Pemikiran Kurikulum Ki Hadjar Dewantara
Dan Kurikulum 2013 Perspektif Pendidikan Islam
Oleh: Dr.
Muthoifin, M.Ag
A.
Pendahuluan
Membicarakan masalah pendidikan
pada umumnya serta pendidikan Islam pada khususnya di Indonesia tidak dapat
ditinggalkan pembicaraan terhadap tokoh yang bernama Ki Hadjar Dewantara, seorang pakar yang
berkecimpung dan mengonsentrasikan keahliannya dalam bidang pendidikan.
Hal yang demikian itu disebabkan berbagai
konsep strategis tentang pendidikan di Indonesia hampir seluruh aspeknya
senantiasa merujuk pada pemikirannya.[1]
Sebagaimana
diungkapkan Abdurrahman Suryomiharjo, seorang sejarahwan “Ki Hadjar Dewantara
dikenal secara luas baik di dalam maupun di luar negeri. Ia dikenal karena perannya dalam pendidikan nasional yang tidak bisa dilupakan
oleh bangsa Indonesia.”[2]
Sedangkan Moch. Tauchid, seorang aktifis Tamansiswa juga menyatakan, meskipun banyak pro dan kontra, Ki Hadjar
yang tanggal lahirnya dijadikan hari pendidikan nasional, sesungguhnya ketetapan tersebut sudahlah
tepat, karena berkat
konsepsi Ki Hadjar dibidang pendidikan, antara lain: Teori Tripusat Pendidikan, Sistem Among, Tut Wuri Handayani, Pancadharma dan lain-lainnya serta tex
books ilmu pendidikan, telah mensejajarkan Ki Hadjar dengan tokoh-tokoh
pendidikan dunia, seperti Frobel, Montessorie, Peztalozzi, John Dewey,
Rabindranat Tagore dan lain-lain. Yang diwarisikan darinya adalah jasa-jasa dan
jiwa pendidik yang tidak memihak golongan, tetapi bersifat nasional bukan”.[3]
Begitu juga, berbagai aspek yang
terkait dengan pendidikan nacional seperti visi, misi, tujuan, kurikulum dan
tahapan pendidikan, menurut Ki Hadjar harus dirumuskan berdasarkan kemauan
bangsa Indonesia itu sendiri. Gagasan dan pemikiran Ki Hadjar inilah yang kemudian menjadi acuan penyelenggaraan pendidikan nasional hingga sekarang.[4]
B.
Kurikulum Ki
Hadjar Dewantara
Sebagai seorang pemikir
dan praktisi pendidikan, Ki Hadjar dalam berbagai bukunya tidak terlibat dalam mengartikan kurikulum
secara teknis. Namun secara substansial, dapat dijumpai bahwa Ki Hadjar dengan
caranya sendiri banyak membicarakan masalah kurikulum, yakni kurikulum dalam
arti konvensional, yaitu nama-nama mata pelajaran yang perlu diajarkan kepada
para siswa sesuai dengan tingkatannya.[5] Dalam
kaitan ini, Ki Hadjar Dewantara antara lain mengatakan sebagai berikut:
Pelajaran yang
dibolehkan kepada anak-anak boleh dibagi menjadi dua. Pertama, mata
pelajaran yang selain memberi pengetahuan atau kepandaian juga berpengaruh
kepada kemajuan batin, dalam arti memasakkan (mematangkan) pikiran, rasa dan
kemauan. Sedangkan yang Kedua, adalah mata pelajaran yang akan memberi
bekal pada anak-anak untuk hidupnya kelak dalam dunia pergaulan umum; yaitu
mata pelajaran yang meliputi lapangan kultural dan kemasyarakatan.[6]
Pada bagian berikutnya
Ki Hadjar mengatakan:
Bahwa pelajaran yang menajamkan
pikiran dan berdasarkan kemasyarakatan itu umumnya menjadi pokoknya program
pendidikan secara Barat, yang kita jumpai dalam sistem sekolah dengan
ekor-ekornya: intelektualisme dan materialisme, yaitu mendewakan angan-angan
dan keduniaan. Adapun pendidikan secara Timur yang sekarang juga mulai
dimasukkan dalam cara pendidikan di Eropa, biasanya mengutamakan keluhuran budi
pekerti.[7]
Dengan ungkapan
tersebut, terlihat jelas bahwa Ki Hadjar menginginkan agar bahan pelajaran yang
diberikan mengarah pada pembentukan kepribadian yang memiliki kemajuan yang
seimbang antara dimensi intelektual dan emosional, duniawi dan ukhrawi,
material dan spiritual sebagaimana telah diuraikan di atas. Bahan pelajaran
yang diberikan dalam kegiatan pendidikan adalah pelajaran yang memajukan
intelek dan kemasyarakatan, dengan memberikan ilmu dan kepandaian kepada
anak-anak kita yang ditujukan kepada matangnya batin, yaitu halusnya perasaan
serta teguh, tetap dan luhurnya kemauan yang akhirnya dapat menyesuaikan
hidupnya anak dengan dunianya (alam individu, alam kebangsaan, dan alam
kemanusiaan); yang kesemuanya ini dimaksud untuk mencapai keselamatan dan
kebahagiaan, bagi orang seorang, serta di alam pergaulannya dengan orang-orang
lain dapat dicapai pula tertib dan damai.[8]
Selain mempertimbangkan
faktor-faktor keseimbangan hidup sebagaimana
tersebut di atas, maka pelajaran (kurikulum) yang diberikan kepada anak
didik juga harus bertolak dari kodrat manusia yang memiliki sifat dan ciri-ciri
kejiwaan yang sesuai dengan perkembangan usianya. Sejalan dengan ini, Ki Hadjar
menguraikan bahan pelajaran sebagai berikut:
Pertama, untuk anak usia Taman Kanak-kanak hendakya
diajarkan: 1) permainan dan olahraga dengan nyanyian anak-anak dan tari
(pemeliharaan badan secara rhytms), 2) nyanyian rakyat (macapat,
tembang, dan gending di tanah Jawa); menggambar corak dan warna, merangkai bunga, menyulam daun pisang yang disobek-sobek
atau janur. Latihan ini diberikan untuk kesempurnaan pancaindera yang
dihubungkan dengan rasa, 3) cerita yang berwujud dongeng, mitologis dan historis
(tambo hanya yang mengenai daerahnya) dihubungkan dengan pelajaran bahasa dan
lagu (metode Sari Swara),[9]
dan 4) pelajaran mengenal keadaan tempat kelilingnya si anak selaku persediaan
pelajaran ilmu alam, ilmu kodrat, ilmu bumi, dan ilmu negeri (kemasyarakatan
dan kenasionalan).
Kedua, untuk taman muda (masa wiraga wirama), hendaknya
diberikan pelajaran: 1) olahraga, pencak dan tari, 2) nyanyian (di tanah Jawa:
tembang macapat, tembang gede, dan tembang gending), dan buat yang cakap dengan
disertai gamelan (instrumental), selanjutnya menggambar menurut kepandaian dan mulai berkenalan
dengan alam kesenian Indonesia Raya dan Asia, 3) bahasa dan cerita
keseusasteraan, tambo dan keagamaan, mulai dari alam daerah, kemudian alam
Indonesia dan akhirnya ikhtisar dari Asia, 4) pengetahuan tentang kodrat alam,
bumi, negeri dan pergaulan umum di tanah airnya, di daerah Asia dan di benua
lain-lainnya.
Ketiga, untuk taman dewasa (masa wirama) hendaknya diajarkan: 1) olahraga diteruskan dengan
tujuan agar dapat mempertahankan diri,
2) tari dilanjutkan nyanyian dan gending, menggambar dan kesenian lain-lainnya
dimajukan, mulai belajar mengenal alam kesenian asing (Eropa), 3) bahasa dan
cerita keseusasteraan daerah
dan Indonesia, bahasa asing yang dapat menghubungkan alam nasional (batin dan
lahir) dengan alam dunia (bahasa Inggris), ilmu keagamaan, ”mythen” dan
”legenden” dari luar Indonesia, 4) ilmu negeri dari Indonesia sekarang
dan dahulu serta pokok pangkalnya sosiologi dan ekonomi, penuntun anak-anak
mengadakan perhimpunan umum, koperasi, perusahaan, majalah, debating club,
dan badan pertolongan dan sebagainya.[10]
Ki Hadjar juga menganjurkan, sebaiknya setiap pendidikan yang diberikan
kepada anak didik itu didasarkan atas ”ilmu syarat-syarat pendidikan”.
Pendidikan yang teratur yaitu pendidikan yang bersandar atas pengetahuan, yang dinamakan ”ilmu
pendidikan”. Ilmu ini tidak berdiri sendiri, akan tetapi masih memakai
ilmu-ilmu lainya, sebagaimna tersebut di atas, yaitu ”ilmu syarat-syarat
pendidikan” (hulpwetenschappen). Ilmu ini terdiri dari lima jenis,
antara lain:
(1) ilmu hidup batin manusia (ilmu jiwa, psychologie),
(2) ilmu hidup jasmani manusia (fysiologie),
(3) ilmu keadaan data kesopanan (etika atau
moral),
(4) ilmu keindahan atau ketertiban lahir (aesthetika),
dan
(5) ilmu tambo pendidikan (ikhtisar cara-cara
pendidikan).[11]
Untuk mengetahui
pentingnya mempunyai ”pengetahuan” kelima macam ilmu itu dalam kaitannya dengan kurikulum
pendidikan, maka Ki Hadjar memberi perbandingan (analogi) yang sangat mudah
dimengerti, yaitu
antara keadaan seorang ”juru didik” dengan seorang ”tukang ukir kayu”. Lebih lanjut ia menyatakan:
Seorang pengukir kayu barang tentu wajib mempunyai
pengetahuan yang dalam dan luas tentang hakekatnya atau keadaannya kayu; jadi
harus tau akan ilmu kayu (lihat no1 dan 2). ia wajib mengetahui mana kayu-kayu
yang keras dan yang tidak keras, yang boleh dipergunakan untuk ukir-ukiran yang
halus atau yang kasar, begitu seterusnya. Karena pendidikan itu ”mengukir”
manusia, sedangkan manusia mempunyai hidup lahir dan batin, maka ilmu
kemanusiaan itu ada dua macamnya, yaitu ”psychologie” dan fysiologie”,
seperti tersebut diatas (no 1 dan 2).
Seorang pengukir kayu yang hendak mewujudkan
pekerjaan ukiran-ukiran yang baik, haruslah mengerti tentang
keindahan-keindahan ukiran. Begitu juga seorang pendidik, sama halnya harus
mengerti tentang keindahan-keindahan batin dan lahir (ethika dan aesthetika),
karena manusia itu bersifat batin dan lahir (lihat no. 3 dan 4).
Seorang pengukir kayu dapat mewujudkan
ukiran-ukiran yang bagus, kalau ia mempunyai pengetahuan tentang macam-macam
ukiran, yang telah diadakan oleh pengukir-pengukir lainnya, pada zaman sekarang
dan zaman dahulu, di negerinya sendiri atau di negeri asing. Itulah ilmu ”tambo
pendidikan” buat kaum pendidik.[12]
Dengan gambaran
perbandingan tersebut di atas, menurut Ki Hadjar, tidak usah memberi keterangan
yang panjang lebar, karena orang akan paham dan dapat membuat keterangan dan
kesimpulan sendiri. Selanjutnya berdasarkan pendidikan yang berbasis ”ilmu
syarat-syarat pendidikan” diatas, Ki Hadjar berharap pendidikan tersebut bisa menempatkan anak
didik tidak hanya sebagai obyek pendidikan, akan tetapi juga menempatkan anak didik sebagai subyek
pendidikan. Dengan begitu pendidikan tidak boleh merasa kuasa yang bisa berbuat
sesuka hati atas anak didik. Sebaliknya, anak didik juga tidak boleh merasa
berhak dan berkuasa menuntut pendidik apabila mereka tidak berhasil ketika
mereka keluar dari suatu lembaga pendidikan.[13]
Ki Hadjar, dalam menjalankan proses pendidikan di Tamansiswa,
juga menggunakan seni sebagai salah satu sarana pendidikan. Dimasukkannya
bidang seni dalam kurikulum pendidikannya, hal ini bertujuan untuk
menyeimbangkan antara intelektualitas dan budi pekerti. Pendidikan seni ini bukannya untuk menjadikan anak didik
sebagai seniman, melainkan untuk menghidupkan dan mengembangkan kemampuan
penghayatan estetika mereka. Karena melalui seni, muatan pelajaran etika,
norma, dan perilaku dapat disampaikan kepada anak didik. Dan menurutnya juga, kesenian
yang mempunyai keteraturan (wirama), kelembutan (wirasa), dan
keindahan (wiraga) akan sangat berpengaruh dalam pembentukan kepribadian
anak.[14]
Menurut Abuddin Nata,
berdasarkan informasi tersebut di atas, terlihat dengan jelas bahwa Ki Hadjar secara eksplisit, tidak berbicara tentang
kurikulum dalam pengertian sebagai kurikulum yang bersifat konsepsional
teoritis akademis sebagaimana yang dikenal sekarang. Dalam konteks ini kita dapat mengatakan bahwa Ki
Hadjar tidak memiliki kapasitas sebagai seorang teoritisi murni semata-mata. Ki
Hadjar lebih memperlihatkan perpaduan antara teoritisi dan praktisi. Sebagai
teoritisi, terlihat pada gagasan dan pemikirannya yang didasarkan pada
kebutuhan obyektif masyarakat serta situasi kultural yang berkembang pada zamannya.
Sedangkan sebagai praktisi, terlihat pada upaya melaksanakan gagasan dan
pemikirannya itu.
Hal ini terbukti, yang
dibicarakan oleh Ki Hadjar adalah bahan pelajaran atau sejumlah mata pelajaran
yang perlu diajarkan kepada para siswa sesuai dengan tingkatannya, yakni usia
kanak-kanak, usia anak/remaja dan usia dewasa. Kesesuaian mata pelajaran dengan
tingkat usia anak ini amat mendapatkan perhatian dan penekanan yang spesifik
dari Ki Hadjar. Hal yang demikian selain memperlihatkan kedalaman wawasannya
tentang psikologi anak, juga karena tanggung jawabnya yang demikian besar
terhadap keberhasilan pendidikan, yang bertolak dari pemahaman yang tepat
terhadap kondisi kejiwaan, psikologis dan fisiologis peserta didik.[15]
Abuddin Nata menambahi, bahwa pemikiran dan gagasan Ki Hadjar tentang mata
pelajaran, secara substansial tampak masih cukup relevan untuk diterapkan di masa sekarang. Menurutnya, Bagi kalangan
praktisi pendidikan, mulai dari tingkat yang paling dasar, yaitu taman
kanak-kanak sampai perguruan tinggi dapat mengambil model atau
sekurang-kurannya sebagai
bahan perbandingan dari model pendidikan yang akan dikembangkan. Hal lain yang
cukup menarik dari pemikiran dan gagasan Ki Hadjar tentang mata pelajaran
tersebut di atas adalah wawasan yang bersifat global dan mendunia. Hal ini
terlihat dari adanya mata pelajaran bahasa asing, khususnya bahasa Inggris yang
merupakan syarat untuk dapat melakukan pergaulan pada tingkat dunia. Hal yang menarik lainnya adalah bahwa ia
amat mementingkan pendidikan kanak-kanak, kesenian, kekeluargaan,
ke-Indonesiaan, kejiwaan, kesopanan, dan bahasa, baik bahasa daerah, bahasa
Indonesia maupun bahasa asing. Pada seluruh mata pelajaran ini juga terlihat
adanya hubungan antara yang satu dengan yang lainnya.[16]
Melihat uraian di atas, terlihat bahwa pemikiran dan gagasan Ki Hadjar dalam bidang
kurikulum terlihat sangat dipengaruhi oleh semangat kemandirian yang
dibangunnya dengan bertumpu pada budaya bangsa sendiri, yaitu budaya Indonesia.
Sungguhpun ia dibesarkan dalam lingkungan pendidikan Belanda, tapi ia laksana
ikan dalam laut. Sungguhpun air laut itu asin, tapi ikan tidak asin, kecuali
sengaja diasin. Ki Hadjar memperlihatkan kejeniusan, keorisinilan, dan
kemandiriannya dalam menyusun dan mengembangkan kurikulum (mata pelajaran).[17]
C.
Metode Pengajaran Ki Hadjar
Menurut Ki Hadjar, yang
dimaksud dengan metode pendidikan adalah alat-alat yang pokok atau cara-caranya
mendidik. Ia berpendapat, bahwa cara atau metode dalam mendidik anak-anak itu
amat banyak, akan tetapi pada inti
pokoknya dapat dibagi menjadi lima macam metode, diantaranya:
a)
metode memberi contoh (voorbeeld)
b)
metode pembiasaan (pakulinan, gewoontevorming)
c)
metode pengajaran (leering, wulang-wuruk)
d)
metode perintah, paksaan dan hukuman (regeering en
tucht)
e)
metode laku (zelfbeheercshing, zelfdiscipline)
f) metode
pengalaman lahir dan batih (nglakoni, ngrasa, beleving).[18]
Metode atau cara-cara
itu tidak perlu dilakukan semuanya, bahkan ada kaum pendidik yang tidak mufakat
adanya salah satu bagian dari pada yang termaktub itu. Misalnya
pendidik-pendidik dari fihak pengikut faham ”pendidikan bebas”, mereka tidak
suka memakai cara atau metode perintah, paksaan dan hukuman. Begitu juga Ki
Hadjar Dewantara, ia sangat menentang konsepsi pendidikan yang menghendaki
tindakan sewenang-wenang dan tidak manusiawi. Hal ini tercermin dalam
konsepsinya yang menentang konsepsi pendidikan yang bersyaratkan ”paksaan,
hukuman, ketertiban” (regering–tucht-orde) yang dianggap memperkosa
kehidupan anak dan bertentangan dengan pendidikan merdeka. Berdasarkan konsepsi
inilah Ki Hadjar menanamkan jiwa merdeka di sanubari bangsa Indonesia melalui
pendidikan.[19]
Sedangkan metode-metode
lainnya, yang digagas Ki Hadjar dalam proses pendidikannya, adalah:
1)
Metode keterampilan (Pekerjaan Tangan). Taman Indrya
mulai zaman Belanda, dalam segala pelajaran dan kesibukannya, serta pemberian
kesenangan kepada anak-anak, selalu dicari hubungan dan kesesuaian dengan alam
anak-anak rakyat sendiri. Misalnya anak-anak dipelajari membuat segala
pekerjaan tangan dengan daun-daunan, rumput, lidi, dan lainnya (seperti membuat
topi, mahkota, wayang, bungkus ketupat, barang-barang hiasan, dan lain-lain);
mengutas bermacam-macam kembang hingga menjadi gelang, kalung dan hiasan-hiasan
pakaian lainnya dengan serba indah. Maksud daripada metode tersebut adalah agar
anak-anak jangan sampai hidup berpisahan dengan masyarakatnya. Di samping itu,
anak-anak diberi juga pekerjaan tangan yang menggunakan alat-alat modern.
2)
Metode seni suara, tari, dan drama, dalam
kelangsungan penerapan metode ini, Ki Hadjar Dewantara mulai mengarang buku
yang diberi judul metode “Nyanyi Jawa” (sari swara), untuk perguruannya
Tamansiswa pada tahun 1930. Metode ini, ia tidak diberi nama metode Dewantara,
akan tetapi diberi nama metode “sari swara”.[20]
3)
Metode ”Asah, Asih, Asuh” (care and dedication
based on love), metode ini sesuai dengan sistem pendidikan yang digagas Ki
Hadjar Dewantara, yaitu ”sistem among”.
4)
Metode ”Tri-Kon” (Kontinu, Konvergen, Konsentris). Pendidikan Ki
Hadjar tidak bersifat statis dan
konservatif. hal ini dapat dilihat dari teorinya tentang kebudayaan yaitu teori
”Tri-Kon”: (a) Kontinu, maksudnya Kontinu dengan apa yang telah
silam, (b) Konvergen,
dengan jalannya kebudayaan-kebudayaan lainnya, dan (c) Konsentris, dalam peraturan yang besar,
yaitu bersatu namun tetap
mempunyai sifat kepribadian.[21]
5)
Metode ”Tri-Nga”, yang terdiri dari ngerti
(mengetahui), ngrasa (memahami) dan nglakoni (melakukan).
Maknanya ialah, tujuan belajar itu pada dasarnya ialah meningkatkan pengetahuan
anak didik tentang apa yang dipelajarinya, mengasah rasa untuk meningkatkan
pemahaman tentang apa yang diketahuinya, serta meningkatkan kemampuan untuk
melaksanakan apa yang dipelajarinya.
6)
Metode ”Tri Pusat Pendidikan (Tri Senta
Pendidikan)”, menurut Ki Hadjar Dewantara metode atau proses ”memanusiakan” manusia tersebut harus
dilaksanakan di tiga lembaga yaitu lembaga keluarga, sekolah dan masyarakat
yang disebut dengan ”Tri Pusat Pendidikan” atau
”Tri Sentra Pendidikan”. Ki
Gunawan menjelaskan bahwasannya dengan pandanagn seperti itu Ki Hadjar tidak memandang sekolah atau perguruan
sebagai lembaga yang mempunyai otoritas mutlak dalam pendidikan seorang anak. Ki Hadjar justru memandang
pendidkan sebagai proses yang melibatkan unsur-unsur lain di luar perguruan menurut
kapasitasnya masing-masing.[22]
7)
Metode natur dan evolusi, Ki Hadjar
memberikan komentar bahwa sesungguhnya metode pendidikan Taman Kanak-kanak yang
dikemukakan oleh Frobel dan Montesori sebenarnya sudah dimiliki oleh bangsa
Indonesia sendiri, yaitu metode Natur dan Evolusi (kodrat
iradat), atau metode kaki among
nini among, yaitu metode mong
siswa.[23]
D. Inti Kurikulum 2013.
Dalam
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No.2/1989 pasal 39 ayat (2) ditegaskan
bahwa
isi kurikulum setiap jenis, jalur, dan jenjang pendidikan wajib memuat, antara
lain pendidikan agama. Dan dalam penjelasannya dinyatakan bahwa pendidikan
agama merupakan usaha untuk memperkuat iman dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa sesuai dengan agama yang dianut oleh peserta didik yang bersangkutan
dengan memperhatikan tuntutan untuk menghormati agama lain dalam hubungan
kerukunan antar-umat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan
nasional.[24]
Dalam
konteks
Indonesia, para perancang kurikulum seharusnya memerhatikan filsafat Pancasila
sebagai dasar dalam pengembangan kurikulum. Hal ini sejalan dengan
Undang-undang No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, khususnya
Bab II pasal 2: “Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945”.[25] Rincian selanjutnya
tentang hal itu terdapat dalam Pasal 3: “Pendidikan Nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab”.[26]
Untuk
mengembangkan peserta didik sebagaimana yang digambarkan pasal 3 di atas, maka
para perancang kurikulum harus memperhatikan 5 (lima) kelompok mata
pelajaran yang harus diberikan kepada peserta didik. Kelima kelompok mata
pelajaran yang dimaksud adalah: (1) kelompok mata pelajaran agama dan akhlak
mulia, (2) kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian, (3)
kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi, (4) kelompok mata
pelajaran estetika, dan (5) kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga, dan
kesehatan.[27]
Kurikulum
harus dikembangkan dengan memerhatikan fase dan tugas perkembangan peserta
didik. Penyusunan struktur kurikulum dan ruang lingkupnya juga harus
memerhatikan fase dan tugas perkembangan peserta didik. Atas dasar ini, guru sebagai pelaksana kurikulum harus memahami secara sungguh-sungguh fase dan
tugas perkembangan peserta didik. Karena salah satu tugas guru adalah membantu
dan memfasilitasi peserta didik melakukan tugas-tugas perkembangannya.
Keberhasilan guru membantu dan memfasilitasi peserta didik merupakan salah satu
faktor keberhasilan mereka dalam proses pembelajaran.[28]
Hal
terpenting pertama yang harus diperhatikan berkaitan dengan kurikulum, bahwa,
kurikulum itu ditentukan oleh tujuan pendidikan yang hendak dicapai, sementara
tujuan pendidikan yang hendak dicapai itu mesti ditetapkan berdasarkan kehendak
manusia yang membuat kurikulum itu. Kehendak manusia, siapa pun, dimana pun,
sama, yaitu menghendaki terwujudnya manusia yang baik.[29]
E.
Kurikulum Dalam Pendidikan
Islam
Kurikulum menurut Ahmad tafsir adalah sejumlah mata
pelajaran yang harus ditempuh atau dipelajari oleh siswa. Lebih luas lagi
kurikulum bukan hanya sekedar rencana pelajaran, tetapi semua yang secara nyata
terjadi dalam proses pendidikan di sekolah. Tafsir menambahkan bahwa esensi
dari pada kurikulum ialah program. Bahkan kurikulum ialah program. Program
adalah hal yang sangat terkenal dalam ilmu pendidikan. Jadi kurikulum ialah
program dalam mencapai tujuan pendidikan.[30]
Sedangkan Abuddin Nata menjelaskan, bahwa dalam
penyusunan kurikulum pendidikan Islam diperlukan prinsip-prinsip umum sebagai
landasan agar kurikulum yang dihasilkan sesuai dengan tujuan yang diharapkan
baik oleh guru, siswa, orang tua maupun pemerintah.[31] Prinsip-prinsip
tersebut adalah sebagai berikut: (1) pertautan yang sempurna dengan agama,
yaitu setiap yang berkaitan dengan kurikulum, termasuk falsafah, tujuan, metode
dan lainnya harus berdasar pada agama dan akhlak Islam, (2) universal,
yaitu antara tujuan dan kandungan kurikulum harus meliputi segala aspek, dan
(3) balancing (keseimbangan),
yaitu antara tujuan dan kandungan kurikulum harus memiliki keseimbangan (balance)
dalam penyusunannya.[32] Agama Islam
sebagai sumber ilham kurikulum dalam menciptakan falsafah dan tujuannya
menekankan kepentingan duniawi dan ukhrawi dengan memperhatikan perkembangan
psikologis anak dan lingkungan sosial.[33]
Sementara Abdurrahman al-Nahlawi,
mendeskripsikan tentang karakter kurikulum Islami sebagai berikut: Kurikulum
Islam harus memiliki sistem pengajaran dan materi yang selaras dengan fitrah
manusia agar dapat mewujudkan tujuan pendidikan Islam yang fundamental, bebas
dari kontradiktif, efektif dan memberikan hasil pendidikan yang bersifat behaviristik.[34]
Umar bin
Khattab, dalam sejarah pendidikan Islam, juga telah menulis kurikulum
dan mengirimkannya kepada penguasa-penguasa Islam, yaitu,”Ajarilah anak-anak
kamu berenang dan berkuda, sampaikan kepada mereka pepatah-pepatah yang berlaku
dan sajak-sajak yang terbaik”. Disini Umar menyuruh supaya anak-anak diajarkan
berenang, berkuda, memanah, dan mengetahui pepatah-pepatah yang berlaku dan
sajak-sajak yang baik. Kita berkeyakinan bahwa Umar menyuruh anak belajar
berenang, olah raga, pepatah-pepatah Arab yang masyhur dan syair-syair Arab
yang indah dan menyenangkan tentunya setelah mereka mengetahui agama Islam,
menghafal al-Qur’an dan mempelajari al-Hadits. Kemudian dipilihkan syair-syair
yang terbaik perihal kesopanan yang tinggi, pujian terhadap ilmu, celaan
terhadap kejahilan, apa-apa yang mendorong untuk berbuat baik kepada ibu bapak,
melakukan amal baik, pelayanan terhadap tamu, dan lain-lain. Apabila anak sudah
mampu menghafalal Qur’an, dan mengerti pula tata bahasa arab, barulah dilihat,
diarahkan, dan diberi petunjuk pada ilmu yang sesuai dengan bakat dan
kesediaannya.[35]
Ibnu
Tamam
berkata, ”Yang seharusnya dilakukan oleh bapak-bapak sesudah anak-anaknya hafal
al-Qur’an ialah mengajari mereka menulis, berhitung, dan berenang”. Dengan
demikian nyata bahwa menghafal al-Qur’an merupakan titik utama dalam pelajaran
anak-anak di pondok pesantren.[36]
Ibnu Sina dalam bukunya As-Siyasah membentangkan
pendapat-pendapat berharga dalam kurikulum pendidkan anak-anak dan ia
menasihatkan supaya pendidikan anak-anak dimulai dengan pelajaran al-Qur’an,
yaitu segera setelah ada kesiapan secara fisik dan mental untuk belajar. Pada
waktu yang sama, ia belajar membaca, menulis dan mempelajari dasar-dasar agama.
Setelah itu, belajar syair-syair yang dimulai dengan yang singkat-singkat,
karena menghafal syair-syair pendek lebih gampang, disebabkan syairnya yang
pendek-pendek dan timbangannya pun lebih ringan.
Ibn
Khaldun
dalam hal didaktik dan kurikum mempunyai pandangan menarik. Menurutnya, para
pendidik semestinya mulai dengan yang mudah dan sederhana, baru perlahan-lahan
beranjak ke yang sukar dan rumit-rumit. Beliau mengkritik pendekatan keliru
yang umum dipakai waktu itu, yang dinilainya justru menghambat kemajuan
belajar, beban penugasan yang terlalu berat, penekanan yang keterlaluan
terhadap ilmu-ilmu alat (tata bahasa, logika dsb), dan pemakaian buku teks
ringkas (matan-matan) yang berlebihan.[37] Kurikulum pendidikan
Islam pada waktu dulu tidak tertentu atau terikat aturan sekian jam untuk suatu
mata pelajaran selama seminggu seperti halnya sekarang ini. Akan tetapi,
pelajaran dulu itu adalah umum sifatnya dan guru didik mempunyai kebebasan
memilih buku dan bahan-bahan pelajaran yang akan diajarkannya.[38]
Muhammad Athiyah al-Abrasy juga menekankan agar semua
mata pelajaran hendaklah mengandung pelajaran-pelajaran akhlak. Lebih lanjut ia
mengatakan: ”Setiap pendidik haruslah memikirkan akhlak dan memikirkan akhlak
keagamaan sebelum yang lain-lainnya, karena akhlak keagamaan adalah akhlak yang
tertinggi, sedangkan akhlak yang mulia itu adalah tiang dari pendidikan Islam”.[39]
F.
Penutup
Sebagai seorang pemikir dan praktisi pendidikan Ki Hadjar
dalam berbagai bukunya tidak terlibat dalam mengartikan kurikulum secara
teknis. Namun secara substansial dapat dijumpai bahwa Ki Hadjar dengan caranya
sendiri banyak membicarakan masalah kurikulum, yakni kurikulum dalam arti
konvensional, yaitu nama-nama mata pelajaran yang perlu diajarkan kepada para
siswa sesuai dengan tingkatannya.
Kurikulum pendidikan yang digagas
oleh Ki Hadjar, menurut penulis, ada persamaan dan berbedaan dengan kurikulum pendidikan
Islam. Persamaannya adalah sama-sama menekankan budi pekerti dan menuntun anak
didik agar menjadi manusia yang maju, cerdas dan berpengetahuan sosial
kemasyarakatan, yang pada akhirnya akan memberi bekal pada anak untuk
hidupnya kelak. Hal ini dapat ditemui pada ungkapan Ki
Hadjar, bahwa pelajaran yang dibolehkan pada anak-anak dibagi menjadi
dua. Pertama, mata pelajaran yang selain memberi pengetahuan atau
kepandaian juga berpengaruh kepada kemajuan batin, dalam arti memasakkan
(mematangkan) pikiran, rasa dan kemauan. Kedua, mata pelajaran yang akan
memberi bekal pada anak-anak untuk hidupnya kelak dalam dunia pergaulan umum;
yaitu mata pelajaran yang meliputi lapangan kultural dan kemasyarakatan.
Sedangkan
perbedaannya, terletak pada kurikulum Ki Hadjar yang tidak menekankan pada
nilai-nilai keimanan dan ketauhidan. Hal ini jika dibaca dalam perspektif
pendidikan Islam terlihat jelas bahwa kurikulum Ki Hadjar tidak mengaikatan
dengan nilai-nilai
agama (tauhid),
melainkan kurikulum yang dimaksudkan untuk penajaman budi dan batin
berdasarkan asas pancadharma. Sedangkan dalam
pendidikan Islam, keterikatan
antara kurikulum dan agama (keimanan) adalah sesuatu yang sangat urgen, vital, dan erat
hubungannya dengan pembelajaran. Sebagaimana ditegaskan dalam
penyusunan kurikulum pendidikan Islam, diperlukan prinsip-prinsip umum sebagai
landasan agar kurikulum yang dihasilkan sesuai dengan tujuan yang diharapkan
baik oleh guru, siswa, orang tua maupun pemerintah. Prinsip-prinsip tersebut
adalah pertautan yang sempurna dengan agama, yaitu setiap yang berkaitan dengan
kurikulum, termasuk falsafah, tujuan, metode dan lainnya
harus berdasar pada agama dan akhlak Islam.
Akhirnya, dengan memperhatikan
uraian di atas, kiranya ada
perbedaan yang nampak jelas antara kurikulum yang digagas Ki Hadjar, yang
berdasarkan Pancadharma dengan kurikulum pada pendidikan Islam.
Dapat kita pahami bahwa, Islam sebagai sumber ilham kurikulum, dalam
menciptakan falsafah dan tujuannya selalu menekankan kepentingan duniawi
dan ukhrawi, serta memperhatikan perkembangan psikologis anak dan
lingkungan sosial. Dengan tetap menggunakan timbangan al-Qur'an dan al-Sunnah
sebagai sumber kurikulum inti dalam pelaksanaan pendidikan Islam.
Daftar
Pustaka
Abrasyi, Muhammad Athiyyah al-, Prinsip-prinsip
Dasar Pendidikan Islam, Bandung:
Pustaka Setia, 2003.
Aly, Abdullah, Pendidikan
Islam Multikultural di Pesantren: Telaah terhadap Kurikulum Pondok Pesantren
Modern Islam Assalam Surakarta, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011.
Arif, Syamsuddin, Filsafat Pendidikan Islam: Sebuah Pengantar,
Makalah Kuliah Program Doktoral Universitas Ibn Khaldun, Bogor, 12 Desember 2009.
Dewantara, Ki Hadjar, Karya
Ki Hadjar Dewantara bagian kedua A (Kebudayaan), Yogyakarta: Majlis Luhur
Persatuan Tamansiswa, 1967.
-----------------, Taman
Indrya (Kindergarten), Yogyakarta: Majlis Luhur Persatuan Tamansiswa, 1959.
-----------------, Asas-asas
dan Dasar-dasar Tamansiswa, Yogyakarta: Majlis Luhur Tamaniswa, Cet. III,
1964.
-----------------, Karya
Ki Hadjar Dewantara: Bagian Pertama, (Pendidikan), Yogyakarta: Majlis Luhur
Tamansiswa, 1967.
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan
Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, Cet IV, 2008.
Nahlawi, Abdurrahman al-, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan
Masyarakat, Jakarta: Gema Insani Press, 1995.
Nata, Abuddin, Prespektif
Islam tentang Strategi Pembelajaran, Jakarta: Kencana, 2009.
----------------, Tokoh-tokoh
Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Rajagrafindo Persada,
2005.
Noordiana, Operet “Arya Penangsang Gugur” di Tamansiswa Yogyakarta.
Tesis, Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta Program
Studi Pengkajian Seni Minat Tari, Surakarta, 2006.
Surjomiharjo, Abdurrahman, Ki Hadjar Dewantara dan Taman Siswa dalam
Sejarah Indonesia Modern,
Yogyakarta: Sinar Harapan, 1986.
Tafsir, Ahmad, Filsafat Pendidikan
Islam, Bandung: Remaja Rosda Karya, Cet III, 2008.
Tauchid, Mochammad, Ki
Hadjar Dewantara: Pahlawan dan Pelopor Pendidikan Nasional, Jogjakarta:
Madjelis Luhur Persatuan Tamansiswa, 1968.
Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru Dan Dosen,
Jakarta: Depag Dirjen Pendis, 2006.
[1] Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam
di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005, hlm. 127.
[2] Abdurrahman
Surjomiharjo, Ki Hadjar Dewantara dan
Taman Siswa dalam Sejarah Indonesia Modern,
Jakarta: Sinar Harapan, 1986, hlm. 1.
[3] Moch. Tauchid, Ki Hadjar
Dewantara Pahlawan dan Pelopor Pendidikan Nasional, Yogyakarta: Majlis Luhur Persatuan Tamansiswa, 1968, hlm.
73.
[6] Ki Hadjar Dewantara, Karya Ki Hadjar
Dewantara: Bagian Pertama, Pendidikan, Yogyakarta, Majlis Luhur Tamansiswa,
1967, hlm. 80.
[7] Ibid., hlm. 80.
[8] Ibid., hlm. 80.
[9] Ki Hadjar Dewantara mulai mengarang buku metode “Nyanyi Jawa”
(sari swara) pada tahun 1930. Metode ini sengaja tidak diberi nama metode
Dewantara, tetapi metode “sari swara”. Dalam Moch. Tauchid, Ki Hadjar Dewantara
Pahlawan dan Pelopor Pendidikan Nasional, hlm. 18.
[10] Ki Hadjar Dewantara, Pendidikan, hlm. 81.
[11] Ibid., hlm. 27.
[12] Ki Hadjar Dewantara, Asas-asas dan
Dasar-dasar Tamansiswa, Yogyakarta: Majlis Luhur Tamansiswa, 1964, Cet III,
hlm. 23.
[13] Ibid., hlm 27.
[14] Noordiana, Operet
“Arya Penangsang Gugur” di Tamansiswa Yogyakarta. Tesis, Program Pascasarjana Institut Seni
Indonesia (ISI) Surakarta Program Studi Pengkajian Seni Minat Tari, Surakarta, 2006, hlm.
16.
[15] Abuddin Nata, Tokoh-tokoh, hlm. 137-138.
[16] Abuddin Nata, Tokoh-tokoh, hlm. 138.
[17] Ibid., hlm. 138
[18] Ki Hadjar Dewantara, Pendidikan, hlm. 38.
[19] Ibid., hlm. 38.
[20] Mochammad Tauchid, Ki Hadjar Dewantara:
Pahlawan dan Pelopor Pendidikan Nasional, Jogjakarta:
Madjelis Luhur Persatuan Tamansiswa, 1968, hlm. 18
[21] Ki Hadjar Dewantara, Karya Ki Hadjar Dewantara
bagian kedua A (Kebudayaan),
Yogyakarta: Majlis Luhur Persatuan Tamansiswa, 1967, hlm 100.
[22] Ki Gunawan, Aktualisasi Tut
Wuri Handayani dalam Etika Profesi Guru,
Yogyakarta: Majlis Luhur Tamansiswa, 1990, hlm. 36
[23] Ibid., hlm. 37.
[31] Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Indonesia pada Periode Klasik dan
Pertengahan, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2004,hlm. 15.
[34] Abdurrahman al-Nahlawi, Pendidikan
Islam, hlm, 196.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar