan 200 ribu rupiah. Dengan catatan nanti di Bandung,
tinggal di pesantren, tidak usah ngontrak rumah dan makan sudah ditanggung
yayasan, syukur pihak pemberi beasiswa nanti mau mengucurkan dana buat Awang.
Tiba di
Bandung, pikiran Awang lebih rileks karena sudah ganti suasana baru dan mulai
menatap masa depan yang lebih baru. Bulan pertama, Awang tidak
merasa kekurangan yang berarti, karena sudah terbiasa perihatin dan kekurangan
sebagaimana kala di Depok, akan tetapi setelah bulan kedua, ternyata hal itu
berulang lagi, tunjangan tidak ada, gaji tidak cair, alias “nol rupiah”.
Masya’Allah,
hidup di Bandung, yang semuanya butuh uang, eh, kini tiada gaji sama sekali, “dalam
batin Awang”. Padahal Awang harus menempuh perjalanan jauh untuk kuliah dari
Bandung ke Bogor lewat tol Cipularang, dan ini membutuhkan biaya besar.
Awang mulai
strees!!!????, tidak masuk akal. Awang lantas memberanikan diri minta uang 100
ribu ke pengurus yayasan di Bandung buat uang transport ke Bogor.
Setelah di
Bogor, perkuliahan berlangsung dengan lancar. Tapi apa mau dikata, Awang
bingung lagi, karena harus mencari uang buat pulang ke Bandung.
Dengan
perasaan malu dan nekat, Awang minta uang 100 ribu lagi ke temen seperjuangan
di kampus. Hal ini Awang jalankan kurang lebih selama tiga bulan, hidup dalam
keperihatinan.
Setelah tiga
bulan berlalu, cobaan yang lebih dahsyat dari itu semua datang. Siang hari
Awang ditelepon saudara di kampung, bahwa Ayah Awang sakit dan harus dibawa ke
rumah sakit, hati Awang bingung, harus berbuat apa, tidak bisa membantu, tidak
bisa menjenguk, tidak bisa apa-apa. Awang hanya bisa berdo’a semoga Ayah lekas
sembuh dan pulang dengan selamat.
Malam
harinya, Awang bagaikan disambar petir!!!!!!... Ternyata, Ayah Awang
yang baru sehari masuk rumah sakit, telah meninggal dunia. Betapa hancur, dan
sedihnya Awang kala itu, ia bingung harus bagaimana, mau pulang uang tidak ada,
sementara Ayah tercinta Awang yang selalu mendoakan kini telah pulang ke
haribaan Ilahi untuk selamanya. Malam hari Awang mau minta uang
ke ketua yayasan untuk biaya naik pesawat, Awang tidak berani, sungkan, takut
mengganggu. Akhirnya Awang dengan terpaksa naik kereta klass ekonomi dari
Bandung menuju Solo, dengan harapan yang penting bisa pulang.
Butuh waktu
dua malam satu hari untuk sampai ke kampung, karena jauhnya perjalanan.
Tentunya hal ini Awang harus merelakan kepergian ayahnya ke peristirahatan
terakhir tanpa bisa melihat jasad ayah di detik-detik terakhir sebelum
dimakamkan. Awang menangis tiada henti dalam gerbong kereta yang
berjalan lirih menyusuri sawah dan ladang. Awang hanya bisa mendoakan semoga
Ayah diterima di sisi Allah dan diampuni semua dosa-dosanya.
Setelah
empat bulan berjalan, mengabdi di Bandung, Awang memutuskan untuk pulang
kampung, karena, ternyata sebelum meninggal ayah Awang pernah menasihati, “agar
bekerja dan mengajar tidak jauh dari kampung kelahiran” (kenang Awang ketika
dinasihati ayahnya).
Awang
memutuskan pulang kampung, dan menemui teman-teman ketika dulu Awang pernah
kuliah dari D2 hingga S1 di Solo. Awang sadar, bahwa kepindahan
dia dari Bandung ke Solo merupakan keputusan yang sangat berani dan nekat,
karena ia harus menempuh perjalanan lebih jauh lagi untuk menyelesaikan studi
S3-nya di Bogor, dan ini memerlukan biaya yang ekstra besar.
Dengan
tawakkal, Awang serahkan semunya pada Allah yang Maha mengatur rencana.
Awang mulai
membangun relasi di Solo, mencari pekerjaan, akhirnya Awang mulai menemukan
secercah harapan, ia mulai diterima sebagai guru di sebuah yayasan swasta di
Solo. Sebulan kemudian Awang diterima di kampus swasta untuk menjadi dosen.
Dua bulan
berikutnya Awang mulai kebanjiran tawaran “job” kerja, ia mulai diterima lagi
sebagai dosen di Akademi swasta di Solo. Alhamdulillah, hari-hari Awang
di Solo dipenuhi dengan kerja dan kerja. Disela-sela libur ngajar dan
dosen, Awang sempatkan ke Bogor untuk menyelesaikan studi yang sudah menjadi
kontraknya. Karena sebuah amanah harus dijalankan, apapun resiko dan pahit
getirnya.
Bulan demi
bulan dilalui Awang, dengan bekerja, mengabdi, dan belajar. Akhirnya setelah
satu setengah tahun Awan dinyatakan lulus dalam prosesi sidang promosi
Doktoral, atau biasa disebut dengan istilah sidang terbuka dan pengukuhan gelar
Doktor. Kini Awang mulai bahagia, setelah mendapatkan gelar Doktor
dari Bogor yang diperolehnya dengan penuh duka cita dan perjuangan demi sebuah
mimpi yang sudah menghujam dihati. Awang kini tercatat sebagi
seorang dosen tetap di salah satu kampus swasta di Solo, dengan menyandang
gelar Doktor, meskipun Awang awalnya hanyalah seorang anak nelayan yang serba
dalam keterbatasan.
Tapi
semangat Awang untuk maju dan maju tetap membara sampai titik darah
penghabisan. Awang yakin, “Setiap kesulitan pasti ada kemudahan”, “Siapa
yang sungguh-sungguh pasti akan mendapatkannya”, dan “Siapa yang berjalan di
atas jalannya pasti akan sampai.” Semoga muncul lagi, Awang-awang
lain, yang tidak lelah dalam menatap masa depan. Masa depan yang lebih menjanjikan
dan mencerahkan. Karena Awang tak lelah menerawang awan.
-***********-
Watuireng, 14 Januari 2014 M
12 Rabiul Awwal 1435 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar