GEJOLAK HATI
Cerpen: Muthoifin Walidem
Anak petualang itu mempunyai sejuta opsesi.
Cita-citanya sangat menggelora dan membumbung tinggi. Meskipun
ia sadar, jalan untuk menempuhnya tidaklah mudah, tidak semudah membalikkan telapak
tangan. Penuh dengan rintangan dan keperihan. Sementara ia hanya
seorang anak nelayan, yang tiap harinya harus bergulat dengat ombak
dan lautan.
Ia jalani
dengan mencari ikan dihamparan lautan. Berangkat sore hari, pulang pagi hari.
Awang namanya. Setiap
kali melaut,
ia selalu gundah…!!!, wajahnya murung…!!, selalu merenung,
menatap
dalam kegelapan malam yang bertaburan bintang, dalam
hembusan angin malam yang menerjang kencang, meraba nasib dan masa depannya
kelak, apakah ia akan tetap menjadi seorang pelaut seperti ayah dan leluhurnya? hingga usia senja menyapa? ataukah harus “jenggirat”
mencari
penghidupan yang lebih layak?.
Perasan
gundah, gelisah, sedih, bahkan minder selalu membayanginya, dalam benaknya yang
paling dalam, ia seakan-akan pasrah suratan takdir dari-Nya. Bertahun-tahun ia merenung, merenung, dan
selalu merenung mencari secercah harapan.
Hingga suatu
hari, ia memberanikan diri menyapa
orang tuanya “Pak, izinkan untuk tidak melaut”
pintanya, “Nak, kamu tidak melaut,
lantas mau kerja apa, mau makan apa?” jawab ayah. Awang terdiam, dan dengan berat ia
menjawab “Awang pingen sekolah ayah, Awang pingen kuliah, biar nantinya Awang menjadi
orang yang sukses, bisa bantu meringankan beban ayah dan keluarga” alasan
Awang. “uang
dari mana kamu kuliah Awang?” jawab ayah sampil melempar kembali pertanyaan, “Insyaallah
Awang bisa cari uang sendiri ayah” Awang meyakinkan ayahnya.
Ayah Awang
tergugah dengan tekat dan kemauan Awang yang begitu menggelora. Suatu hari, Awang
diberi kesempatan ayahnya untuk mendaftarkan diri di salah satu Perguruan
Tinggi swasta. Ia diterima dan jadi mahasiswa sebagaimana temen lainnya.
Setelah beberapa bulan berjalan, eh apa mau dikata?, perkuliahan yang baru saja
berjalan tiga bulan, ia harus “merelakan” keluar, karena biaya untuk segala
kebutuhan kuliah tidak mencukupi. Genap sudah, tiga bulan ia harus merelakan
keluar dari perkuliahan yang sejak lama ini ia idam-idamkan.
Namun
semangat Awang untuk belajar tetap seperti semula, tidak pernah surut meskipun berbagai
kendala dan persoalan yang membelitnya. Hingga suatu hari, penuh dengan terik mentari,
Awang mulai melangkah, mencari lembaga yang mau memberi beasiswa. Awang mulai melangkah, berlari,
mencari informasi tiap hari, dari satu kota ke kota lainnya, hingga akhirnya,
seorang teman mengabari
“ya, saya pernah mendengar kalau di Kecamatan Sayung, ada lembaga yang menyalurkan generasi muda untuk dikuliahkan
dengan cuma-cuma” kata
teman Awang.
Tanpa
berfikir panjang, Awang langsung bangkit dan beranjak menuju lembaga itu. Ia diterima. Dan ternyata, awang termasuk pemuda
yang cerdas serta berkemauan kuat. Pihak lembagapun
langsung menawarkan
Awang untuk masuk di salah satu perguruan tinggi di kota bengawan.
Awang
bingung, karena ia belum pernah sama sekali menginjakkan kakinya di kota
bengawan, apalagi ia hanya bermodalkan pas-pasan. Tekat “Bismillah... nanti
ada jalan” satu-satunya modal awal bagi Awang. Ia memberanikan diri daftar di
Universitas swasta yang di tuju. Alhamdulillah, ia diterima program D2 dengan
beasiswa penuh.
Sungguh
senang hati Awang, bisa kuliah lagi. Selama dua tahun ia jalani dengan penuh suka-duka. Meskipun beasiswa,
ia tetap harus mencari uang untuk biaya makan sehari-hari dan biaya lainnya,
karena beasiswanya hanya berupa bebas SPP dan adminstrasinya. Hampir tiap hari Awang
hidup dalam kesederhanaan, karena uang saku yang diberikan oleh orang tua
Awang, sangat terbatas, Awang memakluminya, karena ayahnya hanya seorang
nelayan yang penghasilannya tidak menentu. Apalagi pas musim penghujan, sudah
dipastikan aktifitas melaut pasti terhenti karena ombak dan kencangnya angin.
Setelah dua
tahun berjalan, Awang lulus D2, akan tetapi dalam hatinya, Awang harus bisa
sekolah lagi, agar tercapai apa yang ia inginkan. Awang lantas mendaftarkan
diri ke jenjang D3 dengan program yang sama, ia diterima dan
lulus D3.
Niat
kuat Awang tidak hanya sebatas D3, karena menurutnya D3 zaman sekarang
seperti lulusan SMA. Lantas ia mencoba mendaftar S1. Berbagai cara ia lakukan,
“pokoke bisa kuliah” tekat Awang. Akhirnya, ia benar-benar mencoba masuk S1. Hari
demi hari
ia lalui, suka duka ia jalani. Di pertengan jalan, Awang terkendala biaya, karena pekerjaan
dan kiriman dari orang tua tidak mencukupi untuk biaya kuliah. Awang sempat
beberapa kali menunggak uang SPP. Bahkan ia harus rela melapor ke bagian
keuangan, mintak “dispensasi” penguluran pembayaran, karena ketiadaan uang
untuk bayar SPP. “Awang berjanji melunasi semua biaya SPP kalau dikemudian hari
ia mendapatkan rezeki” janji Awang pada pihak fakultas.
Suatu hari
ia membaca informasi di mading, kalau PT. Djarum akan memberi
beasiswa bagi mahasiswa yang prestasti dan mempunyai nilai akademik tinggi.
Awang langsung bangkit, mencoba mendaftarkan diri. Setelah melewati beberapa seleksi, akhirnya dengan
kehendak-Nya, Awang lolos
dan berhak mendapatkan beasiswa itu. Uang dari beasiswa Djarum itu, ia gunakan untuk
melunasi semua tunggakan SPP yang menumpuk beberapa bulan.
Tiba saatnya
prosesi akhir dari perkuliahan. Yaitu masa yang ditunggu-tunggu alias pendaftaran wisuda.
Sungguh tidak disangka, ternyata Awang masih punya tagihan lain yang harus dibayar
sebelum mengikuti proses wisuda, sementara uang beasiswa sudah habis buat bayar
tunggakan-tunggakan SPP tahun yang lalu. Awang terpaksa mencari dana pinjaman
untuk membayar biaya lain yang belum lunas. Setelah mendapatkan uang pinjaman, Awang
langsung melunasi dan mendaftarkan diri jadi wisudawan.
Akhirnya
Awang resmi mendapatkan surat bebas dari semua biaya administrasi perkuliahan.
Awang tak
sabar!!!,
langsung menuju loket pengambilan undangan wisuda. Setelah Awang menayakan ke
panitia wisuda, ternyata nama Awang tidak ada dalam tumpukan undangan wisuda.
Betapa kagetnya Awang, kalau benar-benar undangan wisuda itu tidak ada nama
Awang, dengan perasaan cemas, sambil berharap-harap,
akhirnya
ditemukan nama Awang.
Ternyata undangan wisuda atas nama Awang masuk dalam kategori
VVIP, alias undangan special bagi mahasiswa yang menjadi wisudawan terbaik.
Betapa
senangnya Awang, masuk dalam kategori wisudawan terbaik, karena bagi wisudawan terbaik, kedua orang tuanya akan
ditempatkan di kursi yang paling depan atau VVIP. Ternyata benar, pada prosesi
wisuda nama Awang menjadi wisudawan terbaik di fakultasnya. Ia berhak mendapatkan
piagam penghargaan dari Rektor.
Setelah
lulus, Awang langsung mencari pekerjaan untuk meringankan beban keluarga.
Dengan modal semangat dan pengalamannya waktu menempuh studi, akhirnya ia
diterima di lembaga sosial kemasyarakatan (LSM). Ia ditugaskan disebuah desa terpencil, ujung
Jawa paling timur yang berbatasan dengan pulau Dewata (Bali), tepatnya di daerah
Banyuwangi.
Setelah
beberapa bulan bekerja, ia ingat akan “gejolak hatinya” menjadi orang yang
sukses dunia-akhirat.
Ia sadar
bahwa untuk menjadi sukses, bermodalkan sarjana tidaklah cukup, ia harus berjuang lagi
untuk meraihnya. Genap setahun mengabdi pada masyarakat. Ia sempatkan
melanjutkan kuliah S2. Meskipun ia sadar, bahwa untuk menempuhnya dibutuhkan
biaya yang sangat besar, sedangkan honor dari LSM tempat ia mengabdi sangatlah
pas-pasan.
Tapi apa mau
dikata, kalau tekat sudah membara, apapun bisa ditempuh. Ia lantas mendaftar
program Pascasarjana di salah satu Universitas di Surabaya. Awang diterima
(regular) dan harus
membayar penuh seperti mahasiswa pasca lainnya.
Setelah
beberapa bulan, Awang mulai merasakan beban berat yang harus ditanggungnya. Tidak
anggung-tanggung
ia harus menyiapkan dana puluhan juta. Sementara ia hanya bermodalkan tekat dan
nekat. Tekat yang sudah bulat, pantang bagi Awang untuk mundur, dengan
kegigihan dan pengalaman Awang ketika masih kuliah S1, ia terapkan di perkulian
S2. Awang mulai memutar otak agar mendapatkan kemudahan.
Suatu hari, Awang
mencoba melangkan ke Pemda, di mana ia bertugas. Ia yakin bahwa Pemda,
biasanya ada
program beasiswa, untuk membantu putra
daerah yang sedang menempuh studi. Awang menanyakan hal itu. Ternyata
benar, di Pemda
tersedia beasiswa bagi mahasiswa prestasi dan beasiswa mahasiswa miskin. Awang
minta syarat tentang pengajuan beasiswa prestasi. Setelah dirasa cukup, Awang
lantas mengecek berkas-berkas yang ia punya. Ternyata syarat
untuk itu, ia ada semua, termasuk syarat IPK minimal 3.50.
Dengan penuh
harapan disertai do’a. Enam bulan berlalu, Awang mendapatkan telepon “saudara
Awang mendapat penghargaan beasiswa dari Pemda” kabar dari telepon alah satu
staf Pemda. Betapa
bahagianya Awang, karena perjuangannya untuk menyelesaikan studi kian ada
tanda-tanda terang. Meskipun beasiswa ini tidak bisa menutupi semuanya, akan tetapi
bantuan ini sangat berarti bagi Awang untuk mewujudkan gejolak hatinya. Dua tahun
lamanya ia selesaikan studinya.
Dengan rasa bahagia ia menerima gelar
Master tatkala prosesi wisuda.
Hari demi
hari berganti, mentari berganti senja, senja berganti malam, malam berganti
subuh, subuh berganti mentari lagi, Awang lalui dengan penuh gejolak hati dan optimistis.
Awang selalu yakin, bahwa “Setiap kesulitan pasti ada kemudahan”.
Belum genap
setahun dari pencapaian Master, kini Awang menatap perjuangan lagi ke puncak
tertinggi. Ia ingin merasakan tantangan dan sengitnya atmosfer kehidupan.
Ia berkali-kali mencari
informasi tentang S3.
Ternyata, ia mendapatkan kabar “untuk menempuh S3 dibutuhkan
biaya yang sangat besar, 100-150jt” kata salah satu pegawai TU. Awang terhentak!!!!!, hatinya
berdetak kencang!!!!. Dengan penuh kerendahan, Awang menatap ke langit biru
yang kian gelap, hampir tertutup gelapnya malam. Dalam keheningan, Awang menengadah
tangannya ke atas, sambil memohon petunjuk dari langit.
Malam demi
malam, minggu berganti minggu, bulan bertemu bulan lagi. Akhirnya, dipenghujung tahun, Awang seakan-akan mendapatkan
bisikan, ada salah satu lembaga sosial (nir-laba) di Jakarta menawarkan
beasiswa S3 bagi putra-putri Bangsa yang berprestasi dan mempunyai militansi
tinggi.
Hati Awang langsung bergejolak. Ia tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Ia
langsung menyusun
strategi,
agar apa yang ia impikan tercapai.
Ia pelajari…, ia amati, semua persyaratan yang dikehendaki pihak.
Setelah dirasa cukup, Awang melayangkan permohonan ke lembaga itu. Setelah beberapa
bulan, proses seleksi berlangsung, Awang hanya bisa mengandalkan kekuatan dari
langit “Allah”, karena hanya dari-Nya lah sesuatu yang sulit menjadi mudah, hal
yang mustahil menjadi sangat mungkin.
Awang sadar,
bahwa untuk mendapatkannya S3 tidaklah mudah, tidak semudah membalikkan telapak
tangan. Apalagi Awang sadar, hanyalah seorang anak nelayan yang serba dalam
keterbatasan. Awang
hanya berharap
do’a dan restu dari orang tua. Awang yakin, do’a dan ridha orang
tua adalah senjata yang sangat ampuh. “Ridha Allah tergantung ridhonya” kata
kalimat bijak.
Bermodalkan
kedua kekuatan tersebut “doa dan ridha”, akhirnya Awang benar-benar mendapatkan
kado istimewa. Awang benar-benar diterima sebagai salah satu mahasiswa
penerima beasiswa Doktoral di salah satu perguruan tinggi di Bogor. Betapa
senang dan terkejutnya Awang, karena ini adalah puncak dari segala harapan.
Puncak getaran dan gejolak hati yang selalu ingin mengayuh mimpi. Mimpi anak
nelayan yang ingin meraih prestasi.
Meskipun di sana nantinya banyak rintangan, halangan, dan ujian berat
menanti. Sebagaimana kala menempuh perjuangan di awal-awal perjalanan. Sungguh!!!!,
menjalani perkuliahan S3 lebih berat dari pada sebelumnya, karena “semakin
tinggi pohon menjulang ke langit, semakin besar pula hantaman dan hembasan
angin”. Akhirnya, alhamdulillah, setelah empat tahun berjalan, tepatnya 30
Maret 2013, Awang resmi menjalani proses sidang promosi, dan pada hari itu
juga, Awang berhasil menyandang gelar Doktor.
Sungguh!!!, “Gejolak Hati untuk Menggayuh Mimpi”
benar-benar bergetar kencang di hati Awang, berdetak kencang bagaikan genderang
yang mau perang!.
Semoga… Muncullah, Awang-awang lain, yang ingin meraih prestasi,
meskipun banyak kendala dan rintangan. Karena “Gejolak Hati” yang terjadi, harus
dituntun dan ditunjukkan pada hal yang positif agar prestasi mudah diraih.
***************
Nama : Muthoifin Walidem
No HP : 085850908667
Alamat : Kedungmutih, 27, Rt.03, Rw.02,
Wedung, Demak.
Prestasi :
- Wisudawan terbaik S1, 2006.
- Peraih Bes-wan Djarum Bakti Pendidikan (S1),
2005-2006.
- Peraih Beasiswa Mahasiswa Berprestasi PEMDA Banyuwangi
(S2), 2008.
- Peraih Beasiswa BAZNAS (S3), 2009.
- Juara II CERPEN,
Ultah Pegadaian ke-112, 2013.
- Juara II ESAI
(Sayembara Nasional Ketua Umum APKASI), 2013.
- Pemenang lomba “terbitkan bukumu” oleh BITREAD, 2014.
- 12 RESENSI terbaik nasional
dalam lomba resensi novel “12 Menit”, 2014.
assallamuallaikum wr.wb
BalasHapusperkenalkan nama saya mahmud al athok dari karawang.....
setelah saya membaca cerpen ini saya tertarik sekali untuk terjun kedunia sastra... saya ingin sekali menjadi seorang penulis yang terkenal.... untuk itu saya mohon bantuannya saudara untuk membimbing saya dalam hal penulisan cerpen karna saya juga sering menuliskan sebuah cerita dalam bentuk buku...
karna menulis adalah hal yang paling indah untuk menguangkan isi hati ini....
untuk lebih lanjut mohon kritik & sarannya
e-mail : mahmud.al.athok65@gmail.com
facebook : Mahmud Al Athok