Kamis, 19 Juni 2014

Pemikiran Kurikulum Ki Hadjar Dewantara Dan Kurikulum 2013 Perspektif Pendidikan Islam



Pemikiran Kurikulum Ki Hadjar Dewantara
Dan Kurikulum 2013 Perspektif Pendidikan Islam

Oleh: Dr. Muthoifin, M.Ag


A.    Pendahuluan
Membicarakan masalah pendidikan pada umumnya serta pendidikan Islam pada khususnya di Indonesia tidak dapat ditinggalkan pembicaraan terhadap tokoh yang bernama Ki Hadjar Dewantara, seorang pakar yang berkecimpung dan mengonsentrasikan keahliannya dalam bidang pendidikan. Hal yang demikian itu disebabkan berbagai konsep strategis tentang pendidikan di Indonesia hampir seluruh aspeknya senantiasa merujuk pada pemikirannya.[1]
Sebagaimana diungkapkan Abdurrahman Suryomiharjo, seorang sejarahwan Ki Hadjar Dewantara dikenal secara luas baik di dalam maupun di luar negeri. Ia dikenal karena perannya dalam  pendidikan nasional yang tidak bisa dilupakan oleh bangsa Indonesia.[2]
Sedangkan Moch. Tauchid, seorang aktifis Tamansiswa juga menyatakan, meskipun banyak pro dan kontra, Ki Hadjar yang tanggal lahirnya dijadikan hari pendidikan nasional, sesungguhnya ketetapan tersebut sudahlah tepat, karena berkat konsepsi Ki Hadjar dibidang pendidikan, antara lain: Teori Tripusat Pendidikan, Sistem Among, Tut Wuri Handayani, Pancadharma dan lain-lainnya serta tex books ilmu pendidikan, telah mensejajarkan Ki Hadjar dengan tokoh-tokoh pendidikan dunia, seperti Frobel, Montessorie, Peztalozzi, John Dewey, Rabindranat Tagore dan lain-lain. Yang diwarisikan darinya adalah jasa-jasa dan jiwa pendidik yang tidak memihak golongan, tetapi bersifat nasional bukan”.[3]
Begitu juga, berbagai aspek yang terkait dengan pendidikan nacional seperti visi, misi, tujuan, kurikulum dan tahapan pendidikan, menurut Ki Hadjar harus dirumuskan berdasarkan kemauan bangsa Indonesia itu sendiri. Gagasan dan pemikiran Ki Hadjar inilah yang kemudian menjadi acuan penyelenggaraan pendidikan nasional hingga sekarang.[4]
B.     Kurikulum Ki Hadjar Dewantara
Sebagai seorang pemikir dan praktisi pendidikan, Ki Hadjar dalam berbagai bukunya tidak terlibat dalam mengartikan kurikulum secara teknis. Namun secara substansial, dapat dijumpai bahwa Ki Hadjar dengan caranya sendiri banyak membicarakan masalah kurikulum, yakni kurikulum dalam arti konvensional, yaitu nama-nama mata pelajaran yang perlu diajarkan kepada para siswa sesuai dengan tingkatannya.[5] Dalam kaitan ini, Ki Hadjar Dewantara antara lain mengatakan sebagai berikut:
Pelajaran yang dibolehkan kepada anak-anak boleh dibagi menjadi dua. Pertama, mata pelajaran yang selain memberi pengetahuan atau kepandaian juga berpengaruh kepada kemajuan batin, dalam arti memasakkan (mematangkan) pikiran, rasa dan kemauan. Sedangkan yang Kedua, adalah mata pelajaran yang akan memberi bekal pada anak-anak untuk hidupnya kelak dalam dunia pergaulan umum; yaitu mata pelajaran yang meliputi lapangan kultural dan kemasyarakatan.[6]

Pada bagian berikutnya Ki Hadjar mengatakan:
Bahwa pelajaran yang menajamkan pikiran dan berdasarkan kemasyarakatan itu umumnya menjadi pokoknya program pendidikan secara Barat, yang kita jumpai dalam sistem sekolah dengan ekor-ekornya: intelektualisme dan materialisme, yaitu mendewakan angan-angan dan keduniaan. Adapun pendidikan secara Timur yang sekarang juga mulai dimasukkan dalam cara pendidikan di Eropa, biasanya mengutamakan keluhuran budi pekerti.[7]
Dengan ungkapan tersebut, terlihat jelas bahwa Ki Hadjar menginginkan agar bahan pelajaran yang diberikan mengarah pada pembentukan kepribadian yang memiliki kemajuan yang seimbang antara dimensi intelektual dan emosional, duniawi dan ukhrawi, material dan spiritual sebagaimana telah diuraikan di atas. Bahan pelajaran yang diberikan dalam kegiatan pendidikan adalah pelajaran yang memajukan intelek dan kemasyarakatan, dengan memberikan ilmu dan kepandaian kepada anak-anak kita yang ditujukan kepada matangnya batin, yaitu halusnya perasaan serta teguh, tetap dan luhurnya kemauan yang akhirnya dapat menyesuaikan hidupnya anak dengan dunianya (alam individu, alam kebangsaan, dan alam kemanusiaan); yang kesemuanya ini dimaksud untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan, bagi orang seorang, serta di alam pergaulannya dengan orang-orang lain dapat dicapai pula tertib dan damai.[8]
Selain mempertimbangkan faktor-faktor keseimbangan hidup sebagaimana  tersebut di atas, maka pelajaran (kurikulum) yang diberikan kepada anak didik juga harus bertolak dari kodrat manusia yang memiliki sifat dan ciri-ciri kejiwaan yang sesuai dengan perkembangan usianya. Sejalan dengan ini, Ki Hadjar menguraikan bahan pelajaran sebagai berikut:
Pertama, untuk anak usia Taman Kanak-kanak hendakya diajarkan: 1) permainan dan olahraga dengan nyanyian anak-anak dan tari (pemeliharaan badan secara rhytms), 2) nyanyian rakyat (macapat, tembang, dan gending di tanah Jawa); menggambar corak dan warna, merangkai bunga, menyulam daun pisang yang disobek-sobek atau janur. Latihan ini diberikan untuk kesempurnaan pancaindera yang dihubungkan dengan rasa, 3) cerita yang berwujud dongeng, mitologis dan historis (tambo hanya yang mengenai daerahnya) dihubungkan dengan pelajaran bahasa dan lagu (metode Sari Swara),[9] dan 4) pelajaran mengenal keadaan tempat kelilingnya si anak selaku persediaan pelajaran ilmu alam, ilmu kodrat, ilmu bumi, dan ilmu negeri (kemasyarakatan dan kenasionalan).
Kedua, untuk taman muda (masa wiraga wirama), hendaknya diberikan pelajaran: 1) olahraga, pencak dan tari, 2) nyanyian (di tanah Jawa: tembang macapat, tembang gede, dan tembang gending), dan buat yang cakap dengan disertai gamelan (instrumental), selanjutnya menggambar menurut kepandaian dan mulai berkenalan dengan alam kesenian Indonesia Raya dan Asia, 3) bahasa dan cerita keseusasteraan, tambo dan keagamaan, mulai dari alam daerah, kemudian alam Indonesia dan akhirnya ikhtisar dari Asia, 4) pengetahuan tentang kodrat alam, bumi, negeri dan pergaulan umum di tanah airnya, di daerah Asia dan di benua lain-lainnya.
Ketiga, untuk taman dewasa (masa wirama) hendaknya diajarkan: 1) olahraga diteruskan dengan tujuan agar dapat mempertahankan diri, 2) tari dilanjutkan nyanyian dan gending, menggambar dan kesenian lain-lainnya dimajukan, mulai belajar mengenal alam kesenian asing (Eropa), 3) bahasa dan cerita keseusasteraan daerah dan Indonesia, bahasa asing yang dapat menghubungkan alam nasional (batin dan lahir) dengan alam dunia (bahasa Inggris), ilmu keagamaan, ”mythen” dan ”legenden” dari luar Indonesia, 4) ilmu negeri dari Indonesia sekarang dan dahulu serta pokok pangkalnya sosiologi dan ekonomi, penuntun anak-anak mengadakan perhimpunan umum, koperasi, perusahaan, majalah, debating club, dan badan pertolongan dan sebagainya.[10]
Ki Hadjar juga menganjurkan, sebaiknya setiap pendidikan yang diberikan kepada anak didik itu didasarkan atas ”ilmu syarat-syarat pendidikan”. Pendidikan yang teratur yaitu pendidikan yang bersandar atas pengetahuan, yang dinamakan ”ilmu pendidikan”. Ilmu ini tidak berdiri sendiri, akan tetapi masih memakai ilmu-ilmu lainya, sebagaimna tersebut di atas, yaitu ”ilmu syarat-syarat pendidikan” (hulpwetenschappen). Ilmu ini terdiri dari lima jenis, antara lain:
(1)  ilmu hidup batin manusia (ilmu jiwa, psychologie),
(2)  ilmu hidup jasmani manusia (fysiologie),
(3)  ilmu keadaan data kesopanan (etika atau moral),
(4)  ilmu keindahan atau ketertiban lahir (aesthetika), dan
(5)  ilmu tambo pendidikan (ikhtisar cara-cara pendidikan).[11]
Untuk mengetahui pentingnya mempunyai ”pengetahuan” kelima macam ilmu itu dalam kaitannya dengan kurikulum pendidikan, maka Ki Hadjar memberi perbandingan (analogi) yang sangat mudah dimengerti, yaitu antara keadaan seorang ”juru didik” dengan seorang ”tukang ukir kayu”. Lebih lanjut ia menyatakan:
Seorang pengukir kayu barang tentu wajib mempunyai pengetahuan yang dalam dan luas tentang hakekatnya atau keadaannya kayu; jadi harus tau akan ilmu kayu (lihat no1 dan 2). ia wajib mengetahui mana kayu-kayu yang keras dan yang tidak keras, yang boleh dipergunakan untuk ukir-ukiran yang halus atau yang kasar, begitu seterusnya. Karena pendidikan itu ”mengukir” manusia, sedangkan manusia mempunyai hidup lahir dan batin, maka ilmu kemanusiaan itu ada dua macamnya, yaitu ”psychologie” dan fysiologie”, seperti tersebut diatas (no 1 dan 2).
Seorang pengukir kayu yang hendak mewujudkan pekerjaan ukiran-ukiran yang baik, haruslah mengerti tentang keindahan-keindahan ukiran. Begitu juga seorang pendidik, sama halnya harus mengerti tentang keindahan-keindahan batin dan lahir (ethika dan aesthetika), karena manusia itu bersifat batin dan lahir (lihat no. 3 dan 4).
Seorang pengukir kayu dapat mewujudkan ukiran-ukiran yang bagus, kalau ia mempunyai pengetahuan tentang macam-macam ukiran, yang telah diadakan oleh pengukir-pengukir lainnya, pada zaman sekarang dan zaman dahulu, di negerinya sendiri atau di negeri asing. Itulah ilmu ”tambo pendidikan” buat kaum pendidik.[12]
Dengan gambaran perbandingan tersebut di atas, menurut Ki Hadjar, tidak usah memberi keterangan yang panjang lebar, karena orang akan paham dan dapat membuat keterangan dan kesimpulan sendiri. Selanjutnya berdasarkan pendidikan yang berbasis ”ilmu syarat-syarat pendidikan” diatas, Ki Hadjar berharap pendidikan tersebut bisa menempatkan anak didik tidak hanya sebagai obyek pendidikan, akan tetapi juga menempatkan anak didik sebagai subyek pendidikan. Dengan begitu pendidikan tidak boleh merasa kuasa yang bisa berbuat sesuka hati atas anak didik. Sebaliknya, anak didik juga tidak boleh merasa berhak dan berkuasa menuntut pendidik apabila mereka tidak berhasil ketika mereka keluar dari suatu lembaga pendidikan.[13]
Ki Hadjar, dalam menjalankan proses pendidikan di Tamansiswa, juga menggunakan seni sebagai salah satu sarana pendidikan. Dimasukkannya bidang seni dalam kurikulum pendidikannya, hal ini bertujuan untuk menyeimbangkan antara intelektualitas dan budi pekerti. Pendidikan seni ini bukannya untuk menjadikan anak didik sebagai seniman, melainkan untuk menghidupkan dan mengembangkan kemampuan penghayatan estetika mereka. Karena melalui seni, muatan pelajaran etika, norma, dan perilaku dapat disampaikan kepada anak didik. Dan menurutnya juga, kesenian yang mempunyai keteraturan (wirama), kelembutan (wirasa), dan keindahan (wiraga) akan sangat berpengaruh dalam pembentukan kepribadian anak.[14]
Menurut Abuddin Nata, berdasarkan informasi tersebut di atas, terlihat dengan jelas bahwa Ki Hadjar secara eksplisit, tidak berbicara tentang kurikulum dalam pengertian sebagai kurikulum yang bersifat konsepsional teoritis akademis sebagaimana yang dikenal sekarang. Dalam konteks ini kita dapat mengatakan bahwa Ki Hadjar tidak memiliki kapasitas sebagai seorang teoritisi murni semata-mata. Ki Hadjar lebih memperlihatkan perpaduan antara teoritisi dan praktisi. Sebagai teoritisi, terlihat pada gagasan dan pemikirannya yang didasarkan pada kebutuhan obyektif masyarakat serta situasi kultural yang berkembang pada zamannya. Sedangkan sebagai praktisi, terlihat pada upaya melaksanakan gagasan dan pemikirannya itu.
Hal ini terbukti, yang dibicarakan oleh Ki Hadjar adalah bahan pelajaran atau sejumlah mata pelajaran yang perlu diajarkan kepada para siswa sesuai dengan tingkatannya, yakni usia kanak-kanak, usia anak/remaja dan usia dewasa. Kesesuaian mata pelajaran dengan tingkat usia anak ini amat mendapatkan perhatian dan penekanan yang spesifik dari Ki Hadjar. Hal yang demikian selain memperlihatkan kedalaman wawasannya tentang psikologi anak, juga karena tanggung jawabnya yang demikian besar terhadap keberhasilan pendidikan, yang bertolak dari pemahaman yang tepat terhadap kondisi kejiwaan, psikologis dan fisiologis peserta didik.[15]
Abuddin Nata menambahi, bahwa pemikiran dan gagasan Ki Hadjar tentang mata pelajaran, secara substansial tampak masih cukup relevan untuk diterapkan di masa sekarang. Menurutnya, Bagi kalangan praktisi pendidikan, mulai dari tingkat yang paling dasar, yaitu taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi dapat mengambil model atau sekurang-kurannya sebagai bahan perbandingan dari model pendidikan yang akan dikembangkan. Hal lain yang cukup menarik dari pemikiran dan gagasan Ki Hadjar tentang mata pelajaran tersebut di atas adalah wawasan yang bersifat global dan mendunia. Hal ini terlihat dari adanya mata pelajaran bahasa asing, khususnya bahasa Inggris yang merupakan syarat untuk dapat melakukan pergaulan pada tingkat dunia. Hal yang menarik lainnya adalah bahwa ia amat mementingkan pendidikan kanak-kanak, kesenian, kekeluargaan, ke-Indonesiaan, kejiwaan, kesopanan, dan bahasa, baik bahasa daerah, bahasa Indonesia maupun bahasa asing. Pada seluruh mata pelajaran ini juga terlihat adanya hubungan antara yang satu dengan yang lainnya.[16]
Melihat uraian di atas, terlihat bahwa pemikiran dan gagasan Ki Hadjar dalam bidang kurikulum terlihat sangat dipengaruhi oleh semangat kemandirian yang dibangunnya dengan bertumpu pada budaya bangsa sendiri, yaitu budaya Indonesia. Sungguhpun ia dibesarkan dalam lingkungan pendidikan Belanda, tapi ia laksana ikan dalam laut. Sungguhpun air laut itu asin, tapi ikan tidak asin, kecuali sengaja diasin. Ki Hadjar memperlihatkan kejeniusan, keorisinilan, dan kemandiriannya dalam menyusun dan mengembangkan kurikulum (mata pelajaran).[17]
C.    Metode Pengajaran Ki Hadjar
Menurut Ki Hadjar, yang dimaksud dengan metode pendidikan adalah alat-alat yang pokok atau cara-caranya mendidik. Ia berpendapat, bahwa cara atau metode dalam mendidik anak-anak itu amat banyak, akan tetapi pada inti pokoknya dapat dibagi menjadi lima macam metode, diantaranya:
a)        metode memberi contoh (voorbeeld)
b)        metode pembiasaan (pakulinan, gewoontevorming)
c)        metode pengajaran (leering, wulang-wuruk)
d)       metode perintah, paksaan dan hukuman (regeering en tucht)
e)        metode laku (zelfbeheercshing, zelfdiscipline)
f)    metode pengalaman lahir dan batih (nglakoni, ngrasa, beleving).[18]
Metode atau cara-cara itu tidak perlu dilakukan semuanya, bahkan ada kaum pendidik yang tidak mufakat adanya salah satu bagian dari pada yang termaktub itu. Misalnya pendidik-pendidik dari fihak pengikut faham ”pendidikan bebas”, mereka tidak suka memakai cara atau metode perintah, paksaan dan hukuman. Begitu juga Ki Hadjar Dewantara, ia sangat menentang konsepsi pendidikan yang menghendaki tindakan sewenang-wenang dan tidak manusiawi. Hal ini tercermin dalam konsepsinya yang menentang konsepsi pendidikan yang bersyaratkan ”paksaan, hukuman, ketertiban” (regering–tucht-orde) yang dianggap memperkosa kehidupan anak dan bertentangan dengan pendidikan merdeka. Berdasarkan konsepsi inilah Ki Hadjar menanamkan jiwa merdeka di sanubari bangsa Indonesia melalui pendidikan.[19]
Sedangkan metode-metode lainnya, yang digagas Ki Hadjar dalam proses pendidikannya, adalah:
1)   Metode keterampilan (Pekerjaan Tangan). Taman Indrya mulai zaman Belanda, dalam segala pelajaran dan kesibukannya, serta pemberian kesenangan kepada anak-anak, selalu dicari hubungan dan kesesuaian dengan alam anak-anak rakyat sendiri. Misalnya anak-anak dipelajari membuat segala pekerjaan tangan dengan daun-daunan, rumput, lidi, dan lainnya (seperti membuat topi, mahkota, wayang, bungkus ketupat, barang-barang hiasan, dan lain-lain); mengutas bermacam-macam kembang hingga menjadi gelang, kalung dan hiasan-hiasan pakaian lainnya dengan serba indah. Maksud daripada metode tersebut adalah agar anak-anak jangan sampai hidup berpisahan dengan masyarakatnya. Di samping itu, anak-anak diberi juga pekerjaan tangan yang menggunakan alat-alat modern.
2)   Metode seni suara, tari, dan drama, dalam kelangsungan penerapan metode ini, Ki Hadjar Dewantara mulai mengarang buku yang diberi judul metode “Nyanyi Jawa” (sari swara), untuk perguruannya Tamansiswa pada tahun 1930. Metode ini, ia tidak diberi nama metode Dewantara, akan tetapi diberi nama metode “sari swara”.[20]
3)   Metode ”Asah, Asih, Asuh” (care and dedication based on love), metode ini sesuai dengan sistem pendidikan yang digagas Ki Hadjar Dewantara, yaitu ”sistem among”.
4)   Metode ”Tri-Kon” (Kontinu, Konvergen, Konsentris). Pendidikan Ki Hadjar tidak bersifat statis dan konservatif. hal ini dapat dilihat dari teorinya tentang kebudayaan yaitu teori ”Tri-Kon”: (a) Kontinu, maksudnya Kontinu dengan apa yang telah silam, (b) Konvergen, dengan jalannya kebudayaan-kebudayaan lainnya, dan (c) Konsentris, dalam peraturan yang besar, yaitu bersatu namun tetap mempunyai sifat kepribadian.[21]
5)   Metode ”Tri-Nga”, yang terdiri dari ngerti (mengetahui), ngrasa (memahami) dan nglakoni (melakukan). Maknanya ialah, tujuan belajar itu pada dasarnya ialah meningkatkan pengetahuan anak didik tentang apa yang dipelajarinya, mengasah rasa untuk meningkatkan pemahaman tentang apa yang diketahuinya, serta meningkatkan kemampuan untuk melaksanakan apa yang dipelajarinya.
6)   Metode ”Tri Pusat Pendidikan (Tri Senta Pendidikan)”, menurut Ki Hadjar Dewantara metode atau proses ”memanusiakan” manusia tersebut harus dilaksanakan di tiga lembaga yaitu lembaga keluarga, sekolah dan masyarakat yang disebut dengan ”Tri Pusat Pendidikan” atau ”Tri Sentra Pendidikan”. Ki Gunawan menjelaskan bahwasannya dengan pandanagn seperti itu Ki Hadjar tidak memandang sekolah atau perguruan sebagai lembaga yang mempunyai otoritas mutlak dalam pendidikan seorang anak. Ki Hadjar justru memandang pendidkan sebagai proses yang melibatkan unsur-unsur lain di luar perguruan menurut kapasitasnya masing-masing.[22]
7)   Metode natur dan evolusi, Ki Hadjar memberikan komentar bahwa sesungguhnya metode pendidikan Taman Kanak-kanak yang dikemukakan oleh Frobel dan Montesori sebenarnya sudah dimiliki oleh bangsa Indonesia sendiri, yaitu metode Natur dan Evolusi (kodrat iradat), atau metode kaki among nini among, yaitu metode  mong siswa.[23]

D.    Inti Kurikulum 2013.
Dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No.2/1989 pasal 39 ayat (2) ditegaskan bahwa isi kurikulum setiap jenis, jalur, dan jenjang pendidikan wajib memuat, antara lain pendidikan agama. Dan dalam penjelasannya dinyatakan bahwa pendidikan agama merupakan usaha untuk memperkuat iman dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama yang dianut oleh peserta didik yang bersangkutan dengan memperhatikan tuntutan untuk menghormati agama lain dalam hubungan kerukunan antar-umat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional.[24]
Dalam konteks Indonesia, para perancang kurikulum seharusnya memerhatikan filsafat Pancasila sebagai dasar dalam pengembangan kurikulum. Hal ini sejalan dengan Undang-undang No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, khususnya Bab II pasal 2: “Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945”.[25] Rincian selanjutnya tentang hal itu terdapat dalam Pasal 3: “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,  bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.[26]
Untuk mengembangkan peserta didik sebagaimana yang digambarkan pasal 3 di atas, maka para perancang kurikulum harus memperhatikan 5 (lima) kelompok mata pelajaran yang harus diberikan kepada peserta didik. Kelima kelompok mata pelajaran yang dimaksud adalah: (1) kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, (2) kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian, (3) kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi, (4) kelompok mata pelajaran estetika, dan (5) kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga, dan kesehatan.[27]
Kurikulum harus dikembangkan dengan memerhatikan fase dan tugas perkembangan peserta didik. Penyusunan struktur kurikulum dan ruang lingkupnya juga harus memerhatikan fase dan tugas perkembangan peserta didik. Atas dasar ini,  guru sebagai pelaksana kurikulum harus  memahami secara sungguh-sungguh fase dan tugas perkembangan peserta didik. Karena salah satu tugas guru adalah membantu dan memfasilitasi peserta didik melakukan tugas-tugas perkembangannya. Keberhasilan guru membantu dan memfasilitasi peserta didik merupakan salah satu faktor keberhasilan mereka dalam proses pembelajaran.[28]
Hal terpenting pertama yang harus diperhatikan berkaitan dengan kurikulum, bahwa, kurikulum itu ditentukan oleh tujuan pendidikan yang hendak dicapai, sementara tujuan pendidikan yang hendak dicapai itu mesti ditetapkan berdasarkan kehendak manusia yang membuat kurikulum itu. Kehendak manusia, siapa pun, dimana pun, sama, yaitu menghendaki terwujudnya manusia yang baik.[29]

E.     Kurikulum Dalam Pendidikan Islam
Kurikulum menurut Ahmad tafsir adalah sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh atau dipelajari oleh siswa. Lebih luas lagi kurikulum bukan hanya sekedar rencana pelajaran, tetapi semua yang secara nyata terjadi dalam proses pendidikan di sekolah. Tafsir menambahkan bahwa esensi dari pada kurikulum ialah program. Bahkan kurikulum ialah program. Program adalah hal yang sangat terkenal dalam ilmu pendidikan. Jadi kurikulum ialah program dalam mencapai tujuan pendidikan.[30]
Sedangkan Abuddin Nata menjelaskan, bahwa dalam penyusunan kurikulum pendidikan Islam diperlukan prinsip-prinsip umum sebagai landasan agar kurikulum yang dihasilkan sesuai dengan tujuan yang diharapkan baik oleh guru, siswa, orang tua maupun pemerintah.[31] Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut: (1) pertautan yang sempurna dengan agama, yaitu setiap yang berkaitan dengan kurikulum, termasuk falsafah, tujuan, metode dan lainnya harus berdasar pada agama dan akhlak Islam, (2) universal, yaitu antara tujuan dan kandungan kurikulum harus meliputi segala aspek, dan (3) balancing (keseimbangan), yaitu antara tujuan dan kandungan kurikulum harus memiliki keseimbangan (balance) dalam penyusunannya.[32] Agama Islam sebagai sumber ilham kurikulum dalam menciptakan falsafah dan tujuannya menekankan kepentingan duniawi dan ukhrawi dengan memperhatikan perkembangan psikologis anak dan lingkungan sosial.[33]
Sementara Abdurrahman al-Nahlawi, mendeskripsikan tentang karakter kurikulum Islami sebagai berikut: Kurikulum Islam harus memiliki sistem pengajaran dan materi yang selaras dengan fitrah manusia agar dapat mewujudkan tujuan pendidikan Islam yang fundamental, bebas dari kontradiktif, efektif dan memberikan hasil pendidikan yang bersifat behaviristik.[34]
Umar bin Khattab, dalam sejarah pendidikan Islam, juga telah menulis kurikulum dan mengirimkannya kepada penguasa-penguasa Islam, yaitu,”Ajarilah anak-anak kamu berenang dan berkuda, sampaikan kepada mereka pepatah-pepatah yang berlaku dan sajak-sajak yang terbaik”. Disini Umar menyuruh supaya anak-anak diajarkan berenang, berkuda, memanah, dan mengetahui pepatah-pepatah yang berlaku dan sajak-sajak yang baik. Kita berkeyakinan bahwa Umar menyuruh anak belajar berenang, olah raga, pepatah-pepatah Arab yang masyhur dan syair-syair Arab yang indah dan menyenangkan tentunya setelah mereka mengetahui agama Islam, menghafal al-Qur’an dan mempelajari al-Hadits. Kemudian dipilihkan syair-syair yang terbaik perihal kesopanan yang tinggi, pujian terhadap ilmu, celaan terhadap kejahilan, apa-apa yang mendorong untuk berbuat baik kepada ibu bapak, melakukan amal baik, pelayanan terhadap tamu, dan lain-lain. Apabila anak sudah mampu menghafalal Qur’an, dan mengerti pula tata bahasa arab, barulah dilihat, diarahkan, dan diberi petunjuk pada ilmu yang sesuai dengan bakat dan kesediaannya.[35]
Ibnu Tamam berkata, ”Yang seharusnya dilakukan oleh bapak-bapak sesudah anak-anaknya hafal al-Qur’an ialah mengajari mereka menulis, berhitung, dan berenang”. Dengan demikian nyata bahwa menghafal al-Qur’an merupakan titik utama dalam pelajaran anak-anak di pondok pesantren.[36]
Ibnu Sina dalam bukunya As-Siyasah membentangkan pendapat-pendapat berharga dalam kurikulum pendidkan anak-anak dan ia menasihatkan supaya pendidikan anak-anak dimulai dengan pelajaran al-Qur’an, yaitu segera setelah ada kesiapan secara fisik dan mental untuk belajar. Pada waktu yang sama, ia belajar membaca, menulis dan mempelajari dasar-dasar agama. Setelah itu, belajar syair-syair yang dimulai dengan yang singkat-singkat, karena menghafal syair-syair pendek lebih gampang, disebabkan syairnya yang pendek-pendek dan timbangannya pun lebih ringan.
Ibn Khaldun dalam hal didaktik dan kurikum mempunyai pandangan menarik. Menurutnya, para pendidik semestinya mulai dengan yang mudah dan sederhana, baru perlahan-lahan beranjak ke yang sukar dan rumit-rumit. Beliau mengkritik pendekatan keliru yang umum dipakai waktu itu, yang dinilainya justru menghambat kemajuan belajar, beban penugasan yang terlalu berat, penekanan yang keterlaluan terhadap ilmu-ilmu alat (tata bahasa, logika dsb), dan pemakaian buku teks ringkas (matan-matan) yang berlebihan.[37] Kurikulum pendidikan Islam pada waktu dulu tidak tertentu atau terikat aturan sekian jam untuk suatu mata pelajaran selama seminggu seperti halnya sekarang ini. Akan tetapi, pelajaran dulu itu adalah umum sifatnya dan guru didik mempunyai kebebasan memilih buku dan bahan-bahan pelajaran yang akan diajarkannya.[38]
Muhammad Athiyah al-Abrasy juga menekankan agar semua mata pelajaran hendaklah mengandung pelajaran-pelajaran akhlak. Lebih lanjut ia mengatakan: ”Setiap pendidik haruslah memikirkan akhlak dan memikirkan akhlak keagamaan sebelum yang lain-lainnya, karena akhlak keagamaan adalah akhlak yang tertinggi, sedangkan akhlak yang mulia itu adalah tiang dari pendidikan Islam”.[39]
F.     Penutup
Sebagai seorang pemikir dan praktisi pendidikan Ki Hadjar dalam berbagai bukunya tidak terlibat dalam mengartikan kurikulum secara teknis. Namun secara substansial dapat dijumpai bahwa Ki Hadjar dengan caranya sendiri banyak membicarakan masalah kurikulum, yakni kurikulum dalam arti konvensional, yaitu nama-nama mata pelajaran yang perlu diajarkan kepada para siswa sesuai dengan tingkatannya.
Kurikulum pendidikan yang digagas oleh Ki Hadjar, menurut penulis, ada persamaan dan berbedaan dengan kurikulum pendidikan Islam. Persamaannya adalah sama-sama menekankan budi pekerti dan menuntun anak didik agar menjadi manusia yang maju, cerdas dan berpengetahuan sosial kemasyarakatan, yang pada akhirnya akan memberi bekal pada anak untuk hidupnya kelak. Hal ini dapat ditemui pada ungkapan Ki Hadjar, bahwa pelajaran yang dibolehkan pada anak-anak dibagi menjadi dua. Pertama, mata pelajaran yang selain memberi pengetahuan atau kepandaian juga berpengaruh kepada kemajuan batin, dalam arti memasakkan (mematangkan) pikiran, rasa dan kemauan. Kedua, mata pelajaran yang akan memberi bekal pada anak-anak untuk hidupnya kelak dalam dunia pergaulan umum; yaitu mata pelajaran yang meliputi lapangan kultural dan kemasyarakatan.
Sedangkan perbedaannya, terletak pada kurikulum Ki Hadjar yang tidak menekankan pada nilai-nilai keimanan dan ketauhidan. Hal ini jika dibaca dalam perspektif pendidikan Islam terlihat jelas bahwa kurikulum Ki Hadjar tidak mengaikatan dengan nilai-nilai agama (tauhid), melainkan kurikulum yang dimaksudkan untuk penajaman budi dan batin berdasarkan asas pancadharma. Sedangkan dalam pendidikan Islam, keterikatan antara kurikulum dan agama (keimanan) adalah sesuatu yang sangat urgen, vital, dan erat hubungannya dengan pembelajaran. Sebagaimana ditegaskan dalam penyusunan kurikulum pendidikan Islam, diperlukan prinsip-prinsip umum sebagai landasan agar kurikulum yang dihasilkan sesuai dengan tujuan yang diharapkan baik oleh guru, siswa, orang tua maupun pemerintah. Prinsip-prinsip tersebut adalah pertautan yang sempurna dengan agama, yaitu setiap yang berkaitan dengan kurikulum, termasuk falsafah, tujuan, metode dan lainnya harus berdasar pada agama dan akhlak Islam.
Akhirnya, dengan memperhatikan uraian di atas, kiranya ada perbedaan yang nampak jelas antara kurikulum yang digagas Ki Hadjar, yang berdasarkan Pancadharma dengan kurikulum pada pendidikan Islam. Dapat kita pahami bahwa, Islam sebagai sumber ilham kurikulum, dalam menciptakan falsafah dan tujuannya selalu menekankan kepentingan duniawi dan ukhrawi, serta memperhatikan perkembangan psikologis anak dan lingkungan sosial. Dengan tetap menggunakan timbangan al-Qur'an dan al-Sunnah sebagai sumber kurikulum inti dalam pelaksanaan pendidikan Islam.  




Daftar Pustaka
Abrasyi, Muhammad Athiyyah al-, Prinsip-prinsip Dasar Pendidikan Islam,  Bandung: Pustaka Setia, 2003.
Aly, Abdullah, Pendidikan Islam Multikultural di Pesantren: Telaah terhadap Kurikulum Pondok Pesantren Modern Islam Assalam Surakarta, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011.
Arif, Syamsuddin, Filsafat Pendidikan Islam: Sebuah Pengantar, Makalah Kuliah Program Doktoral Universitas Ibn Khaldun,  Bogor, 12 Desember 2009.
Dewantara, Ki Hadjar, Karya Ki Hadjar Dewantara bagian kedua A (Kebudayaan), Yogyakarta: Majlis Luhur Persatuan Tamansiswa, 1967.
-----------------, Taman Indrya (Kindergarten), Yogyakarta: Majlis Luhur Persatuan Tamansiswa, 1959.
-----------------, Asas-asas dan Dasar-dasar Tamansiswa, Yogyakarta: Majlis Luhur Tamaniswa, Cet. III, 1964.
-----------------, Karya Ki Hadjar Dewantara: Bagian Pertama, (Pendidikan), Yogyakarta: Majlis Luhur Tamansiswa, 1967.
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, Cet IV, 2008.
Nahlawi, Abdurrahman al-, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat, Jakarta: Gema Insani Press, 1995.
Nata, Abuddin, Prespektif Islam tentang Strategi Pembelajaran, Jakarta: Kencana, 2009.
----------------, Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2005.
Noordiana, Operet “Arya Penangsang Gugur” di Tamansiswa Yogyakarta. Tesis, Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta Program Studi Pengkajian Seni Minat Tari, Surakarta, 2006.
Surjomiharjo, Abdurrahman,  Ki Hadjar Dewantara dan Taman Siswa dalam Sejarah Indonesia Modern,  Yogyakarta: Sinar Harapan, 1986.
Tafsir, Ahmad, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Remaja Rosda Karya, Cet III, 2008.
Tauchid, Mochammad, Ki Hadjar Dewantara: Pahlawan dan Pelopor Pendidikan Nasional, Jogjakarta: Madjelis Luhur Persatuan Tamansiswa, 1968.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru Dan Dosen, Jakarta: Depag Dirjen Pendis, 2006.


[1]     Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005, hlm. 127.
[2]     Abdurrahman Surjomiharjo, Ki Hadjar Dewantara dan Taman Siswa dalam Sejarah Indonesia Modern,  Jakarta: Sinar Harapan, 1986, hlm. 1.
[3]     Moch. Tauchid, Ki Hadjar Dewantara Pahlawan dan Pelopor Pendidikan Nasional, Yogyakarta:  Majlis Luhur Persatuan Tamansiswa, 1968, hlm. 73.
[4]     Abuddin Nata, Tokoh-tokoh, hlm. 126.
[5]     Ibid., hlm. 135.
[6]     Ki Hadjar Dewantara, Karya Ki Hadjar Dewantara: Bagian Pertama, Pendidikan, Yogyakarta, Majlis Luhur Tamansiswa, 1967, hlm. 80.
[7]     Ibid., hlm. 80.
[8]     Ibid., hlm. 80.
[9]     Ki Hadjar Dewantara mulai mengarang buku metode “Nyanyi Jawa” (sari swara) pada tahun 1930. Metode ini sengaja tidak diberi nama metode Dewantara, tetapi metode “sari swara”. Dalam  Moch. Tauchid, Ki Hadjar Dewantara Pahlawan dan Pelopor Pendidikan Nasional, hlm. 18.
[10]    Ki Hadjar Dewantara, Pendidikan, hlm. 81.
[11]    Ibid., hlm. 27.
[12]    Ki Hadjar Dewantara, Asas-asas dan Dasar-dasar Tamansiswa, Yogyakarta: Majlis Luhur Tamansiswa, 1964, Cet III, hlm. 23.
[13]    Ibid., hlm 27.
[14]    Noordiana, Operet “Arya Penangsang Gugur” di Tamansiswa Yogyakarta. Tesis, Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta Program Studi Pengkajian Seni Minat Tari, Surakarta, 2006, hlm. 16.
[15]    Abuddin Nata, Tokoh-tokoh, hlm. 137-138.
[16]    Abuddin Nata, Tokoh-tokoh, hlm. 138.
[17]    Ibid., hlm. 138
[18]    Ki Hadjar Dewantara, Pendidikan, hlm. 38.
[19]    Ibid., hlm. 38.
[20]    Mochammad Tauchid, Ki Hadjar Dewantara: Pahlawan dan Pelopor Pendidikan Nasional, Jogjakarta: Madjelis Luhur Persatuan Tamansiswa, 1968, hlm. 18
[21]    Ki Hadjar Dewantara, Karya Ki Hadjar Dewantara bagian kedua A (Kebudayaan), Yogyakarta: Majlis Luhur Persatuan Tamansiswa, 1967, hlm 100.
[22]    Ki Gunawan, Aktualisasi Tut Wuri Handayani dalam Etika Profesi Guru, Yogyakarta: Majlis Luhur Tamansiswa, 1990, hlm. 36
[23]    Ibid., hlm. 37.
[24]    Muhaimin, Paradigma Pendidikan, hlm. 75.
[25]    Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, hlm. 12.
[26]    Ibid., 12.
[27]    Peraturan Pemerintah RI No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasiona Pendidikan, hlm. 6.
[28]    Abdullah Aly, Pendidikan Islam, hlm. 59.
[29]    Ahmad Tafsir,  Filsafat Pendidikan, hlm. 100.
[30]    Ibid., hlm. 53.
[31]    Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Indonesia pada Periode Klasik dan Pertengahan, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2004,hlm. 15.
[32]    Muhaimin, Konsep Pendidikan Islam, Solo: Ramadhani, 1993, hlm. 33.
[33]    Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan, hlm, 16-17.
[34]    Abdurrahman al-Nahlawi, Pendidikan Islam, hlm, 196.
[35]    M. Athiyyah al-Abrasyi, Prinsip-prinsip Dasar, hlm. 168.
[36]    Ibid., hlm. 169.
[37]    Syamsuddin Arif, Filsafat Pendidikan, hlm. 7.
[38]    M. Athiyyah al-Abrasy, Prinsip-prinsip, hlm, 167.
[39]    Ibid., hlm. 13.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar