OPTIMALISASI
GERAKAN EKONOMI SYARIAH
UNTUK
SINERGISITAS, KEBERKAHAN, DAN PENCERAHAN BANGSA
Oleh:
Muthoifin, M.Ag
Guru
MA AL KAHFI Hidayatullah Surakarta.
Dalam kehidupan yang serba
materialistik dan kapitalistik ini, rasa-rasanya sangatlah sulit bagi seorang
untuk mendapatkan penghasilan yang halal dan baik. Masalahnya, hampir semua
bisnis dan pekerjaan telah tercemar dengan praktek-praktek yang diharamkan oleh
syariah. Mulai dari praktek riba sampai
masalah korupsi. Belum lagi ditambah praktek suap, manipulasi, ghibah,
memata-matai, dan lain sebagainya, telah menjadi semacam budaya kerja yang
sulit untuk dihindari.
Kerja tidak
lagi dipandang sebagai ibadah yang mesti mengikuti ketentuan halal dan haram.
Akan tetapi, kerja hanya dipandang sebagai cara untuk memperoleh penghasilan
dan harta sebanyak-banyaknya. Akibatnya, prinsip-prinsip syariah
dikesampingkan, bahkan dibuang sejauh-jauhnya demi apa yang dinamakan
profesionalitas dan target materi yang harus dicapai.
Padahal,
yang namanya nafkah halal dan baik merupakan kunci diterima atau tidaknya suatu
ibadah. Betapa banyak orang menjalankan ibadah kepada Allah Swt, namun dengan
pembiayaan yang haram. Mereka juga terus berdo’a memohon kepada Allah Swt
dengan berbagai macam permintaan dan harapan, sementara makanan yang mereka
makan, pakaian yang mereka kenakan berasal dari penghasilan yang tidak halal.
Lantas, bagaimana mungkin do’anya bisa terkabulkan?
Marilah kita
intropeksi diri, apakah apa yang kita kerjakan sudah sesuai dengan
prinsip-prinsip syariah?. Kalau memang belum, marilah kita budayakan
bermuamalah sesuai syariah, agar kita benar-benar mendapatkan penghasilan yang
halal serta memperoleh kehidupan yang penuh dengan keberkahan dan kebahagiaan
yang hakiki. Selain itu, kita juga ikut serta membangun perekonomian bangsa.
Nah, untuk itu,
diperlukan sinergisitas, totalitas, dan optimalisasi dalam menggelorakan dan
mengaplikasikan potensi-potensi yang ada dalam perekonomian syariah,
diantaranya: bisnis syariah, keuangan syariah, dan ZISWAF.
Optimalisasi Bisnis Syariah
Islam telah
menggariskan sejumlah aturan yang harus diperhatikan bagi seseorang yang hendak
berbisnis. Aturan ini ditetapkan agar seseorang mendapatkan keberkahan dan
keutamaan tatkala sedang berbisnis. Diantara aturan berbisnis dalam konsep
syariah adalah sebagai berikut:
Pertama. Amanah dalam bekerja. Seseorang harus memperhatikan
dan memenuhi semua transaksi yang berhubungan dengan pekerjaannya, mulai dari
waktu, tempat, jenis pekerjaan, kompensasi, dan lain sebagainya. Sebab, bekerja
adalah akad (janji) yang disertai dengan sejumlah konsekuensi. Jika seseorang
harus masuk dan mulai kerja jam 07.30 pagi, maka ia harus datang lebih awal
atau tepat pada waktunya. Keterlambatan tanpa adanya udzur syar’I dianggap
telah melanggar tansaksi, hal ini dianggap tidak amanah.
Kedua. Tidak berlaku curang. Seseorang tidak boleh berlaku
curang ketika diserahi suatu usaha tertentu. Larangan ini bersifat umum, mencakup
orang yang bekerja di instansi pemerintah maupun swasta. Salah satu bentuk
kecurangan adalah membuat laporan palsu, proposal yang dimark-up, mengeruk
keuntungan pribadi dengan mengatas-namakan instansi atau tempat kerjanya,
korupsi, kolusi, manipulasi, dan lain sebagainya. Karena Islam telah mengancam
dengan ancaman yang sangat keras bagi para pelaku penghianatan dan kecurangan.
Ketiga. Tidak merampas hak orang lain. Pada dasarnya, harta
dan darah seseorang adalah terjaga. Seseorang tidak diperbolehkan merampas
harta maupun kehormatan orang lain. Jika seseorang berprofesi dalam suatu
pekerjaan yang berakibat pada terampasnya harta atau kehormatan saudaranya yang
lain, maka ia telah berbuat suatu kedzaliman. Hal ini sangat dilarang dalam Islam.
Keempat. Tidak menipu, berdusta, bersumpah palsu, mengambil
suap, dan menghibah. Biasanya untuk meyakinkan atasan, klien, dan rekan
bisnisnya, seorang karyawan tidak jarang melakukan sumpah palsu, berdusta,
menipu, menyuap, menghibah, dan lainnya. Hal ini ia lakukan untuk menutupi
kesalahan-kesalahan yang ia perbuat, atau untuk meraih tujuan-tujuan yang
hendak dicapai. Padahal kesemuanya itu termasuk perbuatan melawan syariah.
Kelima. Tidak mengeksploitasi kecantikan dan ketampanan.
Pada dasarnya Islam telah melarang seseorang mempekerjakan orang lain untuk
dieksploitasi kecantikan dan ketampanannya. Seorang mesti diperkerjakan
berdasarkan kemampuan kerjanya, karena akhir-akhir ini banyak sekali profesi
yang mengeksploitasi kecantikan dan ketampanan seseorang. Seperti, pramugari,
bintang iklan, pramusaji, dan lain sebagainya. Bukan berarti profesi ini
dilarang. Akan tetapi dalam bisnis syariah harus memahami dan melaksanakan
kaidah-kaidah dalam profesi yang Islami. Misalkan seorang pramugari harus
berpakaian sopan, normatif, dan sesuai budaya luhur bangsa, terlebih ia mau
mengenakan jilbab.
Perlu
diketahui bahwa bisnis dalam pengertian ekonomi syariah, harus memenuhi
syarat-syarat yang sudah ditentukan dalam konsep dan aturan ajaran Islam..
Optimalisasi Ekonomi Syariah
Memang kemajuan ekonomi syariah,
merupakan hasil yang harus dicapai oleh rangkaian proses dan kegiatan
berekonomi secara Islami. Karena studi mengenai ekonomi syariah telah
menegaskan sejumlah gagasan dan dasar-dasar tentang ekonomi Islam sebagai
sistem ekonomi yang bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan
bagi ummat karena pancaran dari nilai-nilai Islam dan keberkahan itu sendiri.
Untuk optimalisasi ekonomi Islam dalam
kerangka gerakan ekonomi syariah, maka pemerintah harus secara visioner
mendukung dan mengimplementasikan nilai-nilai ekonomi Islam dalam segala
sektor, baik pada sektor keuangan, pembiayaan, perbankan, asuransi, pegadaian,
bisnis, dan lain sebagainya.
Betapa
banyak orang Muslim di Indonesia yang taat beribadah kepada Allah Swt,
malaksanakan puasa, menunaikan zakat, namun masih banyak menjalankan praktek
pembiayaan yang mengandung unsur ribawi, dimana dalam konsepsi ekonomi Islam
bahwa yang namaya riba itu haram hukumnya.
Terlebih
sekarang sudah banyak bermunculan Bank-Bank syariah, Pegadaian Syariah,
Asuransi Syariah, Hotel Syariah, serta Bisnis-bisnis dan produk lain yang sudah
berlabel syariah. Jadi tidak ada alasan untuk tidak memakai, memanfaatkan, dan
mendukung jasa keuangan yang sudah mendapatkan sertifikasi halal dari instansi
yang berwenang.
Karena
dengan mendukung dan menjalankan praktek ekonomi syariah, kita termasuk bagian
dari komunitas yang cinta halal, cinta syariah, dan membenci semua bentuk
ribawi dan bentuk ekonomi kapitalis-materealis.
Optimalisasi ZISWAF
Zakat dan
wakaf kalau benar-benar dikelola secara optimal dan menyeluruh, maka keduanya akan
menjadi sebuah instrument penting bagi pembangunan manusia, khususnya di Negara
yang memiliki penduduk mayoritas muslim, seperti Indonesia dan Malaysia. Bahkan
menurut survai Badan Zakat Nasional (BAZNAS), potensi dari sektor zakat
nasional bisa mencapai Rp 217,3 triliun. Meskipun realisasinya hanya sekitar
satu persen, namun setidaknya dana zakat tersebut mampu membantu lebih dari
satu juta mustahik setiap tahunnya
(BAZNAS 2013).
Belum lagi ditambah sektor wakaf. Karena
sektor ini juga membawa pundi-pundi keuangan yang sangat melimpah jika dikelola
secara optimal. Apalagi dengan seiring majunya zaman pemerintah Indonesia
mengeluarkan “fatwa” tentang diperbolehkannya melakukan transaksi wakaf tunai,
wakaf berupa uang tunai. Karena dalam pemahaman fikih konserfatif, bahwa budaya
wakaf hanya bisa dilakukan dengan berbentuk barang, seperti tanah, bangunan,
barang, dan lain sebagainya. Jadi tidak salah, jika sektor ini dikelola dengan
professional, maka bisa membantu meringankan beban masyarakat, sekaligus
mensejahterakannya.
Memang, zakat
merupakan instrument penting bagi pembangunan bangsa menuju ke arah kesejahteraan.
Selain itu, ia juga memiliki hikmah yang dapat dikategorikan dalam dua dimensi,
yakni dimensi vertika dan dimensi horizontal. Dimana zakat selain menjadi perwujudan dari
ketundukan (ibadah) seseorang kepada Allah Swt, ia sekaligus sebagai perwujudan
dari ungkapan solidaritas dan kepedulian sosial (ibadah social). Hal ini
menunjukkan bahwa seseorang yang menunaikan perintah zakat dapat mempererat
hubungannya kepada Allah Swt (hablun min
Allah) dan hubungan kepada sesama manusia (hablun min an-nas). Dengan demikian, pengabdian sosial dan
pengabdian kepada Allah Swt merupakan esensi dari ibadah yang bernama zakat.( Asnaini, Zakat Produktif dalam perspektif hukum
Islam, 2008).
Penutup
Optimalisasi gerakan ekonomi yang
tepat dan sesuai syariah, tentunya akan membawa efek positif bagi kemajuan dan
kesejahteraan masyarakat. Yang mana karakteristik dari masyarakat Islam itu
sendiri adalah masyarakat yang menginginkan progresifitas. Progresifitas yang
mampu membawa keberkahan untuk semuanya. Karena tujuan utama dari spirit
berekonomi syariah adalah untuk kemakmuran dan keberkahan bangsa. Karena keberkahan adalah pancaran dari sistem
ekonomi yang dikelola secara syariah, tidak dengan mendzalimi, berlaku curang,
korupsi, manipulasi, serta jauh dari unsur-unsur ribawi.
Setelah dijalankan secara optimal dan
menyeluruh, perlu dilakukan sinergitas antar elemen-elemen dalam perekonomian
syariah. Sinergisitas ini dilakukan untuk penguatan dan sinkronisasi seluruh
sektor yang ada dalam ekonomi syariah, baik pada sektor keuangan syariah, bisnis
syariah, maupun ZISWAF. Jika sinergisitas ini dijalankan dengan benar, maka muncullah suatu pencerahan, yakni pencerahan yang
mampu membawa kesejahteraan dan keberkahan bagi semua lapisan masyarakat yang berpinsip
syariah.
Semoga apa
yang sedikit ini, dapat
menambah khazanah pengetahuan tentang ekonomi syariah, serta menjadi
masukan bagi segenap pengurus Pusat Kajian Ekonomi
Syariah (PKES) untuk bekerja lebih optimal,
inovatif, kreatif, dan akuntabel dalam memajukan ekonomi syariah untuk kesatuan,
kemakmuran, keberkahan, dan pencerahan bagi seluruh bangsa dan dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar